Tradisi Diskusi Islam – Hukum Berdebat
PENETAPAN AWAL AKHIR RAMADHON, DAN PERSATUAN UMAT ISLAM
ISLAM DAN TRADISI DISKUSI /Berdebat
Muqaranah dan mujadalah (perbandingan dan diskusi /berdebat) adalah
tradisi ilmiah yang sudah tumbuh sejak masa awal sejarah manusia.
Al-Quran telah mendokumentasi tradisi ini hampir pada setiap masa
kenabian.
“Dan
tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi orang-orang yang kafir membantah (mendebat) dengan yang bathil, agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak…” (QS 18:56).
Dalam surat Hud, diceritakan diskusi /berdebat antara Nuh as dengan kaumnya.
“Mereka
berkata, “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah (diksusi /jidal)
dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka
datangkanlah kepada kami adzab yang kamu ancamkan kepada kami, jika
kamu termasuk orang-orang yang benar.” (QS 11:32).
Al-Quran juga menceritakan dengan detail kisah mujadalah /berdebat
yang dilakukan para nabi di surat-surat yang lain; misalnya, kisah
diskusi antara Ibrahim dengan Namrudz, Musa dengan Fir’aun dan
nabi-nabi yang lain. Begitu pentingnya tradisi /berdebat ini, sampai-sampai al-Quran juga mengatur tata cara dan adab-adab dalam berdebat.
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik…..” (QS 29:46).
Kisah-kisah mujadalah /berdebat juga termuat dalam dokumen sejarah, baik yang tercantum dalam sunnah, atsar dan dokumen-dokumen sejarah lainnya.
Tradisi muqaranah, muhadzarah, dan mujadalah adalah
tradisi ilmiah yang terus dipelihara sampai sekarang. Bahkan, al-Quran
dengan tegas mencela orang-orang yang tidak mau melakukan mujadalah atau muqaranah tanpa ada alasan yang dibenarkan.
Allah swt berfirman, artinya:
"Maka
jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya
mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang
lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak
mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim" (al-Qashash:50).
Ayat
ini dengan jelas menyebutkan, bahwa bila seseorang tidak memenuhi
tantangan lawan diskusinya, sesungguhnya orang itu telah terjatuh pada
hawa nafsu. Jika ia menyakini kebenaran dan kekuatan pendapatnya, maka
tidak ada alasan untuk tidak memenuhi undangan lawan diskusinya. Ia
harus datang dan melayani tantangan diskusi dari pihak lawannya. Jika ia
tidak memenuhi undangan lawan diskusinya tanpa ada alasan yang syar’iy,
pada dasarnya ia telah ragu akan kemampuan dan kekuatan pendapatnya.
Padahal, seorang muslim tidak boleh beramal dengan pendapat yang
meragukan.
Motif utama dari diskusi dan perbandingan /berdebat adalah
mencari kebenaran ilmiah tertinggi, sekaligus untuk mengoreksi
pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang salah. Dengan diskusi,
akan diketahui pendapat siapakah yang paling dekat dengan kebenaran, dan
pendapat siapa yang lemah. Bila suatu pendapat telah terbukti lemah dan
salah, maka pendapat itu harus ditinggalkan dengan sikap lapang dada,
dan penuh keikhlasan. Tidak sepantasnya ia bersikukuh dengan pendapat
yang telah terbukti kesalahan dan kelemahannya.
Diskusi /berdebat untuk mencari kebenaran dan untuk mengoreksi pendapat diwajibkan dalam Islam. Namun bila diskusi /berdebat
telah mengarah pada berbantah-bantahan - tidak dilandasi dengan
landasan ilmiah, atau lawan diskusi adalah orang-orang yang dzalim-,
maka diskusi semacam merupakan merupakan perbuatan tercela.
“Dan
janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang
paling baik, kecuali dengan orang-orang yang dzalim di antara mereka”
(QS 29:46).
Orang-orang yang dzalim di
sini adalah orang-orang yang setelah diberikan kepadanya
penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan dengan cara yang paling
baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan
permusuhan.
Di
sisi yang lain, kita juga dilarang berbantah-bantahan sehingga
menyebabkan kelemahan. Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan sangat
jelas:
“..Dan
janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar
dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar.” [al-Anfaal:46]
Atas dasar itu, diskusi /berdebat
yang tidak dilandasi ilmu pengetahuan dan mengarah kepada
berbantah-bantahan harus dijauhi dan dihindarkan. Sedangkan diskusi /berdebat
untuk mencari pendapat yang terkuat justru menjadi kewajiban setiap
kaum muslim. Tatkala Rasulullah saw menetapkan posisi pertahanan kaum
muslim pada saat perang Badar, pendapat beliau disanggah oleh Khubab bin
Mundzir. Akan tetapi, karena pendapat beliau saw mengenai posisi
pertahanan kaum muslim bukan berasal dari wahyu, dan beliau saw
mengetahui bahwa pendapat Khubab bin Mundzir lebih tepat, maka beliau
saw segera meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Khubab bin
Mundzir. Ini menunjukkan bahwa dalam hal-hal yang membutuhkan keahlian
dan kepakaran kita harus merujuk kepada pendapat orang yang memang ahli
dan pakar.
Tradisi Diskusi Islam – Hukum Berdebat - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar