Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 18 Juni 2020

Hikmah al-Qur’an Diturunkan Secara Bertahap - TAFSIR al-Furqan: 32-33



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Berkatalah orang-orang yang kafir: ”Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (TQS. al-Furqan [25]: 32-33).

Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus. Akan tetapi diturunkan secara berangsur-angsur. Yakni, mulai Nabi Muhammad diutus hingga menjelang beliau dipanggil ke haribaan-Nya. Sehingga, Al-Qur’an terus turun selama 23 tahun.

Realitas ini pun dijadikan objek pertanyaan oleh orang-orang kafir. Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaliqus saja. Maka, ayat ini pun menjawab pertanyaan mereka, sekaligus menjelaskan hikmah yang terkandung di dalam turunnya Al-Qur’an secara bertahap.

Tidak Sekaligus Diturunkan

Allah SWT berfirman: Wa qaala al-ladziina kafaruu lawlaa nuzzila 'alayhi al-Qur'aan jumlat[an] waahidat[an] (berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"). Dalam ayat sebelumnya diberitakan pengaduan Nabi tentang kaumnya yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang ditelantarkan dan ditinggalkan. Kemudian Nabi dihibur dengan ayat sesudahnya, bahwa realitas demikian tidak hanya dialami oleh beliau saja. Seluruh nabi memiliki musuh dari kalangan pelaku kejahatan.

Ayat ini pun kemudian memberitakan tentang syubhat lain yang dilontarkan oleh orang kafir terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur dan tidak sekaligus dijadikan sasaran kritik oleh mereka.

Menurut Imam al-Qurthubi, ada perbedaan tentang siapa orang kafir yang mengatakan kalimat yang diberitakan dalam ayat ini. Pertama, mereka adalah orang-orang kafir Quraisy. Ibnu Abbas adalah di antara yang berpendapat demikian. Kedua, mereka adalah orang-orang Yahudi. Ketika mereka mengetahui Al-Qur’an secara terpisah-pisah, mereka pun berkata, ”Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya (Nabi Muhammad ) sekaligus saja, sebagaimana Taurat yang diturunkan kepada Musa, Injil kepada Isa, dan Zabur kepada Daud.”

Dalam ayat ini, Allah SWT mengabarkan banyaknya bantahan, pertanyaan mengada-ada, dan perkataan tidak berguna dari orang-orang kafir, ketika mereka mengatakan: Lawlaa nuzzila 'alayhi al-Qur‘an jumlat[an] waahidat[an]. Demikian dikatakan Ibnu Katsir ketika mengomentari ayat ini.

Mereka mempersoalkan mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Sehingga, pertanyaan yang mereka lontarkan sesungguhnya bukan untuk mendapatkan jawaban yang benar. Akan tetapi hanya merupakan tasykik (untuk menimbulkan keraguan) terhadap kebenaran Al-Qur’an. Ini semisal pernyataan dan pertanyaan mereka yang telah disebutkan dalam beberapa ayat sebelumnya, seperti mengapa rasul makan dan berjalan-jalan di pasar untuk mencari penghidupan, tidak diberikan kebun yang luas sehingga dapat mencukupi kebutuhannya, tidak diturunkan bersama rasul seorang malaikat, dan lain-lain.

Hikmah Turun Bertahap

Terhadap pertanyaan tersebut, Allah SWT menjawabnya dengan firman-Nya: Wakadzaalika linnutsabbita bihi fu'aadaka (demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya). Kata kadzaalika, berarti Kami turunkan Al-Qur’an secara terpisah-pisah. Demikian penjelasan Abdurrahman al-Sa'di dalam tafsirnya.

Bahwa diturunkannya secara bertahap adalah untuk mengokohkan dan memperteguh hati Rasulullah . Menjelaskan ayat ini, al-Qurthubi berkata: "Kami turunkan secara terpisah-pisah adalah untuk memperkuat hatimu dengannya sehingga kamu dapat memahami dan menghafalnya. Sesungguhnya kitab-kitab sebelumnya diturunkan kepada para nabi yang dapat membaca, sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang ummi (tidak dapat menulis dan membaca). Di samping itu, di dalam Al-Qur’an juga terdapat naasikh (ayat yang menghapus hukum sebelumnya) dan mansuukh (ayat yang hukumnya dihapus), serta jawaban terhadap orang yang bertanya tentang sesuatu yang terjadi dalam waktu yang berbeda-beda. Maka menurunkannya secara terpisah-pisah agar lebih mudah dihafal oleh Rasulullah dan lebih mudah diamalkan orang yang mengamalkannya. Maka setiap kali turun wahyu yang baru, menambah kekuatan hati Nabi .” Demikian penjelasan al-Qurthubi dalam tafsirnya. Penjelasan senada juga dikemukakan al-Khazin dan lain-lain.

Kemudian Allah SWT berfirman: Warrattalnaahu tartiil[an] (dan Kami membacakannya secara tartil [teratur dan benarl). Menurut Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya, Mafaatiih al-Ghayb, frasa tersebut bermakna: “Kami terangkannya dengan benar-benar terang.” Dikatakan al-Jazairi, pengertian frasa tersebut adalah "Kami turunkan sedikit demi sedikit, ayat demi ayat, surat demi surat, untuk memudahkan dalam memahami dan menghafalnya."

Jawaban Pertanyaan

Kemudian dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Walaa ya’tuunaka bi mitsl[in]  (tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu [membawa] sesuatu yang ganjil). Menurut Ibnu Katsir, sesuatu yang dibawa semisal pertanyaan tersebut adalah hujjah (alasan) dan syubhah (sesuatu yang meragukan). Dikatakan Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir. Itu artinya, semua yang mereka lontarkan, baik berupa alasan, pernyataan yang meragukan, pertanyaan yang mengada-ada, dan sebagainya.

Terhadap semua alasan dan pernyataan yang meragukan yang dilontarkan orang kafir itu, dijawab oleh Allah SWT dengan jawaban yang benar dan penjelasan yang paling baik. Ini ditegaskan dalam firman Allah SWT selanjutnya: illaa ji’naaka bi al-haqq wa ahsana tafsiir[an] (melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya). Menurut Fakhruddin al-Razi, frasa ji’naaka bi al-haqq bermakna: ”Kami turunkan Jibril dengan membawa Al-Qur’an untuk membantah mereka.” Sedangkan frasa: wa ahsana tafsiir[an] bermakna: "Sebaik-baik penjelasan untuk membantah permusuhan mereka.” Dikatakan Ibnu Athiyah, ”Penjelasan yang paling jelas dan terperinci.”

Dijelaskan juga oleh Ibnu Katsir tentang makna ayat ini, ”Tidaklah mereka mengatakan suatu perkataan yang menentang kebenaran, kecuali Kami jawab mereka dengan jawaban yang benar pada perkara itu dan jawaban yang lebih jelas, lebih gamblang, dan lebih terang daripada perkataan mereka.”

Kemudian Ibnu Katsir berkata, ”Di dalam ayat ini terdapat perhatian besar untuk memuliakan Rasulullah karena datangnya wahyu kepada beliau pagi dan sore, siang dan malam, dan sedang berpergian maupun bermukim. Maka setiap kali malaikat datang kepada beliau dengan membawa Al-Qur’an, seperti ketika malaikat menurunkan kitab-kitab sebelumnya. Sehingga, ini merupakan kedudukan yang lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih agung dibandingkan dengan seluruh nabi lainnya. Demikian pula, Al-Qur’an menjadi kitab paling mulia yang diturunkan Allah SWT; dan Nabi Muhammad juga nabi paling agung yang diutus Allah SWT. Sungguh Allah SWT telah mengumpulkan pada Al-Qur’an dua sifat secara bersamaan. Yakni, di Mala’ al-A’la Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus dari al-Lauh al-Mahfudz ke Baitu al-'Izzah di langit dunia, kemudian setelah itu diturunkan ke dunia secara berangsur-angsur sesuai dengan realitas dan kejadian.”

Demikianlah. Orang-orang kafir selalu mencari-cari celah untuk meragukan kebenaran Rasulullah dan Al-Qur’an. Diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tak luput dari kritik mereka. Namun, pernyataan mereka dijawab dengan jelas oleh ayat ini. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur terdapat hikmah di dalamnya, yakni untuk mengokohkan hati Nabi  .
2. Di samping itu, juga menunjukkan kemuliaan dan keagungan Al-Qur’an dan Rasulullah  .
3. Semua pernyataan dan pertanyaan mengada-ada dari orang kafir diberikan jawabannya oleh Allah SWT dengan jawaban yang benar dan terang.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 144


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam