Kewajiban Taat Pada Khalifah Dalam Kebenaran
PEMIMPIN YANG HARUS DITAATI
Salah
satu kewajiban seorang muslim adalah taat kepada
pemimpin/Khalifah/Imam. Ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa,
ketaatan merupakan sendi dasar tegaknya suatu kepemimpinan dan
pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin,
kepemimpinan dan pemerintahan tidak mungkin tegak dan berjalan
sebagaimana mestinya.
Jika
rakyat tidak lagi mentaati pemimpinnya maka, roda pemerintahan akan
lumpuh dan akan muncul fitnah di mana-mana. Atas dasar itu, ketaatan
kepada pemimpin/Khalifah/Imam merupakan keniscayaan bagi tegak dan
utuhnya suatu negara. Bahkan, dasar dari ketertiban dan keteraturan
adalah ketaatan.
Rasulullah
saw selalu menekankan kepada umatnya untuk selalu taat kepada
pemimpin/Khalifah/Imam dalam batas-batas syari’atnya. Nash-nash syara
yang berbicara tentang ketaatan kepada pemimpin jumlahnya sangat banyak.
Di dalam al-Quran Allah swt berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah dan
RasulNya, serta pemimpin (ulil amri) di antara kalian.” [al-Nisaa’:59]
Ketaatan kepada pemimpin/Khalifah/Imam juga banyak disinggung di dalam sunnah. Rasulullah saw bersabda:
“Dari
Ibnu ‘Umar ra dari Nabi saw, beliau saw bersabda: “Seorang muslim wajib
mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya
maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan
maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat, maka ia
tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim]
“Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: ”Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
”Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak di hari
akhir ia akan bertemu dengan Allah swt tanpa memiliki hujjah.
Barangsiapa mati, sedangkan di lehernya tidak ada bai’at maka, matinya
seperti mati jahiliyyah.” [HR. Muslim]
“Dari Anas ra, ia berkata: ”Rasulullah saw bersabda: ”Dengarkanlah dan
taatilah olehmu, walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak dari
Ethiopia yang bentuk kepalanya seperti biji kurma.” [HR. Bukhari]
“Dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: ”Barangsiapa
yang membenci sesuatu dari tindakan penguasanya, hendaklah ia bersabar,
karena sesungguhnya orang yang meninggalkan penguasanya walaupun hanya
sejengkal, maka ia mati seperti mati jahiliyyah.” [Imam Nawawiy, Riyaadl
al-Shaalihiin]
“Rasulullah saw bersabda: ”Barangsiapa yang taat kepada penguasa maka,
ia benar-benar telah taat kepadaku, dan barangsiapa yang durhaka kepada
penguasa maka ia benar-benar telah durhaka kepadaku.” [HR. Bukhari
Muslim]
Akan
tetapi, ketaatan kepada pemimpin/Khalifah bukanlah ketaatan yang
bersifat mutlak tanpa ada batasan. Ketaatan harus diberikan kepada
pemimpin/Khalifah, selama dirinya taat kepada Allah swt dan RasulNya.
Jika pemimpin/Khalifah tidak lagi mentaati Allah dan RasulNya, maka
tidak ada ketaan bagi dirinya. Al-Quran telah memberikan batasan yang
sangat jelas dan tegas dalam memberikan ketaatan. Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.” [Qs.18:28]
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir.” [QS.35:52]
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah.” [QS.68:8]
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina.” [QS.68:10]
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” [QS.76:24]
Meskipun
ayat ini dari sisi khithab (seruan) ditujukan kepada Rasulullah saw,
akan tetapi khithab untuk Rasul juga merupakan khithab bagi umatnya.
Atas dasar itu, kaum muslim dilarang mengikuti atau mentaati
pemimpin-pemimpin yang kafir, mendustakan ayat-ayat Allah swt, serta
banyak melakukan maksiyat di sisi Allah swt. Dalam sebuah hadits
Rasulullah saw bersabda:
“Seorang
muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang
disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk
mengerjakan maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat,
maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Bahkan, Rasulullah saw mengijinkan umatnya untuk memerangi penguasa-penguasa yang telah menampakkan kekufuran yang nyata.
Dari ‘Auf ibnu Malik, dituturkan: "...ditanyakan
oleh para sahabat: 'Wahai Rasulullah tidakkah kita serang saja mereka
itu dengan pedang?', Beliau menjawab: 'Tidak, selama mereka masih
menegakkan shalat di tengah-tengah masyarakat (maksudnya menegakkan hukum-hukum syara')."
Dalam hadits riwayat Ubadah Ibnu Shamit disebutkan:
“Dan hendaknya kami tidak menentang kekuasaan penguasa kecuali,
'Apabila kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang dapat
dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah SWT.”
Makna sholat pada hadits riwayat ‘Auf bin Malik adalah hukum-hukum
syari’at. Pengertian hadits-hadits di atas adalah, jika
penguasa-penguasa itu telah menampakkan kekufuran yang nyata, alias menerapkan hukum-hukum kufur
di negeri-negeri kaum muslim, maka kaum muslim diijinkan untuk
menentang dan memisahkan diri dari mereka. Bahkan, apabila kita ridho
dan menyetujui tindakan-tindakan sang penguasa maka, kita akan berdosa
di sisi Allah swt. Rasulullah saw bersabda:
“Akan
ada pemimpin-pemimpin, yang kalian ketahui kema’rufannya (kebaikannya)
dan kemungkarannya. Maka, siapa saja yang membencinya dia bebas (tidak
berdosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi,
siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. [HR. Muslim]
Hadits ini menuturkan dengan sangat jelas agar kaum muslim menjauhi dan
berlepas diri dari pemimpin-pemimpin yang telah menampakkan kekufuran
yang nyata. Siapa saja yang membenci penguasa-penguasa yang tidak
menerapkan Islam, dirinya akan terbebas dari siksaan Allah swt.
Sebaliknya, siapa saja yang meridhoi dan mendiamkan kedzaliman, dan
kekufuran yang dilakukan oleh penguasa maka, dirinya akan mendapatkan
siksaan di sisi Allah swt.
Demi Allah, masalah memberikan ketaatan kepada pemimpin/Khalifah
bukanlah masalah sepele. Apabila kita salah memberikan ketaatan,
taruhannya adalah siksa dan pahala dari Allah swt. Ketaatan kepada
pemimpin/Khalifah yang menjalankan syariat Allah adalah kewajiban yang
tidak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim. Namun, ketaatan pada
penguasa yang menolak dan menjauhi aturan Allah adalah larangan yang
tidak boleh dilanggar oleh setiap muslim. Atas dasar itu, ketaatan yang
diberikan kepada pemimpin/Khalifah akan memberikan implikasi pahala dan
siksa.
Seorang mukmin tidak boleh menyatakan, “Kami ini adalah rakyat yang
hanya mengikuti pemimpin. Walhasil, jika apa yang ditetapkan oleh
pemimpin itu salah maka pemimpinlah yang salah, sedangkan kami hanya
orang yang mengikuti keputusan pemimpin, jadi kami tidak berdosa”.
Sungguh, perkataan semacam ini telah ditangkis oleh al-Quran. Allah swt
berfirman:
“Pada
hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka
berkata,”Alangkah baiknya, andaikan kami taat kepada Allah dan taat
kepada Rasul. Dan mereka berkata,”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka
menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah
kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukann
yang besar.” [al-Ahzab:66-68]
Para
penghuni neraka selalu mengiyakan dan mengikuti tingkah polah sang
pembesar dan pemimpin. Padahal, pembesar dan pemimpin itu telah
menyesatkan mereka. Atas dasar itu, setiap orang akan diminta
pertanggungjawaban di sisi Allah, ketika dirinya memberikan ketaatan
kepada sang pemimpin. Siapa saja yang mengikuti dan mengiyakan
pemimpin-pemimpin yang meluputkan diri dari aturan-aturan Allah, kelak
mereka akan mendapat siksa yang sangat pedih. Sementara itu, pemimpin
dan pembesar yang menyesatkan rakyatnya, mereka akan mendapatkan siksa
dua kali lebih berat daripada orang yang disesatkannya. Na’udzu billahi
min dzalik.
Kewajiban Taat Pada Khalifah Dalam Kebenaran - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar