Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 10 Mei 2020

Tidak Mengharapkan Upah Dari Manusia - TAFSIR al-Furqan: 57



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya (dengan menginfakkan sebagian hartanya di jalan-Nya).” (TQS. al-Furqan [25]: 57)

Sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah diberikan tugas menyampaikan risalah kepada manusia. Dalam melaksanakan tugasnya, beliau tidak meminta upah kepada manusia. Beliau hanya mengharapkan pahala dan ridha Allah SWT, Dzat yang mengutusnya. Kalaupun ada yang diharapkan dari harta yang dikeluarkan oleh orang-orng yang didakwahi adalah untuk diinfakkan di jalan Allah SWT dan untuk kebaikan lainnya. Inilah di antara yang dapat dipahami dari ayat ini.

Tidak Meminta Upah

Allah SWT berfirman: Qul maa as‘alukum 'alayhi min ajr[in] (katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu). Dalam ayat sebelumnya ditegaskan kepada Rasulullah bahwa beliau diutus untuk menjadi: mubasysyir[an] wa nadziir[an], pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Khithab atau seruan dalam ayat ini masih belum berubah. Sehingga perintah: Qul (katakanlah) juga ditujukan kepada Rasulullah . Beliau diperintahkan untuk menyampaikan perkataan kepada orang-orang yang didakwahi. Ibnu Jarir al-Thabari berkata, "Katakanlah kepada orang-orang yang Aku utus kamu kepada mereka."

Terhadap mereka, beliau diperintahkan menyampaikan perkataan: Maa as‘alukum 'alayhi min ajr[in] (aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu). Dhamiir al-ghaaib (kata ganti pihak ketiga) pada kata 'alayhi (atasnya) merujuk kepada perbuatan yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, yakni tugas beliau sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dikatakan al-Alusi, "Yakni, atas penyampaian risalah yang dibawa; atau atas perkara yang telah disebutkan sebelumnya, berupa al-tabsyiir wa al-indzaar (penyampaian berita gembira dan peringatan).

Sedangkan yang dimaksud dengan ajr[in] di sini adalah upah dari kalian. Demikian menurut Syihabuddin al-Alusi. Huruf min di depan kata tersebut, yakni min ajr[in], menurut Imam al-Qurthubi, berguna li al-ta'kid (untuk menegaskan).

Dengan demikian, ayat ini memberikan pengertian bahwa Rasulullah dalam menyampaikan risalah kepada umatnya, sama sekali tidak meminta upah dari mereka sedikitpun. Demikianlah penjelasan para mufassir. Tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata, "(Aku tidak meminta dari kalian) atas penyampaian dan peringatan tersebut berupa upah yang aku minta dari harta kalian. Sesungguhnya aku mengerjakan ini untuk mencari ridha Allah.“

Tak jauh berbeda al-Thabari, memaknai perkataan tersebut dengan ungkapan, "Wahai kaumku, aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kalian atas apa yang aku bawa dari Tuhanku, sehingga kalian berkata, "Sesungguhnya Muhammad menginginkan harta kita dari dakwahnya, maka kami tidak akan mengikutinya dan memberikan kepadanya sedikitpun dari harta kami."

Bahwa Nabi tidak meminta upah dari umat atas dakwah yang beliau lakukan juga disebutkan dalam beberapa ayat lain, seperti firman Allah SWT: “Katakanlah: ”Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an)" (TQS. al-An'am [6]: 90). Juga firman-Nya: “Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku” (TQS. Shad [38]: 86).

Yang beliau harapkan dari dakwah yang disampaikan adalah upah dari Allah SWT: “Katakanlah: ”Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu" (TQS. Saba' [34]: 47).

Patut dicatat, tidak meminta upah dari umatnya atas dakwah yang dilakukan bukan hanya pada diri Rasulullah , namun juga merupakan sikap para utusan Allah SWT lainnya. Yang mereka harapkan adalah ajr[un] (pahala) dari Allah SWT semata. Kepada kaumnya, Nabi Nuh as. berkata, sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam” (TQS. al-Syu'ara [26]: 109). Pernyataan yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Nabi Hud (lihat: QS. al-Syu'ara [26]: 127), Nabi Shalih as. (lihat: QS. al-Syu'ara [26]: 145), Nabi Luth as. (lihat: QS. al-Syu'ara [26]: 164), dan Nabi Syu'aib as. (lihat: QS. al-Syu'ara [26]: 180).

Infak Di Jalan Allah

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: illaa man syaa‘a an attakhidzu ilaa Rabbihi sabiil[an] (melainkan orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya (dengan menginfakkan sebagian hartanya di jalan-Nya). Menurut Fakhruddin al-Razi, penggalan ayat ini mengandung tiga kemungkinan makna yang saling berdekatan.

Pertama, beliau tidak meminta mereka atas penyampaian dan dakwahnya upah kecuali mereka menginginkan untuk mendekatkan diri (kepada Allah SWT) dengan infak di jalan jihad dan lainnya. Maka, mereka pun menjadikannya sebagai jalan mendapatkan rahmat Tuhan mereka dan memperoleh pahala-Nya.

Kedua, maknanya: "Aku tidak meminta kalian atas upah untuk diriku, namun aku meminta kamu agar mencari pahala untuk diri kalian sendiri dengan menjadikan jalan kepada Tuhan kalian.” Ini adalah pendapat al-Qadhi.

Ketiga, kalimat illaa man syaa‘a (kecuali orang yang menginginkan), yang dimaksud dengannya adalah fi'la man syaa‘a (perbuatan orang yang menghendaki). Ini adalah pendapat penulis kitab al-Kasysyaaf.

Dari ketiga pendapat, tampaknya pendapat pertama lebih banyak dipilih oleh para mufassir. Al-Qurthubi, misalnya, berkata, "Akan tetapi orang yang menginginkan (an yattahidza ilaa Rabbihi sabiil[an], mengambil jalan kepada Tuhannya) dengan menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah, maka berinfaklah."

Ibnu Jarir al-Thabari juga berkata, "Akan tetapi, siapa saja di antara kalian yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya dengan menginfakkan sebagian hartanya di jalan-Nya dan pada perkara yang dapat mendekatkan kepada-Nya, berupa sedekah, infak dalam jihad memerangi musuh-Nya, dan berbagai jalan kebaikan lainnya.”

Dengan demikian, dalam dakwahnya Rasulullah tidak mengharapkan upah dan imbalan dari manusia. Yang beliau harapkan adalah pahala dan ridha dari Allah SWT. Jika mereka menginfakkan harta mereka, sesungguhnya itu adalah infak di jalan Allah SWT. Infak itu dilakukan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengharapkan pahala dan ridha-Nya.

Itulah dakwah yang dilakukan Rasulullah . Beliau tidak mengharapkan imbalan materi dari umatnya. Balasan yang diharapkan dari dakwah yang beliau lakukan adalah ganjaran dari Allah SWT, Dzat Pemilik alam semesta. Sikap ini pula yang sepatutnya diteladani oleh umatnya dalam mendakwahkan agama-Nya. Ganjaran dan pahala dari Allah SWT ini memang seharusnya dicari dan dikejar. Dengan berbekal banyak pahala, dapat melempangkan jalan bagi pelakunya masuk ke dalam Surga-Nya. Apa yang lebih besar dan lebih menarik dari itu?

Berkaitan dengan harta, kalaupun umatnya diminta untuk menginfakkan harta mereka, maka itu bukan untuk beliau. Itu adalah infak di jalan jihad dan kebajikan lainnya. Tatkala infak itu dijadikan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mendapatkan ridha-Nya, maka sesungguhnya akan kembali kepada pelakunya. Sebab, Allah SWT akan membalas harta yang diinfakkan itu berlipat ganda. Sungguh beruntung manusia yang mengerjakan dengan ikhlas dan semangat. Semoga kita termasuk di dalamnya. WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Dalam mendakwahkan risalahnya, Rasulullah tidak mengharapkan imbalan materi dari umatnya. Beliau mengerjakan semata ikhlas karena Allah dan semata mengharapkan ganjaran dan ridha-Nya.

2. Menginfakkan sebagian harta dijadikan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperoleh ridha-Nya.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam