Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 18 September 2017

Contoh Multi Akad: Mendapat Utang Dengan Harus Mengutangi


Ditulis oleh Annas I. Wibowo, SE

Dalil haramnya melakukan transaksi multi-akad:

نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Nabi Saw. telah melarang adanya dua jual-beli dalam satu jual-beli.” (HR. at-Tirmidzi, hadits shahih).
(pembahasan mengenai multi akad lihat: Majalah al-Wa’ie edisi 144)

Dari Ibnu Mas’ud ra.:

نَهَى عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ واَحِدَةٍ

“Rasulullah Saw. melarang dua akad dalam satu akad (transaksi).” (HR. Ahmad: 2/174, hadits shahih)

Maksud hadits ini adalah adanya dua akad dalam satu akad, seperti seseorang yang mengatakan, “Saya jual rumah ini kepada anda dengan harga sekian, dengan catatan lima tahun kemudian saya jual kepada anda rumah yang lain dengan harga sekian,” atau, “dengan  catatan kamu menjual rumah anda pada saya,” atau, “dengan syarat anda mau mengawinkan aku dengan putrimu.” Model seperti ini tidak diperbolehkan, karena ucapan “saya menjual rumahku kepada anda” adalah satu transaksi, dan ucapan “dengan syarat saya juga menjual rumah yang lainnya kepada anda” adalah transaksi yang berbeda. Dan keduanya dikumpulkan dalam satu transaksi. (lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, As-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 2 (terjemahan)

Contoh multiakad:

Sekelompok orang, yaitu si E, D, C, B, dan si A melakukan kesepakatan hutang (qardh) dengan cara sebagai berikut:
1.  Mereka sepakat mengumpulkan uang iuran sebesar Rp1.000.000/orang setiap bulan untuk dihutangkan kepada masing-masing dari mereka sendiri.
2.  Orang yang akan mendapat utangan pertama kali, yaitu di bulan Januari, dari kumpulan uang itu sebesar Rp5.000.000 belum diketahui, dan baru dapat diketahui setelah diadakan undian di antara mereka.
3.  Lalu ternyata, dari hasil undian, yang pertama mendapat utangan adalah si A.
4.  Maka diserahkanlah Rp5.000.000 kepada si A, yang artinya bahwa si E, D, C, dan si B memberi utang kepada si A sebesar masing-masing Rp1.000.000.
5.  Di awal ketika mereka mengumpulkan uang sebelum mengundi, mereka juga telah bersepakat untuk terus melakukan iuran bulanan yang akan digunakan dalam utang-piutang itu selama 5 bulan ke depan.
6.  Siapa yang akan diberi utang pada masing-masing bulan Februari hingga Mei oleh masing-masing mereka, baru akan diketahui dengan melakukan undian pada bulan yang bersangkutan.

Sampai di sini tampak bahwa apa yang mereka lakukan tidak sesuai syariat Islam, (salah satunya) yaitu bahwa kesepakatan mereka di awal belumlah merupakan akad utang yang lengkap rukunnya, di mana tidak diketahui siapa memberi utang kepada siapa, meskipun jumlah uang dan jatuh temponya sudah diketahui. Bahkan si A menjadi memberi utang kepada dirinya sendiri sebesar Rp1.000.000?

Demikian pula, kesepakatan mereka untuk terus saling mengadakan utang-piutang pada bulan-bulan berikutnya hingga bulan Mei, juga tidak jelas siapa yang akan diberi utang oleh siapa.

Menyadari hal ini, mereka lalu melakukan utang-piutang sebagai berikut:
1)    Mereka melakukan undian untuk menentukan siapa yang mendapat utangan.
2)    Ternyata si A adalah yang pertama mendapat utangan.
3)    Mereka terus mengundi untuk menentukan siapa orang yang akan mendapat utangan pada bulan-bulan berikutnya yang hasilnya secara urut adalah si B, C, D.
4)    Mereka menuliskan:
a.  Pada bulan Januari si B, C, D, E masing-masing memberi utang Rp1.000.000 kepada si A, total Rp4.000.000.
b.  Pada bulan Februari si A melunasi utang Rp1.000.000 kepada si B terlebih dahulu. Dan si C, D, E masing-masing memberi utang Rp1.000.000 kepada si B. (Rp1 juta dari si A adalah uangnya si B sendiri yang sebelumnya telah diutangkan kepada si A, bukan mendapat utangan dari si A. Jadi total utangan yang diterima si B adalah Rp3.000.000)
c.   Pada bulan Maret si A melunasi utang kepada si C. Dan si B melunasi utang kepada si C terlebih dahulu. Dan D, E masing-masing memberi utang Rp1.000.000 kepada si C. (Rp1 juta dari si A adalah uangnya si C sendiri yang sebelumnya telah diutangkan kepada si A, bukan mendapat utangan dari si A. Demikian pula Rp1 juta yang dari si B. Jadi total utangan yang diterima si C adalah Rp2.000.000)
d.  Pada bulan April si A, B, C melunasi utang kepada si D. Dan E memberi utang Rp1.000.000 kepada si D. (Rp1 juta dari si A adalah uangnya si D sendiri yang sebelumnya telah diutangkan kepada si A, bukan mendapat utangan dari si A. Demikian pula Rp2 juta yang dari si B dan C. Jadi total utangan yang diterima si C adalah Rp1.000.000 dari si E)
e.  Pada bulan Mei si A, B, C, D melunasi utang kepada si E.
5)  Berarti si A mendapat utang totalnya Rp4 juta dan tidak memberi utang kepada siapapun. Sementara si E memberi utang yang totalnya Rp4 juta dan tidak mendapat utang dari siapapun.
6)  Mereka semua menandatangani kesepakatan utang-piutang di atas.

Dengan demikian maka menjadi jelas siapa memberi utang kepada siapa dalam 5 bulan itu. Namun, akad utang mereka ini masih juga menyalahi syariah yaitu jelas merupakan multi-akad yaitu si B, C, D harus memberi utang untuk mendapatkan utang sebagaimana skema yang mereka sepakati di atas. Maka haram hukumnya bagi si A, B, C, D, maupun si E melakukan undian, menentukan dan melangsungkan transaksi multiakad.

Menyadari hal ini, mereka lalu saling bertanya, siapakah di antara mereka yang memang memerlukan utang, berapa besarnya dan kapan, apakah yang memerlukan utangan itu sanggup melunasi, perlukah agunan, berapa lama temponya, kemudian siapa di antara mereka yang sanggup memberi utang kepada yang memerlukan itu. Wallahu a’lam. []

1 komentar:

  1. Selain menyalahi syariat seperti di atas, kesepakatan mereka juga mengandung riba.
    “Manfaat yang ditarik dari utang-piutang adalah salah satu cabang dari riba” (HR. Baihaqi)

    Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang dari kamu memberi utang dan pengutang menawarkan kepadanya makanan, janganlah kamu menerimanya; dan jika pengutang menawarkan tunggangan, janganlah ia menerimanya; kecuali apabila sudah terbiasa dengan saling menukar yang demikian” (HR. Baihaqi)

    BalasHapus

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam