Ditulis oleh Annas I. Wibowo, SE
Dalil haramnya
melakukan transaksi multi-akad:
نَهَى
عَنْ
بَيْعَتَيْنِ
فِي بَيْعَةٍ
“Nabi Saw.
telah melarang adanya dua jual-beli dalam satu jual-beli.” (HR. at-Tirmidzi,
hadits shahih).
(pembahasan
mengenai multi akad lihat: Majalah al-Wa’ie edisi 144)
Dari Ibnu
Mas’ud ra.:
نَهَى
عَنْ
صَفْقَتَيْنِ
فِي صَفْقَةٍ
واَحِدَةٍ
“Rasulullah
Saw. melarang dua akad dalam satu akad (transaksi).” (HR. Ahmad: 2/174, hadits shahih)
Maksud
hadits ini adalah adanya dua akad dalam satu akad, seperti seseorang yang
mengatakan, “Saya jual rumah ini kepada anda dengan harga sekian, dengan
catatan lima tahun kemudian saya jual kepada anda rumah yang lain dengan harga
sekian,” atau, “dengan catatan kamu
menjual rumah anda pada saya,” atau, “dengan syarat anda mau mengawinkan aku
dengan putrimu.” Model seperti ini tidak diperbolehkan, karena ucapan “saya menjual
rumahku kepada anda” adalah satu transaksi, dan ucapan “dengan syarat saya juga
menjual rumah yang lainnya kepada anda” adalah transaksi yang berbeda. Dan
keduanya dikumpulkan dalam satu transaksi. (lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, As-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 2 (terjemahan)
Contoh
multiakad:
Sekelompok
orang, yaitu si E, D, C, B, dan si A melakukan kesepakatan hutang (qardh) dengan cara sebagai berikut:
1.
Mereka
sepakat mengumpulkan uang iuran sebesar Rp1.000.000/orang setiap bulan untuk
dihutangkan kepada masing-masing dari mereka sendiri.
2.
Orang
yang akan mendapat utangan pertama kali, yaitu di bulan Januari, dari kumpulan
uang itu sebesar Rp5.000.000 belum diketahui, dan baru dapat diketahui setelah
diadakan undian di antara mereka.
3.
Lalu
ternyata, dari hasil undian, yang pertama mendapat utangan adalah si A.
4.
Maka
diserahkanlah Rp5.000.000 kepada si A, yang artinya bahwa si E, D, C, dan si B
memberi utang kepada si A sebesar masing-masing Rp1.000.000.
5.
Di
awal ketika mereka mengumpulkan uang sebelum mengundi, mereka juga telah
bersepakat untuk terus melakukan iuran bulanan yang akan digunakan dalam
utang-piutang itu selama 5 bulan ke depan.
6.
Siapa
yang akan diberi utang pada masing-masing bulan Februari hingga Mei oleh masing-masing
mereka, baru akan diketahui dengan melakukan undian pada bulan yang bersangkutan.
Sampai
di sini tampak bahwa apa yang mereka lakukan tidak sesuai syariat Islam, (salah
satunya) yaitu bahwa kesepakatan mereka di awal belumlah merupakan akad utang yang
lengkap rukunnya, di mana tidak diketahui siapa memberi utang kepada siapa,
meskipun jumlah uang dan jatuh temponya sudah diketahui. Bahkan si A menjadi
memberi utang kepada dirinya sendiri sebesar Rp1.000.000?
Demikian
pula, kesepakatan mereka untuk terus saling mengadakan utang-piutang pada
bulan-bulan berikutnya hingga bulan Mei, juga tidak jelas siapa yang akan diberi
utang oleh siapa.
Menyadari
hal ini, mereka lalu melakukan utang-piutang sebagai berikut:
1)
Mereka
melakukan undian untuk menentukan siapa yang mendapat utangan.
2)
Ternyata
si A adalah yang pertama mendapat utangan.
3)
Mereka
terus mengundi untuk menentukan siapa orang yang akan mendapat utangan pada
bulan-bulan berikutnya yang hasilnya secara urut adalah si B, C, D.
4)
Mereka
menuliskan:
a.
Pada
bulan Januari si B, C, D, E masing-masing memberi utang Rp1.000.000 kepada si A,
total Rp4.000.000.
b.
Pada
bulan Februari si A melunasi utang Rp1.000.000 kepada si B terlebih dahulu. Dan
si C, D, E masing-masing memberi utang Rp1.000.000 kepada si B. (Rp1 juta dari si
A adalah uangnya si B sendiri yang sebelumnya telah diutangkan kepada si A,
bukan mendapat utangan dari si A. Jadi total utangan yang diterima si B adalah
Rp3.000.000)
c.
Pada
bulan Maret si A melunasi utang kepada si C. Dan si B melunasi utang kepada si
C terlebih dahulu. Dan D, E masing-masing memberi utang Rp1.000.000 kepada si C.
(Rp1 juta dari si A adalah uangnya si C sendiri yang sebelumnya telah
diutangkan kepada si A, bukan mendapat utangan dari si A. Demikian pula Rp1
juta yang dari si B. Jadi total utangan yang diterima si C adalah Rp2.000.000)
d.
Pada
bulan April si A, B, C melunasi utang kepada si D. Dan E memberi utang Rp1.000.000
kepada si D. (Rp1 juta dari si A adalah uangnya si D sendiri yang sebelumnya
telah diutangkan kepada si A, bukan mendapat utangan dari si A. Demikian pula
Rp2 juta yang dari si B dan C. Jadi total utangan yang diterima si C adalah Rp1.000.000
dari si E)
e.
Pada
bulan Mei si A, B, C, D melunasi utang kepada si E.
5)
Berarti
si A mendapat utang totalnya Rp4 juta dan tidak memberi utang kepada siapapun. Sementara
si E memberi utang yang totalnya Rp4 juta dan tidak mendapat utang dari
siapapun.
6)
Mereka
semua menandatangani kesepakatan utang-piutang di atas.
Dengan demikian maka menjadi jelas siapa
memberi utang kepada siapa dalam 5 bulan itu. Namun, akad utang mereka ini
masih juga menyalahi syariah yaitu jelas merupakan multi-akad yaitu si B, C, D
harus memberi utang untuk mendapatkan utang sebagaimana skema yang mereka
sepakati di atas. Maka haram hukumnya bagi si A, B, C, D, maupun si E melakukan
undian, menentukan dan melangsungkan transaksi multiakad.
Menyadari hal ini, mereka lalu saling
bertanya, siapakah di antara mereka yang memang memerlukan utang, berapa
besarnya dan kapan, apakah yang memerlukan utangan itu sanggup melunasi, perlukah
agunan, berapa lama temponya, kemudian siapa di antara mereka yang sanggup
memberi utang kepada yang memerlukan itu. Wallahu
a’lam. []
Selain menyalahi syariat seperti di atas, kesepakatan mereka juga mengandung riba.
BalasHapus“Manfaat yang ditarik dari utang-piutang adalah salah satu cabang dari riba” (HR. Baihaqi)
Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang dari kamu memberi utang dan pengutang menawarkan kepadanya makanan, janganlah kamu menerimanya; dan jika pengutang menawarkan tunggangan, janganlah ia menerimanya; kecuali apabila sudah terbiasa dengan saling menukar yang demikian” (HR. Baihaqi)