Bagaimana Menyikapi Perbedaan Pendapat Menurut Islam
PENETAPAN AWAL AKHIR RAMADHON, DAN PERSATUAN UMAT ISLAM
MELIHAT PERBEDAAN
Islam telah meletakkan batasan-batasan dalam melihat perbedaan.
Pertama, dalam hal apa mereka boleh berbeda dan dalam hal apa mereka tidak boleh berbeda (ikhtilaf).
Perbedaan pendapat bisa ditolerir selama perbedaan tersebut menyangkut masalah-masalah yang dzanniyyah (dugaan kuat). Bila perbedaan pendapat tersebut telah menyangkut dalil-dalil yang bersifat qath’iy, maka berbeda pendapat pada perkara semacam ini tidak dibenarkan. Kata quru’ misalnya, merupakan lafadz musytarak yang bisa diartikan suci (thaharah) atau haid (haid). Kata lamasa, bisa diartikan menyentuh (hakiki) atau bersetubuh. Perbedaan pendapat pada nash-nash yang dalalahnya (penunjukannya) tidak qath’iy adalah perbedaan yang masih bisa ditolerir. Namun bila berkaitan dengan ayat-ayat yang muhkam,
kaum muslim tidak dibenarkan berbeda pendapat. Misalnya, nash-nash yang
menyangkut masalah ‘aqidah, dan hukum-hukum hudud, atau mu’amalat yang
qath’iy, semisal rajam, potong tangan, larangan riba, dan lain
sebagainya. Dalam kasus-kasus semacam ini kaum muslimin tidak dibenarkan
berbeda pendapat (ikhtilaf).
Kedua, wacana Islam dalam membangun pendapat adalah al-Quran, Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas.
Pendapat
selemah apapun harus dibangun berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Dalam
kacamata Islam, apabila pendapat yang diketengahkan tidak dibangun
berdasar dalil-dalil syara’, maka pendapat itu tidak bernilai ilmiah sama sekali. Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan tegas,
“Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari'at (peraturan), dari
urusan agama itu, maka ikutilah syari'at itu, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya
mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari
(siksa) Allah, dan sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu sebagian
mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah
pelindung orang-orang yang bertaqwa". (al-Jatsiyah:18-19).
"Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya)" (QS al-A'raf:3).
"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya" (QS al-A’raf:3).
Ketiga, jika
terjadi perbedaan pendapat, maka tolok ukur untuk menyatakan suatu
pendapat itu layak diadopsi atau tidak adalah al-Quran dan Sunnah. Bukan
dikembalikan kepada hawa nafsu maupun alasan-alasan non syar’iyyah,
misalnya untuk mempertahankan status quo kelompoknya, gengsi, atau
tendensi-tendensi politis lainnya.
Al-Quran menyatakan hal ini dengan sangat jelas pula,
"Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Quran) dan rasul-Nya (sunnah)" (QS al-Nisaa’:59).
Dan ada celaan bila mereka mengambil hawa nafsu sebagai parameter penentu kebenaran,
"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya" (QS al-A’raf:3).
Keempat, kenyataannya, tatkala seorang muslim mengerjakan satu perbuatan, maka ia harus mengambil satu hukum saja.
Tidak
mungkin ia mengerjakan satu perbuatan dengan dua hukum yang berlawanan
pada saat yang bersamaan. Ia harus memilih salah satu pendapat untuk
satu perbuatannya. Ketika ia hendak memilih salah satu hukum, ia harus
menggunakan kaedah-kaedah quwwatul dalil
(kekuatan dalil), hingga ia bisa menentukan mana pendapat yang lebih
rajih dan kuat. Ia tidak boleh memilih suatu pendapat karena alasan
sejalan dengan kehendaknya, memudahkan dirinya, atau sesuai dengan
kehendaknya.
Inilah point-point mendasar dalam melihat perbedaan pendapat. Kebenaran
suatu pendapat dapat ditentukan berdasarkan kekuatan dalil dan
metodologi istinbathnya. Jika suatu pendapat dibangun berdasarkan dalil
yang kuat dan metodologi istinbath yang tangguh, maka pendapat itu layak
dan harus diikuti. Sedangkan pendapat yang dibangun berdasarkan
dalil-dalil yang lemah harus ditinggalkan ketika telah terbukti
kelemahannya.
Perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadhan masih menyisakan persoalan
di kalangan kaum muslim. Meskipun harusnya tidak menjadi masalah, akan
tetapi tidak urung muncul pro dan kontra tengah-tengah masyarakat. Untuk
itu, kami merasa perlu untuk menjelaskan perbedaaan pendapat itu,
sekaligus teknik untuk mentarjih, mana pendapat yang selayaknya diikuti
oleh masyarakat. Semoga tulisan ini bisa memperkecil perbedaan pendapat
mengenai penetapan awal akhir Ramadhon dan Iedul Adha.
Bagaimana Menyikapi Perbedaan Pendapat Menurut Islam - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar