Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 03 Februari 2008


  1. Gejala Deindustrialisasi
Yang dimaksud dengan deindustrialisasi adalah menurunnya peran industri dalam perekonomian secara menyeluruh. Deindustrialisasi ditandai dengan penurunan absolut dalam aktivitas industri manufaktur, khususnya bila diukur dari penyerapan lapangan kerja dan penurunan unit usaha dalam suatu daerah dalam jangka panjan. Studi Kuncoro (2007) menunjukkan gejala deindustrialisasi sudah mulai terlihat terutama di sentra-sentra industri padat karya dan di daerah yang rawan bencana gempa seperti DIY.

Tabel 2 menunjukan adanya penurunan jumlah penduduk yang bekerja di sektor industri pasca tahun 1994. Penyebab dari deindustrialisasi ini bisa karena adanya perubahan pola spesialisasi internasional. Penyebab lain dari deindustrialisasi adalah hilangnya keunggulan kompetitif dari sektor industri suatu negara.

Tabel 2. Persentase Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 1971-2006 (Persen)
Sektor
1971
1980
1985
1990
1994
2003
2006
1. Pertanian
67,04
56,30
54,72
50,43
46,22
46.38
44.47
2. Pertambangan & Penggalian
0,21
0,76
0,67
1,01
0,90
0.79
1.00
3. Industri Pengolahan
6,92
9,14
9,29
11,53
13,24
12.39
12.16
4. Listrik, Air dan Gas
0,09
0,13
0,11
0,20
0,22
0.16
0.22
5. Bangunan
1,72
3,23
3,36
4,13
4,34
4.37
4.60
6. Perdagangan
10,96
13,04
14,98
14,87
17,05
18.59
19.50
7. Transportasi & Komunikasi
2,42
2,87
3,14
3,69
4,12
5.32
5.74
8. Perbankan, Keuangan, Jasa
0,23
0,59
0,40
0,96
0,76
1.41
1.21
9. Pelayanan umum & Jasa lain
10,40
13,95
13,33
13,18
13,13
10.60
11.11
Jumlah
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100.00
100.00
Total Kesempatan Kerja (ribu jiwa)
39.210
51.553
62.456
70.891
81.903
92.810
95.177
Sumber : Biro Pusat Statistik, berbagai tahun


  1. Rendahnya Utilitas Kapasitas Produksi
Tingkat penggunaan kapasitas produksi untuk seluruh sektor industri nampaknya belum pulih seperti sebelum periode krisis ekonomi. Tabel 3 menunjukkan rata-rata tingkat utilitas kapasitas produksi industri Indonesia hanya sekitar 64-66%. Untuk beberapa subsektor memang mengalami kenaikan, yaitu tekstil dan produk tekstil, alat transportasi darat & kedirgantaraan, maritim, logam, mesin, telematika & elektronika, makanan, hasil hutan & perkebunan, dan kimia hulu. Namun, utilitas kapasitas produksi untuk industri aneka, minuman menunjukkan tren penurunan.

Tabel 3. Tingkat Utilisasi Kapasitas Produksi Sektor Industri
No.
Sub Sektor Industri
2003
2004
2005*)
1.
Logam
57.9
63.5
59.4
2.
Mesin
57.3
58.8
61.4
3.
Tekstil dan Produk Tekstil
69.2
70.6
71.7
4.
Aneka
61.2
63.1
60.3
5.
Alat Transport Darat & Kedirgantaraan
39.7
36.5
40.7
6.
Maritim
50.2
50.8
52.3
7.
Telematika & Elektronika
67.2
68.0
68.3
8.
Makanan
62.0
63.9
65.0
9.
Minuman & Tembakau
68.3
68.5
66.9
10.
Hasil Hutan & Perkebunan
71.3
74.6
74.7
11.
Kimia Hulu
77.4
77.9
86.7
12.
Kimia Hilir
77.3
77.8
79.8

Rata – rata Sektor Industri
63.3
64.5
65.6
Sumber: Departemen Perindustrian (2005)
  1. Ketergantungan Ekspor Industri Berbasis SDA dan Buruh Murah
Hal yang cukup memprihatinkan adalah adanya indikasi mulai melemahnya daya saing Indonesia sejak tahun 1992. Salah satu sebab utamanya adalah masih terkonsentrasinya produk ekspor nonmigas yang tergolong hasil dari industri yang padat sumberdaya alam (NRI) dan berbasis tenaga kerja yang tidak terampil (ULI). Struktur ekspor nonmigas Indonesia telah berubah berdasarkan intensitas input (factor intensity), yang dikelompokkan menjadi 5 kategori, yakni: (a) NRI (Natural Resource Intensive), (b) ULI (Unskilled Labour Intensive), (c) PCI (Physical Capital Intensive), (d) HCI (Human Capital Intensive), dan (e) TI (Technological Intensive).n Tabel 4 menjelaskan struktur ekspor nonmigas Indonesia menurut klasifikasi tersebut.
Tabel 4. Ekspor Nonmigas Menurut Kategori: Indonesia, 1994-2003 (%)
Kategori
1994
1997
2000
2001
2002
2003
HCI
11,9
13,7
11,7
12,4
13,4
13,8
TI
13,0
18,6
26,0
24,9
25,8
24,7
NRI
24,5
20,7
10,2
10,7
10,6
10,1
PCI
5,3
10,0
15,2
13,2
14,7
14,9
ULI
45,3
37,0
36,9
38,9
35,6
36,5
Total
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Nilai Ekspor
(juta US $)
20,516
22,454
36,448
31,977
31,323
31,645
Sumber: Dihitung dari BPS, Trade Statistics, berbagai tahun
Catatan: NRI: SITC 53, 63, 66 (except 664, 665, 666)
ULI: SITC 65, 664, 665, 666, 81-85, 89, (except 896, 897)
PCI: SITC 51, 52, 67, 71, 72, 73, and 75, 751
HCI: SITC 55, 62, 64, 69, 775, 78, 79, 885, 896, and 897

Agaknya Indonesia harus mulai bersiap-siap menyongsong tahapan keunggulan komparatif yang lebih tinggi, yaitu ke sektor padat teknologi (TI) dan padat tenaga ahli (HCI). Ini terbukti di kala pertumbuhan ekspor nonmigas kita mengalami penurunan selama 1993-1995, produk yang justru menanjak pertumbuhannya (setidaknya pertumbuhan nilai ekspornya 50% dan nilai ekspornya minimum US$ 100 juta) adalah produk dari industri TI dan HCI.
Di antara produk ekspor yang naik daun adalah barang-barang elektronik, kimia dan mesin nonelektronik termasuk peralatan telekomunikasi, komputer dan komponennya. Menariknya, hampir semua produk tersebut memiliki rasio impor kurang dari 1, yang menunjukkan betapa produk-produk tersebut tidak memiliki kadar kandungan impor yang tinggi.

  1. Lemahnya Penguasaan dan Penerapan Teknologi
Lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri kita masih banyak yang bertipe “tukang jahit” dan “tukang rakit”. Ini terlihat jelas dalam industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan industri elektronika. Industri TPT masih menggunakan alat-alat tradisional dan mesin tua dengan usia di atas 20 tahun (lihat Tabel 5. Padahal kedua sektor ini merupakan industri yang padat karya. Meningkatnya upah minimum di berbagai daerah Indonesia menyebabkan Indonesia mulai kehilangan pijakan untuk industri yang berbasis buruh murah.

...

Tabel 5. Jumlah Mesin Industri TPT Nasional Usia di Atas 20 Tahun
Jenis Industri
Satuan
Jumlah Mesin
>20 tahun
%
Pemintalan
mata pintal
7.803.241
5.025.287
64.4
Pertenunan
alat tenun mesin
248.957
204.393
82.1
Perajutan mesin rajut
41.312
34.743
84.1
Finishing unit
349
325
93.2
Pakaian jadi mesin jahit
290.854
228.854
78.0
Sumber: Harian Bisnis Indonesia (Februari, 2007)
  1. Penyelundupan
Penyelundupan membuat industri Indonesia makin terpuruk. Berdasarkan total konsumsi TPT (Tekstil dan Produks Tekstil) dalam negeri dikaitkan dengan total penjualan produk TPT di dalam negeri (baik produksi DN maupun impor), maka dapat diperkirakan jumlah impor illegal sebagaimana tergambar dalam Tabel 6 Dari tabel di atas terlihat bahwa impor ilegal dari tahun 2001-2005 terus meningkat secara tajam, terutama antara tahun 2004-2005 meningkat sebesar 281% dari segi volume dan 136% dari segi nilai barang. Di samping itu bila diperhatikan antara volume impor dengan nilai impor dari 2001 s/d 2005 pada kenyataannya indikasi barang-barang yang diimpor merupakan kualitas rendah.
Tabel 6 Estimasi Impor Legal dalam Industri TPT, 2001-2005
Uraian (ribu ton)
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
Konsumsi domestik (ribu ton)
888
839
820
882
836
Penjualan Produk DN (ribu ton)
844
604
557
658
337
Impor legal (ribu ton)
43
41
25
30
45
Impor ilegal (ribu ton)
1
194
238
195
454
Nilai impor illegal (US$ juta)
1,4
446,2
1.047,2
1.696,5
2.301,6
Sumber: Sekretariat BPN API (2007)

Di samping estimasi atas impor illegal di atas, bila dilihat data-data statistic EXIM antar negara dari United Nation pada tahun 2004 khususnya dari China dapat digambarkan adanya perbedaan yang sangat mencolok antara ekspor TPT China ke Indonesia dan impor TPT dari China ke Indonesia sebesar US$ 44,354 juta untuk beberapa nomor-nomor HS yang dapat diindikasikan sebagai impor illegal sebagaimana terlihat pada Tabel 7

Tabel 7 Diskrepansi Impor-Espor TPT, 2004
Uraian
Volume
(ton)
Nilai
(US$ juta)
1. Impor TPT dari China ke Indonesia
912,8
11,599
2. Ekspor TPT China ke Indonesia
N/a
55,953
Sumber: UN Statistic Div dalam Sekretariat BPN API (2007)
Permasalahan Industri Indonesia Pasca Krisis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam