Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 28 Mei 2020

Tujuan Diutusnya Rasulullah SAW - TAFSIR al-Fath: 8-9



“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-(agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (TQS. al-Fath [48]: 8-9)

Ayat sebelumnya menerangkan tentang balasan bagi orang-orang munafik dan musyrik. Bahwa mereka akan ditimpa keburukan, mendapatkan murka dan laknat Allah SWT, dan disediakan Neraka Jahannam. Itu semua sebagai balasan atas kejahatan yang mereka lakukan. Kejahatan mereka yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah persangkaan buruk terhadap Allah SWT. Lalu ditegaskan bahwa tentara langit dan bumi itu merupakan milik Allah SWT.

Ayat ini kemudian menerangkan tentang tugas yang diemban Rasulullah kepada manusia. Kemudian dilanjutkan dengan kewajiban manusia yang menjadi sasaran dakwah beliau.

Tugas Rasulullah

Allah SWT berfirman: Innaa arsalnaaka syaahid[an] wa mubasysyir[an] wa nadziir[an] (sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan). Khithaab atau seruan ayat ini ditujukan kepada Nabi  . Menurut al-Alusi dan beberapa mufassir lainnya, khithaab ini juga berlaku untuk umatnya.

Disebutkan ayat ini, ada tiga tugas yang dipikulkan kepada Rasulullah sebagai utusan-Nya kepada manusia.

Pertama, syaahid[an] (saksi). Menurut para mufassir, yang dimaksud dengan saksi di sini adalah saksi atas perbuatan-perbuatan umat beliau. Di antara yang menafsirkan demikian adalah al-Thabari, al-Khazin, dan lain-lain. Diterangkan al-Zamakhsyari dah al-Alusi, tugas Rasulullah menjadi saksi atas umatnya didasarkan pada firman Allah SWT: “Agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (TQS. al-Baqarah [2]: 143).

Menurut al-Syaukani, tugas Rasulullah sebagai saksi atas umatnya adalah dengan menyampaikan risalah kepada mereka. Ada pula yang menafsirkannya menjadi saksi atas keesaan Allah SWT. Menurut Fakhruddin al-Razi, penafsiran tersebut sebagaimana firman-Nya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu.” (TQS. Ali Imran [3]: 18).

Kedua, mubasysyir[an]. Kata mubasysyir merupakan bentuk al-faa'il dari kata basysyara yang berarti memberikan kabar yang menggembirakan. Kabar gembira itu disampaikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Diterangkan al-Khazin, beliau menjadi pembawa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan taat kepada beliau dengan pahala. Ibnu Jarir al-Thabari juga menuturkan, Rasulullah menjadi pemberi berita gembira kepada mereka dengan Surga apabila mereka mau menerima agama yang lurus yang didakwahkan Rasulullah kepada mereka.

Dan ketiga, nadziir[an]. Kata ini berarti mundzir. Yakni, bentuk faa'il dari kata al-indzaar. Jika al-tabsyiir berarti informasi yang menggembirakan, maka al-indzaar adalah informasi yang menakutkan. Dengan demikian, Rasulullah juga menjadi pemberi peringatan. Peringatan tersebut disampaikan kepada orang-orang yang ingkar dan bermaksiat kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Dikatakan Ibnu Jarir, beliau menjadi pemberi peringatan kepada mereka dengan azab jika mereka berpaling dari agama dari Allah SWT yang dibawa beliau.

Selain dalam ayat ini, semua tugas Nabi  ini juga disebutkan dalam QS. al-Ahzab [33]: 45.

Kewajiban Manusia

Kemudian dalam ayat berikutnya disebutkan: Litu‘minuu biLlaah wa Rasuulihi (supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya). Al-Dhamiir al-mukhaathab (kata ganti orang kedua, yang diajak bicara) dalam ayat ini menunjuk kepada manusia yang menjadi sasaran dakwah Rasulullah . Bahwa diutusnya Rasulullah sebagai saksi, penyampai kabar gembira, dan pemberi peringatan itu adalah agar manusia beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya.

Selain beriman, juga melakukan beberapa perbuatan yang menjadi konsekuensinya. Disebutkan: watu'azziruuhu (menguatkan [agama]Nya). Diterangkan al-Alusi, ini berarti tanshuruuhu (menolongnya). Menurut al-Khazin, al-ta'zir adalah menolong disertai dengan sikap ta'zhim (penghormatan). Sehingga, mufassir tersebut pun memaknai watu'azziruuhu sebagai memperkuat dan menolongnya.

Qatadah, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, juga menafsirkannya tanshuruunahu wa tamna'uu minhu (menolong dan membantunya). Di antaranya adalah kata al-ta'zir yang digunakan untuk menunjuk hukuman, yang berarti al-maani‘ (pencegah). Sedangkan Ibnu Abbas -dalam riwayat lainnya- dan Ikrimah menafsirkannya dengan berperang bersamanya.

Kemudian disebutkan: wa tuwaqqiruuhu (membesarkan-Nya). Menurut Ibnu Katsir, al-tawqiir berarti al-ihtiraam wa al-ijlaal wa al-i'zhaam (menghormati, memuliakan, dan mengagungkan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menafsirkannya tu’zhzhimuuhu (mengagungkannya).

Lalu dilanjutkan: Wa tusabbihuuhu bukrat[an] wa ashiil[an] (dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang). Kata al-tasbiih berarti al-tanziih (menyucikan) dari segala kekurangan. Bisa pula dari al-subhah yang berarti shalat.

Kata bukrah berarti pagi hari, sedangkan ashiil berarti sore hari. Menurut Fakhruddin al-Razi penggunaan dua kata tersebut bisa menunjukkan kontinyuitas. Bisa juga itu merupakan perintah yang berbeda dengan apa dilakukan oleh orang-orang musyrik. Sebab, dulu orang-orang musyrik itu berkumpul untuk menyembah patung-patung di Ka'bah pada pagi hari dan sore hari, maka mereka pun diperintahkan untuk bertasbih pada waktu-waktu yang dahulu mereka mengerjakan perbuatan keji dan kemungkaran.

Mengenai dhamiir al-ghaaib pada kata tusabbihuuhu (bertasbih kepada-Nya), tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Bahwa kembalinya kepada Allah SWT. Akan tetapi pada dua kata sebelumnya, yakni: watu'azziruuhu wa tuwaqqiruuhu terdapat perbedaan pendapat. Menurut sebagian, dua al-dhamiir al-ghaaib itu kembali kepada Rasulullah . Sehingga maknanya, kamu mau menolong dan memuliakan Rasulullah . Di antara yang memilih pendapat ini adalah Imam al-Qurthubi, al-Dhahhak, dan lain-lain.

Menurut pendapat sebagian yang lain, dua kata itu kembali kepada Allah SWT. Sehingga memberikan makna: dan menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Di antara yang memilih pendapat ini adalah Fakhruddin al-Razi.

Abu Bakar al-Jazairi menggabungkan kedua penafsiran tersebut. Menurutnya, watu’azziruuhu wa tuwaqqiruuhu, yakni menolong dan mengagungkannya, untuk Allah SWT dan Rasulullah .

Demikianlah. Rasulullah diutus menjadi saksi tentang keesaan Allah SWT. Juga menjadi saksi atas manusia, bahwa beliau telah menyampaikan risalah kepada mereka. Wa-Llaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Rasulullah diutus kepada manusia untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan.

2. Dengan penyampaian dakwah oleh Rasulullah, diharapkan manusia beriman, menolong, dan mengagungkan Allah SWT dan rasul-Nya, dan mensucikan-Nya.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 194

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam