Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 09 Februari 2022

Pengeluaran Baitul Mal Disalurkan pada Enam Bagian

 


Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Penjelasan Pasal 152 Rancangan UUD Islami

 

Pasal 152

 

Pengeluaran Baitul Mal disalurkan pada enam bagian:

a. Delapan golongan yang berhak menerima zakat. Mereka berhak mendapatkannya dari pos pemasukan zakat (di Baitul Mal).

b. Jika dari kas zakat tidak ada dana, maka untuk orang fakir, miskin, ibnu sabil, kebutuhan jihad, dan gharimin (orang yang dililit hutang), diberikan dari sumber pemasukan Baitul Mal lainnya. Dan jika itu pun tidak ada dana, maka para gharimin tidak mendapatkan sesuatu apapun. Untuk memenuhi kebutuhan orang fakir, miskin, ibnu sabil dan kebutuhan jihad, dipungut pajak. Negara harus meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan tersebut apabila situasi dikhawatirkan menimbulkan bencana/malapetaka.

c. Orang-orang yang menjalankan pelayanan bagi negara seperti para pegawai, penguasa, dan tentara, diberikan harta dari Baitul Mal. Apabila dana Baitul Mal tidak mencukupi, maka segera dipungut pajak untuk memenuhi biaya tersebut. Negara harus meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan tersebut apabila situasi dikhawatirkan menimbulkan bencana/malapetaka.

d. Untuk pembangunan sarana pelayanan masyarakat yang vital seperti jalan raya, masjid, rumah sakit, dan sekolah, mendapatkan biaya dari Baitul Mal. Apabila dana Baitul Mal tidak mencukupi, segera dipungut pajak untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

e. Pembangunan sarana pelayanan pelengkap mendapatkan biaya dari Baitul Mal. Apabila dana Baitul Mal tidak mencukupi maka pendanaannya ditunda.

f. Bencana alam mendadak, seperti gempa bumi dan angin topan, biayanya ditanggung Baitul Mal. Apabila dana Baitul Mal tidak mencukupi, maka negara mengusahakan pinjaman secepatnya, yang kemudian dibayar dari hasil pungutan pajak.

 

Untuk poin (a) pasal ini, dalilnya adalah ayat Sedekah (Zakat), yaitu firman Allah SWT:

 

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيل

 

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk fi sabilillah (jihad) dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS at-Taubah [9]: 60)

 

Untuk poin (b), wajib atas Baitul Mal untuk memberi dana kepada orang fakir, miskin, ibnu sabil dan untuk kebutuhan jihad, baik ada dana di Baitul Mal ataupun tidak, karena pengeluaran untuk itu adalah kewajiban dari Allah SWT atas Baitul Mal dan kaum Muslimin. Sehingga, jika tidak mencukupi dana di Baitul Mal maka pajak ditarik dari kaum Muslimin untuk keperluan itu, karena kewajibannya atas mereka sebagaimana ditunjukkan dalil-dalil Syari’ah. Sementara, bagi gharimin (orang-orang yang dililit hutang), Allah SWT mewajibkannya atas Baitul Mal saja, tidak atas kaum Muslimin. Mengapa itu wajib atas Baitul Mal adalah karena sabda Rasulullah saw.:

 

«أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ، فَمَنْ تَرَكَ دَيْناً فَعَلَيَّ، وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ»

 

Aku lebih utama bagi setiap Mukmin dibandingkan dengan dirinya. Maka siapa saja yang [mati] meninggalkan hutang, pelunasannya menjadi tanggunganku. Dan siapa saja yang meninggalkan harta, itu adalah hak ahli warisnya (HR Muslim dari Jabir)

 

Tanggungan itu atas Beliau saw. sebagai Kepala Negara, dan oleh karenanya menjadi bagian dari yang diwajibkan Allah SWT atas Baitul Mal. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda:

 

«فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْ ضَيَاعاً فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلاَهُ»

 

“Jika seorang yang mukmin mati meninggalkan harta, itu adalah untuk para ahli warisnya, dan jika dia meninggalkan hutang atau (orang lemah) tanggungan maka datanglah kepadaku karena aku adalah penanggungnya.” (HR al-Bukhari)

 

Dengan demikian, hutang itu atas tanggungan Baitul Mal. Jika terdapat harta di Baitul Mal maka wajib menyalurkannya, dan jika tidak ada dana, maka tidak boleh menarik pajak, sebab tidak ada dalil bahwa kewajiban tersebut atas kaum Muslimin. Dalam Syarah Shahih Muslim Imam an-Nawawi disebutkan:

 

(أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم كان لا يصلي على من مات، وعليه دين لم يخلف به وفاء، لئلا يتساهل الناس في الاستدانة ويهملوا الوفاء، فزجرهم على ذلك بترك الصلاة عليهم، فلما فتح الله على المسلمين مبادي الفتوح قال صلى الله عليه وآله وسلم :«مَنْ تَرَكَ دَيْناً فَعَلَيَّ» أي قضاؤه، فكان يقضيه)

 

“Nabi saw. tidak mensholatkan siapapun yang meninggal dalam kondisi memiliki utang yang belum diselesaikan, supaya orang-orang tidak sembarangan mengambil utang dan mengabaikan pelunasan, maka Beliau menolak hal itu dengan tidak mensholati mereka. Ketika Allah membuka penaklukan bagi kaum Muslimin, Beliau saw. bersabda: “Siapa saja yang meninggalkan hutang, itu menjadi tanggunganku.” Dengan kata lain, untuk memenuhinya, dan Beliau dahulu memenuhinya.Sehingga terbukti bahwa utang itu dibayarkan dari Baitul Mal jika dananya ada.

 

Untuk poin (c), dalilnya adalah bahwa Allah SWT mewajibkan pendidikan, peradilan dan jihad atas kaum Muslimin, dan Dia SWT mewajibkan terwujudnya Khalifah atas mereka, dan mewajibkan atas Khalifah untuk mengatur urusan-urusan dengan apapun yang diperlukan dalam hal para pejabat penguasa dan pegawai negara. Untuk memenuhi kewajiban itu, diperlukan dana dari Baitul Mal guna membayar gaji para pegawai, dan santunan untuk para pejabat penguasa. Ini sesuai kaidah: “Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.” Jika apa yang ada di Baitul Mal tidak mencukupi, maka pajak ditarik dalam rangka memenuhi pengeluaran-pengeluaran tersebut, dan jika dikhawatirkan dapat terjadi instabilitas/kerusakan (fasad) maka utang diambil untuk memenuhi kebutuhan itu.

 

Terkait poin (d), pendanaan untuk sarana pelayanan masyarakat merupakan bagian dari kewajiban mengurus urusan-urusan rakyat. Sebagaimana diriwayatkan, Nabi saw. bersabda:

 

«وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

 

“...dan Ia (Imam) bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dari Ibnu Umar)

 

Dan fakta bahwa Umat akan tertimpa bahaya jika tidak ada pelayanan negara itu. Rasulullah saw. bersabda:

 

«لا ضَرَرَ وَلا ضِرَارَ»

 

“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan.” (HR Ahmad dari Ibnu ‘Abbas; al-Hakim dari Abu Sa’id Al-Khudri)

 

Oleh karenanya, wajib atas Khalifah mengadakan berbagai sarana dan pelayanan Negara, baik yang vital maupun non-vital. Dalil bahwa sarana pelayanan yang vital juga merupakan kewajiban atas kaum Muslimin adalah: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan.” Inilah mengapa berbagai sarana yang non-esensial bukan kewajiban atas kaum Muslimin, yaitu Umat tidak akan tertimpa bahaya jika sarana itu tidak ada. Dan sebaliknya, sarana yang esensial/vital -yang ketiadaannya akan menimbulkan bahaya atas Umat- menjadi kewajiban atas Umat.

 

Bagi Baitul Mal, terdapat kewajiban atasnya menangani semua pengeluarannya yang menjadi maslahat bagi kaum Muslimin, dan semua sarana pelayanan yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan bahaya. Sementara, pajak tidaklah ditarik dari kaum Muslimin untuk membiayai sarana non-vital, semacam pelebaran jalan yang sebenarnya masih cukup bagi masyarakat tanpa dilebarkan, atau membangun rumah sakit baru yang sebenarnya masih cukup dengan rumah sakit yang ada, dan lain-lain yang semacamnya yang termasuk non-vital. Jika ada dana, Baitul Mal Negara akan memenuhi sarana non-esensial, jika tidak ada dana maka ditunda sampai terpenuhi dananya, dan tidak dibenarkan memungut pajak untuk keperluan itu.

 

Poin (f) berdasar atas dalil menolong orang yang kesusahan. Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, Nabi saw. bersabda:

 

«عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ، فَقَالُوا: يَا نَبِيَّ اللهِ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ، قَالُوا: فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ، قَالُوا: فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ وَلْيُمْسِكْ عَنْ الشَّرِّ، فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ»

 

 

"Wajib bagi setiap muslim bershadaqah." Mereka (para sahabat) bertanya: "Wahai Nabi Allah, bagaimana kalau ada yang tidak sanggup?" Beliau menjawab: "Dia bekerja dengan tangannya sehingga bermanfaat bagi dirinya lalu dia bershadaqah." Mereka bertanya lagi: "Bagaimana kalau tidak sanggup juga?" Beliau menjawab: "Dia membantu orang yang sangat memerlukan bantuan." Mereka bertanya lagi: "Bagaimana kalau tidak sanggup juga?" Beliau menjawab: "Hendaklah dia berbuat kebaikan (ma'ruf) dan menahan diri dari keburukan karena yang demikian itu berarti shodaqah baginya." (HR al-Bukhari)

 

Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

 

«الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لا يَظْلِمُهُ وَلا يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

 

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzhalimi Muslim yang lain dan tidak boleh menyerahkan dirinya kepada musuh. Siapa saja yang memenuhi kebutuhan saudaranya niscaya Allah memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang meringankan kesulitan seorang Muslim niscaya Allah meringankan dari dia satu kesulitan di antara banyak kesulitan pada Hari Kiamat. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim niscaya Allah menutupi aibnya pada Hari Kiamat” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad)

 

Hadits-hadits tersebut umum mencakup Khalifah dan kaum Muslimin, sehingga kewajibannya atas Baitul Mal dan atas kaum Muslimin. Jika ada cukup dana di Baitul Mal maka dibelanjakan darinya, dan jika tidak cukup dana di sana maka pajak dikumpulkan untuk keperluan itu, karena wajib atas kaum Muslimin menolong mereka yang kesusahan.

 

Pengambilan dana dari utang pada situasi di mana dikhawatirkan timbul kerusakan (fasad), sebagaimana disebutkan di poin (b), (c) dan (f), adalah karena kerusakan tidak boleh/ haram menimpa kaum Muslimin, dan mengatasinya adalah kewajiban.

 

«لا ضَرَرَ وَلا ضِرَارَ»

 

“Tidak boleh menimbulkan bahaya maupun membahayakan.”

 

Jadi, jika tidak tersedia dana, dan utang tidak diambil, dan menunggu uang terkumpul akan dapat menimbulkan bahaya (dharar), maka wajib mengambil utang untuk mengatasi bahaya. Negara perlu mengambil utang sebesar yang diperlukan untuk menghilangkan bahaya. Tidaklah diperbolehkan mengambil utang untuk keperluan selain tiga situasi tersebut, sebab pengeluaran untuk keperluan lain bergantung pada ada-tidaknya dana, jika tidak ada dana maka tidak boleh mengutang untuk keperluan itu.

 

Untuk tiga keperluan tersebut, jika memungkinkan menunggu dana terkumpul untuk membiayainya tanpa menimbulkan bahaya selama waktu menunggu, maka ditunda sampai terkumpul dana dari pajak. Dan jika tidak bisa berjeda waktu dan masyarakat akan tertimpa bahaya karena ada jeda waktu maka di kala itu utang diambil untuk keperluan itu. []

 

Bacaan:

Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu

http://nusr.net/1/en/constitution-consciously/constitution-economic-system/1046-dstr-ni-iqtsd-152

 

Unduh BUKU Penjelasan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami [PDF]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam