Waspadai Korupsi Legal
Realita
kasus-kasus korupsi di negeri ini sudah jamak diketahui. Dampak korupsi yang
telah sistemik itu salah satunya adalah terjadinya pemiskinan rakyat. Angka kemiskinan
di negeri ini menurut Global Wealth Report 2012 adalah 82% dengan kekayaan
kurang dari Rp95 juta. Laporan Bank Dunia menyebutkan 100 juta penduduk negeri
ini miskin, dengan standar penghasilan kurang dari US$2/hari atau kurang dari
Rp18 ribu/hari (Media Indonesia, 11/12/2006). Angka-angka itu tentu tidak
kecil, sangat besar, karena mencakup setengah dari 220 juta penduduk. Jika
kemiskinan seperti itu terjadi di negeri yang tandus, gersang, dan tanpa
sumberdaya alam yang berarti, tentu bisa dimengerti. Namun itu terjadi di
negeri ini; negeri yang kaya dan subur. Ini tentu sangat ironis.
Di
balik kasus korupsi yang biasa dianggap sebagai kasus korupsi, ada juga korupsi
yang dampaknya tidak kalah luar biasa. Dan korupsi semacam ini legal menurut
undang-undang. Korupsi ini memberikan harta yang seharusnya milik umum menjadi
harta yang boleh dikuasai oleh swasta. Sehingga rakyat hanya mendapat sebagian
dari miliknya sendiri. Lalu ke mana harta yang tidak diserahkan pada rakyat?
Harta itu justru masuk ke kantong swasta baik asing maupun nasional.
Contoh
korupsi legal yang terjadi adalah dilakukannya kontrak karya terhadap berbagai
tambang yang memberikan bagi hasil pada swasta. Contohnya kasus blok Minahasa
(saham Newmont 80%), blok Nusa Tenggara (saham Newmont 45%), Papua (saham
Freeport 81,28%), Blok Cepu (saham Exxon Mobil 45%), Arun (saham Exxon Mobil
30%), Papua Barat (saham Chevron 51%) (mediaumat.com, 25/9/2012). Dengan
korupsi legal semacam ini, lalu darimana rakyat bisa sejahtera tanpa sumberdaya
yang dimilikinya? Sementara pihak swasta yang mendapat hasil besar dari
sumberdaya milik umum itu bisa terus menikmati keuntungan.
Undang-undang
yang memungkinkan dilangsungkannya korupsi legal di antaranya adalah UU Migas,
UU Sumberdaya Air, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal. Berbagai undang-undang
korup itu mengindikasikan keberpihakan pemerintah dan DPR terhadap para pemilik
modal. Terbukti USAID juga terlibat dalam penyusunan UU Migas. USAID secara
terbuka menyatakan soal itu, "ADB dan USAID bekerja bersama dan merancang
undang-undang minyak dan gas yang baru pada tahun 2000." (usaid.gov)
Alasan
bahwa putra-putri negeri ini tidak mampu memanfaatkan berbagai sumberdaya besar
merupakan sebuah pembelokan opini. Dalam sebuah diskusi oleh IAGI (Ikatan Ahli
Geologi Indonesia) saat soal Blok Cepu mulai menghangat, disimpulkan bahwa
tidak ada satupun alasan baik secara historis, teknis maupun ekonomis untuk
menyerahkan blok kaya minyak ini kepada swasta yaitu Exxon. Para ahli negeri
ini sudah sekian lama mengoperasikan Blok Sukowati, yang bersebelahan dengan
Blok Cepu, yang secara geologis tidak jauh berbeda. Secara ekonomis, potensi
cadangan minyak dan gasnya demikian besar, sehingga tidak ada masalah modal untuk eksplorasi dan eksploitasi. Maka
penyerahan sumberdaya milik Umat pada swasta ini tentu sangat aneh. Sehingga
bisa disimpulkan bahwa memang kasus-kasus itu termasuk kasus korupsi.
Bagaimana
solusi mengatasi korupsi ini? Pertama, negara di dalam Islam sangat jelas
idealismenya. Negara memiliki ideologi Islam yang jelas sebagai pemikiran dan
metode penerapan. Sehingga para pemimpin dan rakyat wajib taat pada syariah
termasuk dalam pengelolaan tambang yang hasilnya melimpah 100% adalah milik dan
untuk warga negara. Sedangkan dalam sistem demokrasi, sumberdaya milik umum
bisa berubah menjadi kepentingan bisnis. Kedua, syariat Islam membentengi
kebijakan. Visi sebagai negara pengayom rakyat dan penegak keadilan sangat
ditunjang oleh berbagai hukum dalam syariat Islam. Pemimpin yang menyimpang
bisa langsung dikoreksi, bahkan bisa langsung diadili dan diganti tanpa
menunggu pemilu. Ketegasan hukum Islam dan penerapannya membuat orang jahat
berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi. Hal ini tidak seperti dalam
demokrasi di mana pengaruh swasta dan asing bisa ikut bermain menentukan
berbagai kebijakan.
Keempat,
rakyat dan partai politik mendapat tugas untuk mengawal pelaksanaan syariah.
Meraka wajib mengontrol para pemimpin jika ada penyimpangan. Ini menjadikan
segala kemungkinan terjadinya korupsi senantiasa terpantau. Budaya ikut
mengawasi ini membuat korupsi benar-benar bisa dicegah dan ditangani. Campur
tangan asing bukan hanya mendapat pengawasan pemerintah, tetapi juga rakyat.
Demikianlah, dengan berbagai hal di atas, negara Khilafah dulu berhasil membentengi
diri dari kriminalitas dan campur tangan asing. Karenanya, solusi total ini
tentunya menjadi harapan kita semua.
Simpatisan
Hizbut Tahrir Indonesia Bontang
Artikel
ini telah diterbitkan di Bontang Post (9/12/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar