sistem republik terbukti sukses menghasilkan kelompok orang yang sangat licik, sangat berkuasa sekaligus sangat jahat.
Pemilu dalam sistem republik menjadikan suara
terbanyak sebagai ukuran, sementara banyaknya perolehan suara bergantung pada tingkat
popularitas partai dan para calegnya. Dalam sistem semacam ini, tentu
ketergantungan partai maupun para caleg terhadap kebutuhan modal (uang)
sangatlah besar, yaitu untuk mendongkrak popularitas partai maupun para
calegnya. Karena itu, tidak aneh jika partai dan para calegnya membutuhkan dana
ratusan juta hingga ratusan miliar rupiah hanya untuk menjaring suara
sebanyak-banyaknya dalam Pemilu. Dari mana dananya, sementara kebanyakan partai
dan para caleg tidak memiliki dana dalam jumlah besar. Dari sinilah keberadaan
pengusaha/para pemilik modal menjadi sangat penting bagi partai/para caleg.
Di sisi lain, para pengusaha/pemilik modal
pun memiliki kepentingan untuk mengamankan bisnisnya. Dalam kondisi demikian,
gayung bersambut. Partai dan para caleg akhirnya bekerjasama sekaligus membuat
semacam ‘kontrak politik’ yang saling menguntungkan dengan para
pengusaha/pemilik modal. Celakanya, sering terjadi, dana dalam jumlah besar itu
justru hanya dimiliki oleh pihak asing. Lalu mengucurlah dana dari mereka
kepada partai-partai/para caleg yang diperkirakan bakal meraih suara cukup
banyak. Akibatnya, keterlibatan asing dalam ‘money politic’ untuk menyokong
partai atau para caleg tertentu sering terjadi, tentu tidak secara terbuka dan
terang-terangan. Kenyataan ini —meski sulit dibuktikan— sering terjadi setiap
menjelang Pemilu dan sudah banyak diungkap oleh sejumlah kalangan.
Akhirnya, bisa diduga, saat partai/para caleg
yang disokong para pengusaha/pemilik modal —khususnya pihak asing— itu berhasil
duduk di DPR atau menduduki kursi kekuasaan, politik ‘balas budi’ pun terjadi.
Bahkan para penguasa/pemilik modal dan pihak asing kemudian bisa mendikte
penguasa dan DPR. Pada akhirnya, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para
pengusaha/para pemilik modal dan pihak asing tersebut. Karena itulah, wajar
jika kemudian penguasa/DPR akan membuat kebijakan dan UU yang selaras dengan
kepentingan mereka, bukan demi kepentingan rakyat yang telah memilihnya.
Lahirnya UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU BHP, UU Minerba dll jelas
harus dibaca dari sisi ini. Pasalnya, semua UU tersebut jelas-jelas ditujukan
hanya demi melayani kepentingan pengusaha/pemilik modal, termasuk pihak asing,
bukan untuk melayani kepentingan rakyat. Rakyat pada akhirnya hanya menjadi
obyek pesakitan seraya terus memendam impian perubahan, yang entah kapan bisa
terwujud melalui demokrasi.
Sesungguhnya sistem republik bukanlah solusi.
Ia justru menjadi sumber masalah. Sebab, sejak awal sistem republik telah
memposisikan kedaulatan Allah SWT di bawah kedaulatan rakyat (manusia). Itulah
pangkal masalahnya.
Sistem republik hanya menjanjikan harapan
semu yang selamanya tidak pernah mewujud menjadi kenyataan. Buktinya, sudah
sekian puluh tahun sistem republik diterapkan di negeri ini, dan sudah sekian
kali pemilu dalam sistem ini digelar, namun hasilnya hanyalah keburukan demi
keburukan.
janganlah kita sampai terjerembab ke dalam
‘lubang sistem republik’ untuk ke sekian kalinya. Marilah kita berlepas diri
dari sistem demok rasi. Marilah kita bersegera untuk menegakkan sistem pemerintahan
Islam, yakni sistem Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah, yang akan menerapkan
syariah Allah SWT secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan
itulah kita semua akan dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, sekaligus
mendapatkan keridhaan dari Allah SWT.
alih-alih sistem republik membawa
kesejahteraan masyarakat, yang terjadi malah banyak kebijakan-kebijakan yang
semakin liberal yang justru menambah kesengsaraan masyarakat. Berbagai
kebijakan Pemerintah lebih memihak pasar yang dikuasai para pemilik modal
daripada memihak kepentingan rakyat banyak. Contoh gamblang adalah kebijakan
menaikkan harga BBM. Alasannya adalah karena standarisasi harga minyak dunia,
juga untuk menghapus subsidi barang sekaligus mengalihkannya ke subsidi orang. Padahal
yang dilakukan adalah untuk mengundang masuknya investor asing dalam sektor
ini. Kebijakan privatisasi di bidang kesehatan dan pendidikan, juga memihak
pengusaha (pemilik modal).
partisipasi dalam sistem republik membutuhkan
dana yang besar. Biaya besar ini dikeluarkan untuk kampanye yang legal sampai
yang ilegal, suap-menyuap, money politics, lobi, bakti sosial atas nama partai
dan lain-lain. Dalam konteks inilah politisi kemudian membutuhkan dana segar
dari kelompok bisnis. Penguasa dan pengusaha pun kemudian menjadi pilar penting
dalam sistem republik. Bantuan para pengusaha tentu punya maksud tertentu;
paling tidak, jaminan terhadap bisnisnya; bisa juga berharap ditunjuk untuk
proyek bisnis pemerintah. Jadilah elit politik kemudian didikte untuk kepentingan
pengusaha.
Walhasil, sistem republik mesti melahirkan
negara korporasi. Ciri utamanya lebih melayani kepentingan perusahaan (bisnis)
daripada rakyat. Dalam konteks yang lebih luas, John Perkins dalam bukunya,
Confession of an Economic Hitman, menyebutnya corporatocracy.
di Amerika yang sering dianggap banyak orang
sebagai negara yang praktik sistem republiknya paling maju, sistem politiknya
terbuka dan semua orang bebas bicara. Bukankah yang namanya capital (harta) sangat
menentukan jalannya sistem pemerintahan di sana? Jangan bermimpi untuk menjadi
anggota Senat, Kongres, atau menjadi Presiden kalau tidak punya jutaan dolar;
atau paling tidak, ada jutawan yang mem-backing-nya. Tidak bisa dipungkiri, man
behind the gun pemerintah Amerika sebenarnya para pemilik modal besar,
konglomerat, dan orang-orang kaya, yang bisa menentukan siapa yang harus duduk
di kursi penguasa. Munculnya skandal-skandal politik dalam kampanye (money
politics) akhirnya tak dapat dihindari.
dalam sistem republik yang berkuasa adalah
sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, meskipun
mayoritas, kaum Muslim berada dalam posisi yang tertekan. Indonesia
lebih didominasi oleh kelompok minoritas sekular liberal terutama dalam hal kekuasaan (power)
dan pemilikan modal (capital).
jargon sistem republik kedaulatan di tangan
rakyat adalah omong-kosong. Sebabnya, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi
para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa dan pengusaha. Bahkan kebijakan
dan keputusan Pemerintah sering dipengaruhi oleh para pemiliki modal, baik
lokal maupun asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan
produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden sering bertabrakan dengan
kemauan rakyat.
virus aqidah SEKULERISME yaitu sebuah pemikiran prinsip yang
memisahkan agama dalam kehidupan. Dari sekulerisme inilah lahir sistem
republik, liberalisme dan turunan-turunannya. Semua ini ada dan dilindungi
dalam sebuah ideologi yang disebut ideologi kapitalisme.
berbagai persoalan dan kesempitan hidup,
dapat terjadi akibat manusia berpaling dari Syariat Islam, mencampakkan
hukum-hukum Allah SWT, dan justru memilih menerapkan Sistem republik buatan
manusia yang bukan berasal dari Islam. Krisis ekonomi global dan berbagai
kerusakan lainnya yang terjadi saat ini adalah bukti tentang kerapuhan dan
kelemahan Sistem republik yang telah gagal memberikan kesejahteraan pada
rakyat. Akhirnya umat semakin banyak yang yakin bahwa tidak lagi bisa berharap pada
Sistem republik, dan inilah saatnya kembali pada Syariat Islam kaffah dalam
naungan Khilafah Islam.
kapitalisme dan sistem republik tidak
menjamin kesejahteraan tiap individu rakyat. Kapitalisme membiarkan persaingan
bebas, sementara sistem republik gagal lahirkan penguasa yang berpihak pada
rakyat.
Sebaliknya, sistem republik terbukti sukses menghasilkan kelompok orang yang sangat licik, sangat berkuasa sekaligus sangat jahat.
Kapitalisme rentan krisis karena sistem
keuangannya ribawi, pasar saham yang spekulatif sebagaimana judi dan mata uang
kertas yang tidak berdasarkan pada emas,
sistem republik mengayomi penerapan sistem
ekonomi kapitalisme.
Sistem republik membuka jalan “terbelinya”
calon pemimpin oleh kaum kapitalis global saat kampanye,
Sistem republik hanya mengokohkan penjajahan
kapitalis dunia terhadap Indonesia,
Inilah wajah sesungguhnya sistem republik
yang hanya membuat rakyat banyak sengsara,
perangkap demokrasi yang menopang penjajahan
kapitalisme global.