أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى
اللَّهِ
وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ
وَإِنْ
عَبْدًا
حَبَشِيًّا
فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ
بَعْدِي
فَسَيَرَى
اخْتِلَافًا
كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ
تَمَسَّكُوا
بِهَا
وَعَضُّوا
عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ
الْأُمُورِ
فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ
وَكُلَّ
بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ
“Aku
wasiatkan kepada kalian hendaklah selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan
menaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak habsyi, karena sungguh siapapun
dari kalian yang hidup sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena
itu kalian harus berpegang kepada sunahku (jalan/ jejak langkahku) dan sunah
(jalan/ jejak langkah) Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah
kepadanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Dan jauhilah perkara
yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan
setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Tirmidzi)
Imam
Ahmad berkata: haddatsanâ (telah
menceritakan kepada kami) al-Walid bin Muslim (ia berkata) haddatsanâ Tsaur bin Yazid (ia berkata) haddatsanâ Khalid bin Ma'dan, ia berkata haddatsanâ Abdurrahman bin Amr as-Sulami dan Hujr bin Hujr, keduanya
berkata, ”kami mendatangi al-'Irbadh bin Sariyah… Lalu al-'Irbadh berkata:
”Suatu hari Rasulullah SAW mengimami kami shalat subuh. Lalu beliau menghadap
kepada kami dan menasihati kami dengan satu nasihat mendalam yang menyebabkan
air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata:
"Wahai_Rasulullah ini –seakan- merupakan nasihat perpisahan, lalu apa yang
engkau wasiatkan kepada kami?" Beliau bersabda: "Aku wasiatkan kepada
kalian…”
Makna Hadits
Rasul
SAW berpesan: “Aku wasiatkan kepada kalian hendaklah selalu bertakwa kepada
Allah.” Ini menunjukkan wajibnya takwa secara mutlak, dalam hal apa saja, di
mana saja dan kapan saja.
“(Hendaklah
kalian) mendengar dan menaati (pemimpin/ penguasa) sekalipun ia seorang budak
habsyi.” Ini adalah perintah untuk mendengar dan menaati pemimpin atau
penguasa. Seorang budak secara syar'i tidak sah menjadi pemimpin atau penguasa.
Maka sabda Rasul "sekalipun ia seorang budak habsyi" merupakan
penekanan atas wajibnya mendengar dan menaati pemimpin/ penguasa, sekalipun pemimpin/
penguasa itu dipandang memiliki kekurangan. Rasul SAW begitu menekankan wajibnya
mendengar dan menaati pemimpin, tentu selama ia tidak memerintahkan
kemaksiatan.
Beliau
menjelaskan, ”karena sungguh siapapun dari kalian yang berumur panjang
sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak.” Hal ini mengisyaratkan bahwa
keberadaan pemimpin/ penguasa dan sikap mendengar dan menaati penguasa itu akan
menghalangi terjadinya perselisihan dan perpecahan.
Kemudian
beliau bersabda: ”Oleh karena itu kalian wajib berpegang kepada sunah (jalan/
jejak Iangkah)-ku dan sunah (jalan/ jejak langkah) Khulafaur Rasyidin yang
mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah itu erat-erat
dengan gigi geraham.” Sunah dalam
hadits ini menggunakan makna bahasanya yaitu thariqah atau jalan/ jejak langkah. Dalam hadits ini, beliau SAW
memerintahkan kita untuk mengambil dan berpegang teguh dengan jejak langkahnya
dan Khulafaur Rasyidin. Perintah ini juga mencakup khususnya masalah sistem
kepemimpinan, karena konteks pembicaraan hadits ini adalah masalah
kepemimpinan.
Sehingga
hadits ini merupakan perintah agar kaum Muslim mengikuti corak dan sistem
kepemimpinan Khulafaur Rasyidin yaitu sistem khilafah. Beliau sangat menekankan
perintah ini dengan melukiskan agar kita menggigitnya dengan gigi geraham.
Bahkan
mengangkat seorang khalifah melalui baiat, dan sistem khilafah itu, bahwa hal
itu wajib, merupakan ijmak (kesepakatan) seluruh sahabat. Maka bagi siapa saja
yang menyatakan diri menghidupkan dan mengikuti sunah Nabi SAW dan sunah
khulafaur rasyidin, untuk melaksanakan perintah Nabi SAW dalam hadits di atas,
maka di antaranya harus memegang teguh kewajiban pengangkatan seorang khalifah
dan penegakan sistem khilafah.
Selanjutnya
beliau memerintahkan: "dan jauhilah perkara yang diada-adakan karena
setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah
kesesatan.” Menilik siyaqul kalam
(alur pembicaraan) hadits ini, bid'ah yang dimaksud adalah bid'ah dalam masalah
kepemimpinan, bukan bid'ah syar'i yaitu bid'ah dalam masalah ibadah. Karena jika
dalam masalah ibadah tentu merujuknya hanya kepada Rasul SAW dan tidak kepada
Khulafaur Rasyidin. Artinya, kata bid'ah dalam hadist ini tidak menggunakan
makna syar'i, tetapi menggunakan makna bahasanya. Yaitu setiap hal yang diada-adakan
yang belum ada contohnya.
Jadi
selain sistem kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Rasul SAW dan ditempuh serta
dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin, yakni selain sistem khilafah, merupakan
sistem muhdatsah, sistem yang
diada-adakan tanpa dasar syar'i.
Sistem
dan aturan yang tidak memiliki dasar syar'i -selain sistem Khilafah- artinya
tidak berdasarkan petunjuk wahyu. Yang tidak berdasarkan petunjuk wahyu
merupakan kesesatan dan mengarah kepada kesesatan. Makanya, sistem selain khilafah
haram sehingga harus dijauhi. WaLlâh
a'lam bi ash-shawab.[]
Sumber: Tabloid Media Umat edisi 216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar