Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 07 November 2021

Penjelasan Pasal 190 Rancangan Undang-Undang Dasar Islami



Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Pasal 190

 

Dilarang keras mengadakan perjanjian militer dan sejenisnya, atau yang terikat secara langsung dengan perjanjian tersebut, seperti perjanjian politik dan persetujuan penyewaan pangkalan serta lapangan terbang. Dibolehkan mengadakan perjanjian bertetangga baik, perjanjian dalam bidang ekonomi, perdagangan, keuangan, kebudayaan dan gencatan senjata.

 

Definisi “perjanjian damai” adalah kesepakatan yang dibuat antara negara-negara dengan tujuan mengatur hubungan tertentu dan menetapkan aturan-aturan dan syarat-syarat yang dipatuhi dalam hubungan itu. Para fuqaha’ menggunakan istilah “al-Muwada’at”, dan dalil bagi kebolehan menyepakati perjanjian-perjanjian antara kaum Muslimin dan kaum kafir adalah firman Allah SWT:

 

((إلاَ الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ)) [النساء 90] وقوله: ((وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِه)) [النساء 92] وقوله: ((وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ))

 

Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian.” (QS an-Nisa’ [4]: 90). Dan firman-Nya, “Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh).” (QS an-Nisa’ [4]: 92). Dan firman-Nya, “Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka.” (QS al-Anfal [8]: 72)

 

Dan kata “al-mitsaq” digunakan dalam ayat-ayat yang berarti perjanjian-perjanjian. Rasul saw. membuat beberapa perjanjian dengan kaum kafir, namun prasyarat bagi validitas kontrak perjanjiannya adalah bahwa hal-hal yang diberlakukan perjanjian atasnya adalah hal-hal yang dibolehkan syara’. Terdapat berbagai macam perjanjian, seperti perjanjian politik dan non-politik.

 

Perjanjian-perjanjian non-politik adalah perjanjian yang menentukan dan merinci pola hubungan antara dua negara dalam perkara tertentu antara keduanya seperti hubungan keuangan, ekonomi, perdagangan, industri dan budaya, dan apapun yang serupa, dan itu termasuk hal-hal yang sesuai syara’, dan hukum-hukum syara’ terkait hal-hal itu berlaku.

 

Begitulah, perjanjian ekonomi dibolehkan karena hukum-hukum terkait ijarah dan perdagangan internasional berlaku. Dan perjanjian perdagangan juga dibolehkan, sebab hukum-hukum terkait jual-beli dan perdagangan internasional berlaku. Dan perjanjian keuangan juga dibolehkan, karena hukum-hukum transaksi keuangan diterapkan. Dan perjanjian kebudayaan dibolehkan, sebab hukum-hukum terkait pendidikan dan pengajaran berlaku dari segi bahwa itu materi-materi sains, dan dari segi hasil-hasil pasti maupun spekulatif dari mempelajari dan mengajarkannya.

 

Ada tiga kategori perjanjian politik: pertama, yang dibolehkan, yaitu perjanjian yang tidak mempengaruhi institusi Negara, dan tidak melemahkan kekuasaannya di dalam negeri maupun secara internasional, dan tidak memberi kaum kafir jalan kekuasaan apapun atasnya, seperti perjanjian damai dan gencatan senjata. Nabi saw. membuat perjanjian gencatan senjata dengan Quraisy yaitu perjanjian Hubaibiyah.

 

Juga boleh perjanjian-perjanjian untuk tidak melakukan agresi antara satu sama lain; Rasul saw. membuat perjanjian untuk tidak melakukan agresi terhadap Bani Dhamrah dan Bani Mudlij. Begitu pula, perjanjian-perjanjian untuk berhubungan baik dibolehkan karena Rasul saw. membuat sebuah perjanjian berhubungan baik dengan kaum Yahudi dan lain-lain semisalnya.

 

Kategori kedua adalah perjanjian-perjanjian yang dibutuhkan Negara apabila berada dalam posisi sulit dan terdesak, dan itu dibolehkan, seperti perjanjian untuk mengambil jizyah dari suatu negara sementara negara itu masih dikuasai oleh sistem kufur, atau sebuah perjanjian di mana Negara memberikan uang kepada negara lain dengan imbalan negara lain itu bersikap netral terhadap kita.

 

Kategori ketiga adalah perjanjian-perjanjian yang diharamkan, seperti perjanjian perlindungan antar negara, atau perjanjian netralitas permanen dan perjanjian yang menggariskan batas-batas negara permanen, dan perjanjian untuk menyewakan lapangan udara dan pangkalan militer dan apapun yang semisal. Perjanjian-perjanjian semacam itu haram, karena perkara-perkara yang disepakati dalam perjanjiannya haram, sebab perjanjian perlindungan antar negara memberikan kaum kafir kekuasaan atas kaum Muslimin dan membuat keamanan kaum Muslimin menjadi keamanan kufur. Netralitas permanen adalah dilarang, karena melemahkan kekuasaan kaum Muslimin. Menggariskan batas-batas negara permanen diharamkan karena berarti tidak mengemban dakwah Islam dan menghentikan hukum-hukum jihad. Menyewakan lapangan udara adalah haram karena memberi kaum kafir kekuasaan atas Darul Islam dan begitu pula dengan pangkalan-pangkalan militer. Untuk perjanjian-perjanjian persekutuan militer atau pakta militer atau kerjasama militer, itu diharamkan karena sabda Nabi saw.:

 

«لا تَسْتَضِيئُوا بِنَارِ الْمُشْرِكِينَ»

 

Jangan minta pertolongan dengan apinya orang-orang musyrik” (HR Ahmad dan an-Nasa’i)

 

Dan api suatu masyarakat adalah kiasan bagi barisan mereka dalam perang. Kerjasama militer juga diharamkan karena sabda Beliau saw.:

 

«فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ»

 

Aku tidak meminta bantuan [militer] pada orang-orang kafir” (HR Muslim, dari ‘Aisyah ra.)

 

Dan dari ‘Aisyah ra. dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah:

 

«إِنَّا لا نَسْتَعِينُ بِمُشْرِكٍ»

Kami tidak menginginkan bantuan [militer] apapun dari kaum musyrik.”

 

Dan sabda Beliau saw.:

 

«لاَ نَسْتَعِينُ بِالْكُفَّارِ عَلَى الْمُشْرِكِينَ»

 

Kami tidak meminta bantuan [militer] dari kaum kafir melawan kaum musyrik” (HR Ibnu Abi Syaibah, dari Sa’id bin al-Mundzir)

 

Mengenai apa yang diriwayatkan dari Ahmad dan Abu Dawud dari Dzi Makhmar yang berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

 

«تُصَالِحُونَ الرُّومَ صُلْحًا آمِنًا، وَتَغْزُونَ أَنْتُمْ وَهُمْ عَدُوًّا مِنْ وَرَائِهِمْ»

 

Kalian akan membuat perjanjian damai keamanan dengan kaum Romawi [Bizantium], maka kalian dan mereka akan memerangi musuh di belakang mereka.” Dan sabda Beliau saw.:

«تَغْزُونَ أَنْتُمْ وَهُمْ عَدُوًّا مِنْ وَرَائِهِمْ»

maka kalian dan mereka akan memerangi musuh di belakang mereka,” diambil dengan maksud individu-individu orang Romawi, bukan negara Romawi, itu karena Beliau saw. bersabda:

«تُصَالِحُونَ الرُّومَ صُلْحًا آمِنًا، وَتَغْزُونَ»

Kalian akan membuat perjanjian damai keamanan dengan kaum Romawi [Bizantium], dan kalian akan memerangi,” dan perjanjian itu antara kaum Muslimin dan orang-orang kafir itu hanyalah ketika mereka menerima syarat jizyah dan untuk masuk di bawah kekuasaan pemerintahan kaum Muslimin, sebab Islam memerintahkan kaum Muslimin untuk memberi kaum kafir yang mereka lawan pilihan di antara tiga: Islam, jizyah atau perang. Jika perjanjian tersebut terjadi dan mereka tetap kafir, maka ini tidak bisa terjadi kecuali dalam keadaan mereka itu membayar jizyah dan berada di bawah bendera Islam. Maka, oleh karenanya, sabda Beliau saw.: “kalian akan membuat perjanjian,” adalah indikasi bahwa mereka ada di bawah bendera kaum Muslimin, sehingga mereka adalah individu-individu pada waktu itu, dan ini dikuatkan dengan apa yang terjadi dengan kaum Romawi. Kaum Muslimin memerangi dan mengalahkan mereka, menduduki tanah-tanah mereka, dan kaum Romawi berperang bersama kaum Muslimin sebagai indivdiu-individu, tapi Negara Romawi tidak ikut berperang sebagai sekutu Negara Islam melawan musuh di belakang mereka. Ini mengkonfirmasi bahwa apa yang dimaksud oleh riwayat itu adalah individu-individu orang Romawi, bukan sebagai Negara, dan wajib untuk memahaminya demikian sehingga menggunakan, mengkompromikan dan mengamalkan semua dalil – dan ini telah dikenal luas dalam ushul fiqih, dan tidaklah dilakukan solusi terakhir berupa menimbang dua dalil mana yang lebih kuat sehingga kemudian ditinggalkan salah satunya –sementara keduanya maqbul- kecuali menggunakan atau mengkompromikan keduanya tidak mungkin dilakukan. Dengan demikian, jelaslah bahwa tidak ada dalil yang membolehkan mencari bantuan militer kaum kafir di mana mereka sebagai sebuah negara; dalil-dalil justru secara eksplisit melarangnya tanpa ada pembatasan.

 

Inilah dalil-dalil bagi pasal ini. []

 

Bacaan:

http://www.nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-foreign-policy/1187-dstr-sys-khrj-190

 

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam