Konsolidasikan Kembali Ummat Dengan Syariah Dan Negara Khilafah
Memperkokoh jaringan penegakan Syariah Dan Negara Khilafah harus jadi agenda utama setiap da'i dan gerakan da'wah, sekarang
Orang-orang
 Kuwait masih berada di ujung mimpinya ketika pada subuh buta itu, di 
suatu hari tahun 1990, tank-tank Irak menyerbu dan meluluhlantakkan kota
 mereka serta menguasai negeri berpenduduk dua juta orang itu hanya 
dalam beberapa jam. Dan ketika orang-orang Kuwait terbangun dari tidur 
mereka, sebuah antrean panjang dari para pengungsi di perbatasan telah 
menanti mereka. 
Dunia
 pun dikejutkan oleh drama aneksasi itu. Irak, di bawah kepemimpinan 
diktator Saddam Husain, telah mencaplok Kuwait, sebuah negeri kecil yang
 notabene adalah sekutunya sendiri, yang selama ini setia membantunya 
melawan Iran. Apa yang sedang terjadi?
Yang
 pasti sebuah lembaran baru dalam sejarah Dunia Islam telah terbuka, 
berisi sebuah peta politik yang gelap yang teronggok kusut di atas 
puing-puing persaudaraan yang terkoyak. Maka, semua negeri Islam saat ini harus memilih untuk mengakhiri sistem kufur dan memperjuangkan sistem Syariah dan Khilafah.
Yang
 sesungguhnya terjadi adalah bahwa dunia Islam telah terbelah lagi, 
terpecah lagi, dan terjebak dalam pilihan-pilihan sistem kufur 
sekularisme demokrasi yang hanya semakin memperdalam lubang perpecahan 
itu. Dan itu bukan karena kita menghadapi serangan maha-dahasyat dan 
mendadak dari orang lain. Itu semata-mata karena senjata saudara kita 
telah dipakai untuk membunuh saudara kita sendiri, dan karena kita 
mengundang musuh-musuh kita untuk membunuh saudara kita sendiri. Semua itu karena sistem negara kufur nasionalisme yang jelas bertentangan dengan Syariah Islam.
Tragedi
 perang Teluk hanyalah sebuah contoh. Karena di hadapan kita tiba-tiba 
terkuak sebuah lubang yang menganga lebar, bahwa betapa mudahnya ummat 
ini diinfiltrasi dan dipecah-belah oleh musuh-musuhnya, bahwa betapa 
mudahnya menghancurkan ummat ini dari dalam dirinya sendiri. Itu berarti
 ada cacat besar dalam struktur kehidupan ummat kita. Cacat
 besar itulah yang menjadi salah satu ciri dari masyarakat yang tidak 
hidup dalam sistem Khilafah Islamiyah dengan Syariah Islam dalam seluruh
 aspek kehidupan.
Kita
 bisa menjelaskan cacat sistem nasionalisme demokrasi ini secara lebih 
mendalam melalui kasus Palestina. Negeri tempat turunnya sebagian besar 
nabi Allah itu, dan juga tempat persinggahan Rasululloh Shalallaahu 
'alaihi wa sallam dalam perjalanan Isra Mi'rajnya, kini telah berada di 
bawah penjajahan Yahudi Israel selama lebih dari setengah abad. Sebegitu
 kuatkah Israel? Kita tentu tidak yakin. Sebab pasukan Beruang Merah Uni
 Soviet hanya bisa bertahan 14 tahun di Afganistan ketika para mujahidin
 di antara kaum Muslimin dengan senjata seadanya melakukan perlawanan. 
Uni Soviet bahkan runtuh di kemudian hari setelah kebangkrutan ekonomi 
melilitnya. Di Palestina itu tidak terjadi. Yordania, Syria, Libanon dan
 Mesir masing-masing telah menjadi tameng-tameng yang setia bagi Israel 
karena para penguasa negeri-negeri Muslim itu tidak sah menurut hukum 
Islam. Para penguasa itu bukanlah seorang Khalifah. Hanyalah
 seorang Khalifah, kepala negara yang memiliki kewajiban melindungi 
rakyat dari penjajah dengan semua kekuatan yang dimiliki.
Dalam
 kasus yang lebih kasat mata bagi kita di sini, adalah bagaimana 
saudara-saudara kita bisa dibantai oleh kaum minoritas di Ambon dan 
Poso? Dan itu telah berlangsung masing-masing sekitar tiga tahun? 
Bagaimana mungkin kelompok minoritas bisa mempecundangi kaum mayoritas 
di negeri ini? Sebegitu kuatkah kelompok minoritas? Kita tentu tidak 
yakin. Yang kita yakini adalah bahwa kita saat ini tidak hidup dengan 
aturan sistem Islam dalam naungan Negara Islam Khilafah yang bisa 
mengerahkan berbagai sumberdaya Umat termasuk militer mujahidin untuk 
melindungi saudara-saudara kita di sana.
Masyarakat
 yang tidak berada dalam naungan sistem Islam Khilafah menyimpan 
berbagai kerapuhan dalam dirinya: kekuatannya terpecah dan tidak solid; 
emosi kolektifnya tidak sama dan karenanya kehilangan semangat pembelaan
 terhadap Islam; mempunyai pemimpin yang ada secara fisik tapi tidak 
mempunyai fungsi kepemimpinan Islam; kekuasaannya batal demi hukum 
Islam; sering bertemu dalam parlemen demokrasi tapi tidak merumuskan 
apa-apa apalagi melakukan sesuatu; tidak ada ideologi Islam yang 
sama-sama mereka emban dan karenanya mustahil dikonsolidasi untuk 
menolong agama Allah; keragaman kepentingan dalam demokrasi merupakan 
sumber perpecahan dan bukan sumber produktivitas; keunggulan-keunggulan 
individu di antara mereka tidak dipergunakan atas dasar akidah Islam dan
 karenanya mengalami disfungsi; mereka tidak mempunyai kesiapan yang 
memadai untuk mengantisipasi berbagai tantangan; mereka malah menjadi 
antek penjajah demi uang.
Membangun Masyarakat Islam
Tapi
 persoalan seperti ini bukanlah tidak ada di zaman Rasulullah Saw. 
sebelum Islam berkuasa. Adalah orang-orang Arab, yang dalam sejarahnya, 
dikenal sebagai bangsa yang tidak pernah bisa bersatu, tersegmentasi ke 
dalam kelompok-kelompok kabilah, terisolir dari dunia peradaban, 
tempramental dan mudah terprovokasi, gemar berperang dan menemukan 
kebanggaan-kebanggaan mereka dalam gemuruh peperangan atas dasar 
kesukuan dan golongan.
Rasululloh
 Saw. merajut jiwa-jiwa yang terpecah seperti itu menjadi sebuah 
kekuatan baru yang solid mengikuti perintah Allah Swt. Ketika Beliau 
hijrah ke Madinah dan menjadi Kepala Negara Islam, untuk kali pertama 
berbagai suku Arab dipertemukan dalam sebuah komunitas baru yang 
terinstitusi dalam Negara Islam. Berbagai klan dari suku besar Quraisy 
yang hijrah ke Madinah dipertemukan dengan berbagai klan dari suku-suku 
yang mendiami kota yang sebelumnya bernama Yatsrib. Inilah transisi dari
 sistem kufur ke sistem Negara Islam dalam proses rekonstruksi sosial 
yang menandai lahirnya sebuah masyarakat baru, masyarakat dengan ikatan 
sosial yang sama sekali baru, masyarakat dengan ikatan iman sebagai 
perekat baru menggantikan darah sebagai perekat mereka sebelumnya. 
Yang
 dilakukan Rasululloh saw adalah sebuah langkah mengikuti perintah Allah
 Swt., sebuah langkah mendirikan Negara Islam yang bisa menyatukan 
berbagai manusia dalam Negara Islam. Beliau ketika itu mempersaudarakan 
setiap satu orang dari kaum Muhajirin dengan satu orang dari kaum 
Anshar. Kaum Muhajirin tidak ditampung di Madinah sebagai pengungsi atau
 pemohon suaka politik. Mereka datang sebagai saudara seiman. Karena itu
 mereka tidak ditampung di masjid, tapi di tempat bersama 
keluarga-keluarga Anshar sampai situasi mereka membaik dan keadaan 
menjadi stabil. Kaum kafir juga bisa hidup memeluk agamanya 
masing-masing di Negara Islam itu.
Di
 sini iman menjalankan fungsinya secara maksimal sebagai unsur perekat 
baru. Keragaman di antara mereka tidaklah hilang sama sekali, tapi 
wilayah kesamaan ideologi Islam dan tujuan hidup Islam menempatkan 
perbedaan-perbedaan itu seperti riak-riak kecil yang menambah keindahan 
lautan. Persaudaraan itu telah menciptakan keharuan yang sangat 
mendalam, membangun cinta yang kuat dari kesamaan cita-cita Islam. Dalam
 cinta dan keharuan itulah kita mendengar cerita-cerita persaudaraan 
yang abadi.
Basis masyarakat Islam itu telah terbangun dalam Negara Sistem Islam;
 ikatan iman telah berhasil menyatukan berbagai klan bangsa Arab yang 
tadinya tenggelam dalam perang saudara yang tidak pernah selesai. Dalam 
Negara Islam itu, ikatan darah menjadi sekunder, dan karenanya setiap 
orang menemukan posisi dan fungsinya berdasarkan ketakwaannya pada Allah
 Swt. menjalankan Syariah sebaik-baiknya. Di sini keunggulan-keunggulan 
individual menemukan tempatnya yang terhormat dalam masyarakat sistem 
Islam, yang ditata sedemikian rupa untuk meledakkan potensi-potensi 
besar dari setiap individunya demi kejayaan Islam. 
Begitulah
 akhirnya kita menyaksikan bagaimana masyarakat sistem Islam di Madinah 
mengalir deras dalam sejarah, dari mempertahankan Negara Islam sebatas 
Madinah hingga Fathu Makkah dan selanjutnya melakukan ekspansi ke 
seluruh jazirah Arab dan bahkan dunia. 
Persoalan
 kita saat ini adalah bahwa masyarakat tidak bersistem Islam keseluruhan
 dalam wadah Khilafah Islamiyah sehingga kita tidak utuh sebagai sebuah 
ummat yang bertakwa.
 Pekerjaan-pekerjaan besar dan berat yang dihadapi tidak bisa teratasi, 
karena Umat berada dalam sistem kenegaraan yang salah dan kufur. 
Keadilan Syariah Islam hanya bisa didapat dari penerapan Syariah dalam 
sistem Syariah yaitu sistem Negara Khilafah Islamiyah. Sebuah sistem 
negara yang diwajibkan Allah Swt. 
Jadi
 apa yang apa harus kita kejar sekarang adalah memenuhi kewajiban 
memperjuangkan tegaknya Syariah dan Khilafah dengan metode yang 
dicontohkan Rasul Saw. Bahwa setiap individu Muslim saat ini harus 
memperbaharui kembali komitmennya kepada risalah dan jalan hidupnya 
sebagai Muslim. Dari situlah ia mengkondisikan dirinya untuk memiliki 
kesadaran hati yang memadai untuk dapat bekerjasama berjuang dalam 
sebuah partai yang berideologi Islam yang tidak mengikuti sistem kufur 
demokrasi.
Setiap
 da'i harus menjadikan masalah ini sebagai agenda utama dalam da'wahnya,
 kalau kita ingin menyaksikan ummat ini mengalir dalam sejarah sebagai 
gelombang yang dahsyat dan memimpin dunia.


 


Tidak ada komentar:
Posting Komentar