Ka’ab bin ‘Ujrah ra. berkata: “Rasulullah
Saw. keluar kepada kami yang waktu itu ada sembilan orang, lalu beliau bersabda:
أَنَّهُ
سَتَكُونُ
بَعْدِي
أُمَرَاءُ
مَنْ دَخَلَ
عَلَيْهِمْ
فَصَدَّقَهُمْ
بِكَذِبِهِمْ
وَأَعَانَهُمْ
عَلَى ظُلْمِهِمْ
فَلَيْسَ
مِنِّي
وَلَسْتُ مِنْهُ
وَلَيْسَ
يَرِدُ
عَلَيَّ
الْحَوْضَ وَمَنْ
لَمْ
يَدْخُلْ
عَلَيْهِمْ
وَلَمْ يُصَدِّقْهُمْ
بِكَذِبِهِمْ
وَلَمْ
يُعِنْهُمْ
عَلَى
ظُلْمِهِمْ
فَهُوَ
مِنِّي وَأَنَا
مِنْهُ
وَسَيَرِدُ
عَلَيَّ
الْحَوْضَ
“Sesungguhnya
akan ada sesudahku para pemimpin. Siapa saja yang membenarkan (mempercayai)
mereka di dalam kebohongan mereka, dan membantu mereka atas kezhaliman mereka,
maka ia bukan termasuk golonganku, dan aku pun bukan termasuk golongannya, dan
ia tidak akan masuk menemaniku di Telaga. Sebaliknya, siapa yang tidak
membenarkan (tidak mempercayai) mereka di dalam kebohongan mereka, dan tidak
membantu mereka atas kezhaliman mereka, maka ia termasuk golonganku, dan aku
termasuk golongannya, dan ia akan masuk ke Telaga bersamaku.” (HR. an-Nasa’i, al-Baihaqi,
al-Hakim)
Imam
an-Nasa’i menyebutkan hadits ini di dalam bab Dzikru al-Wa’îd li man a’âna amîran ‘alâ azh-zhulmi (mengingat
ancaman untuk orang yang menolong pemimpin di atas kezhaliman).
Imam
al-Baihaqi mengeluarkannya di Sunan
al-Kubrâ.
Imam
al-Hakim mengeluarkannya di al-Mustadrak ‘alâ
Shahihayn.
Makna Hadits
Hadits
ini menyatakan larangan untuk membenarkan kebohongan penguasa dan membantu kezhaliman
mereka. Dan larangan tersebut sangat tegas yakni hukumnya haram.
Hadits
ini tidak menyatakan karakter penguasa yang dimaksud secara lugas. Namun dari
konteks kalimatnya dapat dipahami karakter penguasa itu yaitu berbohong dan zhalim.
As-Sindi
di dalam Syarh Sunan an-Nasai
menjelaskan bahwa kalimat ”shaddaqahum bikadzibihim”
berasal dari at-tashdîq (pembenaran).
Dan huruf "al-bâ'” dalam "bikadzibihim” maknanya ”fî". Yaitu bahwa mereka berbohong
dalam ucapan. Dan orang yang membenarkan perkataan mereka, dan berkata kepada
mereka ”Anda benar” untuk mendekatkan diri kepada mereka.”
Riwayat-riwayat
lain hadits di atas yang semakna, menjelaskan secara gamblang karakter penguasa
tersebut. Di antaranya:
Dalam
riwayat Imam Ahmad dari an-Nu’man bin Basyir dan Hudzaifah disebutkan: ”yakdzibûn wa yazhlimûn (berbohong dan zhalim).”
Dalam
riwayat Imam ath-Thabarani di dalam Mu'jam
al-Kabîr dari Abdan bin Ahmad, dari Muhammad bin Yahya al-Qathi'i, dari
Muhammad bin Bakar al-Bursani, dari Hisyam bin Hassan, dari al-Hasan, dari
Ka'ab bin 'Ujrah disebutkan: ”yu'thûna bi
al-hikmah 'alâ manâbir, faidza nazalû ikhtalasta minhum, wa qulûbuhum antanu
min al jîf (mereka memberikan hikmah di mimbar-mimbar, dan jika mereka
turun (dari mimbar) engkau menyeleweng dari mereka, dan hati mereka lebih busuk
dari bangkai).”
Di
sisi lain, di dalam Al-Qur’an, Allah Swt. menilai siapa saja yang tidak
menghukumi dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, yakni tidak menghukumi
dengan syariah Islam maka paling rendah statusnya adalah zhalim, lalu fasik,
dan bahkan bisa kafir (QS. al-Maidah [5]: 44, 45, 47). Maka, penguasa atau
pemimpin yang tidak memutuskan hukum (berhukum) dengan syariah tidak diragukan
lagi adalah zhalim.
Allah
melarang kita cenderung kepada orang-orang yang zhalim (QS. Hûd [11]: 113) Jika
cenderung saja dilarang, apalagi lebih dari itu.
Terhadap
para penguasa atau pemimpin yang zhalim itu, berdasarkan hadits di atas kita
dilarang melakukan dua hal.
Pertama, membenarkan kebohongan mereka (para
penguasa zhalim). Yaitu menyatakan ucapan bohong mereka itu sebagai yang benar,
tepat, bagus atau ungkapan senada lainnya. Pujian terhadap ucapan mereka atau
kebijakan mereka atau aturan dan hukum yang mereka buat yang tidak bersumber
dari Al-Qur’an atau as-Sunnah juga bisa dinilai sebagai bagian dari pembenaran
terhadap kebohongan mereka.
Kedua, kita dilarang membantu mereka di dalam kezhaliman
mereka itu. Bantuan atas kezaliman mereka itu bisa dalam bentuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu, yang dengan itu kezhaliman mereka -termasuk aktivitas tidak
menjalankan syariah- itu semakin kuat, tetap bertahan dan terus terjadi.
Bantuan
itu bisa dalam bentuk bersekutu, bersama-sama atau bekerjasama dengan mereka
dalam menjalankan kezhaliman mereka; aktifitas memperkuat, menjalankan atau
memperindah kezhaliman mereka; menahan diri tidak mau mengungkap kezhaliman mereka,
tidak mau menjelaskan kerusakan sistem, enggan menyingkap aktivitas dan jati
diri mereka yang mengesampingkan bahkan membelakangi petunjuk wahyu; atau
memuji-muji, membagus-baguskan kezhaliman mereka.
Apalagi
jika mencarikan legalisasi bagi kezhaliman mereka dengan jalan menakwilkan nash
(memelintir dalil).
Bahkan
mendoakan para penguasa itu agar tetap dalam posisinya dan tetap menjalankan
aktivitasnya itu juga bisa dinilai sebagai bagian dari bantuan itu.
Siapa
yang melakukan itu maka tidak akan diakui sebagai golongannya Rasul Saw. Dan
lebih dari itu siapa saja yang melakukan itu tidak akan merasakan kenikmatan Telaga Rasul Saw. di Akhirat. Na'udzu billâh min dzâlika.
Bacaan:
Tabloid Media Umat edisi 207, http://hizb-indonesia.info/2008/07/08/menyikapi-penguasa-zalim/
Tabloid Media Umat edisi 207, http://hizb-indonesia.info/2008/07/08/menyikapi-penguasa-zalim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar