Salah satu komponen vital untuk membangun sebuah negara sudah
jelas yaitu dana yang pasti dalam jumlah besar. Untuk mengisi pos pemasukan
dana pembangunan tersebut selain melalui sumber-sumber domestik, juga diperoleh
dari luar negeri, umumnya diperoleh dari sumber-sumber internasional. Baik
melalui penanaman modal asing (PMA), ataupun melalui utang dari lembaga-lembaga
donor seperti IMF, World Bank, atau negara-negara tertentu yang bersedia
memberikan pinjaman. Fakta berbicara, meskipun cukup banyak negara-negara
berkembang memiliki resources berlimpah,
akan tetapi pinjaman luar negeri justru menjadi andalan utama sumber dana
pembangunan. Akan tetapi, seperti sudah dapat diprediksi, alih-alih mampu
menggerakkan roda pembangunan dan menciptakan kesejahteraan, utang luar negeri
diyakini berpotensi memicu krisis ekonomi yang sangat parah di berbagai negara
berkembang. Dan itulah yang kemudian terjadi. Bahkan lebih parah, krisis
ekonomi di berbagai negera-negara berkembang telah mekar sebagai krisis
multidimensi.
Sejak dekade 1960-an sampai sekarang, utang luar negeri
negara-negara berkembang sangat besar. Bahkan aliran dana untuk cicilan dan
bunga yang harus dibayarkan negara pengutang, jauh lebih besar dibandingkan
dengan aliran utang yang diberikan oleh negara donor. Sejak tahun 1982 hingga
1990, dana yang dialirkan negara-negara industri ke negara-negara berkembang
adalah sekitar 927 miliar dolar AS. Sementara untuk periode yang sama, dana
yang mengalir dari negara berkembang ke negara industri adalah sebesar 1.345
miliar dolar AS untuk pembayaran bunga dan pokoknya. Aliran dana ke negara maju
akan lebih besar lagi jika dimasukkan aliran dana dalam bentuk kerjasama
pembangunan dan perdagangan, royalti, deviden, keuntungan repatriasi, atau
pembayaran komoditi bahan mentah dan tenaga kerja yang terlalu rendah, dan
lain-lain. Artinya, dengan data di atas, dapat dikatakan bahwa skema utang luar
negeri telah membuat negara-negara berkembang mensubsidi negara-negara maju.
Banyak ekonom berpendapat bahwa mekanisme utang luar negeri yang
dijalankan oleh negara-negara industri, bukan sekadar bantuan negara-negara
industri (kaya) terhadap negara-negara berkembang, namun salah satu strategi
negara-negara industri yang berupaya menjual produk ekspornya dengan jalan
kredit yang diobral ke negara-negara berkembang. Motto mereka adalah, “Beli
sekarang bayar belakangan.” lni (dilakukan oleh negara-negara industri
(kapitalis) tersebut. Hanya dengan politik ekonomi seperti ini mereka dapat
mengatasi krisis penjualan produk yang dihasilkan oleh dunia industrinya. Dalam
bahasa sederhana, negara-negara industri (kapitalis) menjadikan negara-negara
berkembang, termasuk negeri Muslim sebagai trash
place (tempat sampah) untuk membuang kelebihan hasil industrinya.
Namun demikian, bagi yang mencermati realitas tersebut secara
lebih dalam, khususnya dengan melihat akibat yang ditimbulkan utang luar negeri
yang begitu besar dan membahayakan, alasan strategi perluasan pasar atau bahkan
bantuan kepada negara-negara berkembang hanyalah kedok untuk menutupi rencana
tersembunyi di balik utang luar negeri, yakni: neo-imperialisme. Terbukti
secara meyakinkan, tidak ada satu negarapun di dunia ini, yang menerima utang
luar negeri -terutama dari lembaga donor seperti IMF dan World Bank- menjadi
lebih baik dibandingkan dengan sebelum menerima bantuan.
Saat ini, di negara-negara berkembang tidak ada faktor yang
pengaruhnya lebih besar terhadap perubahan ekonomi dan politik dan
sosial-budaya selain utang luar negeri. Krisis utang luar negeri yang memberi
pengaruh besar terhadap perubahan ekonomi, politik, dan sosial-budaya tersebut
adalah akibat dari politik ekonomi yang dijalankan oleh negara-negara industri
(baca: Barat kapitalis) yang ingin mendominasi negara-negara berkembang dalam
seluruh aspek kehidupan. Akibatnya, krisis utang luar negeri telah membawa
keruntuhan sistem ekonomi, kekacauan politik, dan kebobrokan moral-budaya
masyarakat. Cicilan dan bunga yang harus dibayar, memaksa rakyat negara
pengutang terus-menerus mengencangkan ikat pinggang. Kebijakan ekonomi dan
politik yang didiktekan oleh pihak luar, hakikatnya akan menambah kesengsaraan
yang dihadapi masyarakat kalangan bawah. Demikian juga, persyaratan bantuan
yang dikaitkan dengan pelaksanaan dan penyebaran paham kufur seperti demokrasi,
HAM, dan liberalisasi, telah menyebabkan kerusakan akidah yang kronis dan
kebobrokan moral yang merajalela di negeri-negeri Muslim.
Secara politik-ekonomi, penyebab dan akibat yang ditimbulkan oleh
utang luar negeri di negara-negara berkembang, bagaikan sebuah spiral yang pada
dasarnya mirip antara satu negara dengan negara lain. Jalan Spiral tersebut
pada awalnya disebabkan oleh terjadinya defisit neraca pembayaran negara
pengutang. Kesulitan pembayaran ulang di negara-negara berkembang tersebut
berawal dari tiga hal: (1) Nilai impor negara-negara berkembang lebih besar
ketimbang nilai ekspornya. Sehingga praktis biaya impor yang terus membengkak
tersebut harus ditalangi dengan kredit luar negeri (utang). (2) Anggaran
belanja negara-negara yang utang luar negerinya sangat besar dan dibebani oleh
laba yang sangat kecil (karena laba ditarik kembali keluar) dan keharusan
membayar lisensi kepada perusahaan-perusahaan multinasional yang membuka
usahanya di negara-negara tersebut. (3) Pelarian modal secara ilegal oleh
orang-orang kaya setempat.
Defisit neraca pembayaran ini umumnya diatasi dengan jalan
pinjaman luar negeri. Sementara itu, bank-bank asing saling berlomba untuk
memberikan kredit dan pinjaman kepada pihak swasta di negara-negara dan
bank-bank pemberi kredit akan bertindak bersama-sama, dan melapor kepada International Monetary Fund (IMF) sebagai
badan yang berwenang. Langkah selanjutnya, IMF-lah yang akan menangani negara
tersebut. IMF, yang dikendalikan oleh negara-negara industri, hanya akan
memberikan bantuan (utang baru) untuk membayar utang berikut bunganya, jika
negara tersebut bersedia memenuhi persyaratan-persyaratan politis yang
diajukan. Umumnya, pelaksanaan demokrasi, HAM, dan isu lingkungan adalah
senjata utama yang dijadikan negara-negara donor maupun IMF untuk bersedia
memberikan “bantuan” (baca: utang).
Pada kenyataannya, strategi dan mekanisme utang luar telah
mengakibatkan berbagai kerusakan dan bahaya bagi negara-negara penerima utang.
Secara ekonomi, utang luar negeri hanya akan mengakibatkan makin terinjaknya
kaum lemah hingga terdesak jauh di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain,
mekanisme utang seperti ini tidak ubahnya sebagai proses pemiskinan
negara-negara berkembang.
Bahaya secara ekonomi dan politik tampak jelas dari
persyaratan-persyaratan yang ditetapkan IMF atau lembaga donor lainnya kepada
negara-negara pengutang. Keharusan tunduk patuh pada kemauan IMF yang didikte
oleh negara-negara Barat, terutama Amerika, menunjukkan bahwa pada hakikatnya
negara-negara pengutang sedang dijajah secara ekonomi dan politik.
Tuntutan-tuntutan di bidang politik dan ekonomi yang diajukan IMF biasanya
berjalan sebagai berikut: (1) Menahan upah dengan jalan membekukan gaji, atau
kenaikannya dibatasi oleh undang-undang. Hal ini hakikatnya akan melemahkan
daya beli masyarakat; (2) Mengurangi pengeluaran sosial. Pengurangan
pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial lainnya
berakibat pada terhambatnya pembangunan pendidikan dan kesehatan. Padahal semua
itu merupakan unsur yang sangat penting bagi peningkatan kualitas SDM.
Akibatnya, negara pengutang akan terus tertinggal; (3) Menghapus subsidi bahan
pokok. Penghapusan subsidi bahan pokok tersebut menyebabkan meningkatnya harga
bahan pokok tersebut yang dampaknya paling dirasakan oleh masyarakat kecil yang
mayoritas. Kondisi ini pada akhirnya dapat menimbulkan gejolak sosial dan dan
bahkan krisis pemerintahan; (4) Devaluasi mata uang. Devaluasi mata uang selain
menyebabkan harga-harga membumbung juga menyebabkan berkurangnya nilai ekspor
real. Sebaliknya, biaya impor menjadi lebih tinggi sehingga dapat mengakibatkan
kesulitan produksi bagi industri-industri berbahan impor. (5) Liberalisasi
Ekonomi. Liberalisasi yang dipaksakan IMF terhadap negara-negara pengutang akan
memberikan kesempatan perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengeruk
keuntungan tanpa batas.
Secara politik, utang luar negeri menyebabkan kebijakan politik
suatu negara diatur dan disesuaikan dengan keinginan dan kepentingan negara
donor. Secara ideologi, utang luar-negeri adalah sarana negara-negara Barat
kapitalis untuk menyebarkan ideologi sekularisme sekaligus cara untuk merusak
ideologi Islam. Secara budaya, utang luar negeri, dengan persyaratan
liberalisasinya, merupakan sarana untuk menyebarkan budaya Barat -materialisme,
hedonisme, dan permisivisme (pergaulan bebas)- yang penuh dengan kemaksiatan.
Dengan akibat yang begitu membahayakan kehidupan ekonomi, politik,
sosial, budaya, dan bahkan ideologi suatu negara, dapat dinyatakan bahwa utang
luar negeri bukanlah merupakan program bantuan negara kaya untuk negara miskin,
tetapi sebaliknya, merupakan upaya negara kaya untuk mengeksploitasi dan
menjajah negara lain. Hal di atas adalah bahaya yang secara jelas dapat dilihat
dari mekanisme utang luar negeri yang selama ini berjalan. Namun secara
tersamar terdapat bahaya lain yang jauh lebih besar dari mekanisme utang luar
negeri tersebut.
'Abdurrahman al-Maliki, dalam As-Siyaasah
Iqtishaadiyah al-Mutslaa, halaman 200-207, menyebutkan bahwa setidaknya
ada empat bahaya utang luar negeri. Pertama, bantuan (utang) yang diberikan
negara-negara/lembaga-lembaga donor kepada negara yang sedang berkembang
(termasuk negeri Islam) hakikatnya merupakan salah satu cara yang ditempuh
untuk melakukan penjajahan gaya baru (secara ekonomi) kepada negara-negara yang
menerima bantuan tersebut. Sebagai contoh, melalui dana yang dikucurkan,
Inggris pernah menjajah Mesir, sementara Prancis menjajah Tunisia. Lantaran
banyaknya utang Mesir kepada Inggris, pada tahun 1875, datanglah delegasi yang
memeriksa keuangan Mesir dan merekomendasikan sejumlah kebijakan dalam rangka
perbaikan keuangan Mesir. Dari sinilah awal munculnya seorang Inggris yang
menjadi menteri keuangan dan seorang Prancis yang menjadi menteri pekerjaan
umum dalam pemerintahan Mesir.
Kondisi ini pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penjajahan
ekonomi Inggris di Mesir. Meskipun bantuan (utang) luar negeri yang diberikan
negara-negara donor sekarang mungkin tidak sampai seekstrem apa yang terjadi di
Mesir, namun secara kasat mata kita dapat melihat bahwa pihak donor sangat
berpengaruh dalam menentukan prioritas proyek yang akan dibiayai berikut
sejumlah persyaratan yang wajib dipenuhi. Persyaratan-persyaratan yang wajib
dipenuhi oleh negara pengutang tersebut telah menyebabkan negara pengutang
menjadi negara jajahan yang harus menerima apapun keputusan penjajah, bahkan
meskipun kebijakan tersebut akan menyengsarakan masyarakat negara pengutang. Di
Indonesia, hal ini misalnya dapat dilihat dari kebijakan pencabutan subsidi
kebutuhan pokok, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, serta subsidi bahan
bakar.
Kedua, sebelum utang
diberikan, pihak donor biasanya harus mengetahui terlebih dulu potensi sumber
daya negara yang akan menerima utang tersebut, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Untuk itu, pihak donor akan mengirim para pakar mereka -untuk
memata-matai- ke negara yang akan dibantu, sehingga mereka dapat menyingkap
rahasia dan potensi ekonomi sebuah negara. Dengan mengetahui potensi ekonomi
suatu negara, pihak donor dapat menerapkan berbagai kebijakan yang dapat
menguntungkan mereka. Mereka dapat secara lebih leluasa mengekploitasi potensi
ekonomi negara pengutang.
Ketiga, bantuan (utang)
luar negeri yang diberikan negara-negara donor kepada negara-negara berkembang
(baca: negeri lslam) adalah merupakan senjata politik untuk memaksakan
kebijakan politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan negara donor tersebut
kepada negara penerima utang. Tujuan mereka memberi bantuan (utang) pada
hakikatnya bukan untuk membantu negara lain, tetapi demi keamanan, keselamatan,
dan keuntungan mereka. Mereka menjadikan negara penerima utang sebagai alat
sekaligus lahan guna mencapai tujuan mereka. Oleh karena itu, meningkatnya
bantuan (utang) negara-negara donor kepada negara-negara berkembang harus
dicermati bahwa hal itu bukan dalam rangka mendukung dan membantu pembangunan
di negara tersebut, namun yang lebih penting, demi keuntungan yang bakal
diperoleh oleh negara-negara donor dari berbagai proyek bantuan mereka.
Bukankah lembaga donor (World Bank, IMF) adalah entitas bisnis yang tentunya
ingin mendapatkan keuntungan dari setiap kegiatannya?
Keempat, utang-utang luar
negeri tersebut sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan ekonomi negara
peminjam. Utang jangka pendek yang jatuh tempo, misalnya, akan dapat memukul
mata uang negara-negara pengutang. Bukankah krisis ekonomi yang sampai sekarang
melanda indonesia diawali dan dipicu oleh terjadinya krisis moneter yang
terjadi di bursa valas dan saham?
Sementara itu, dalam jangka panjang, utang akan terakumulasi dalam
jumlah yang sangat besar sehingga sulit untuk dilunasi. Utang luar negeri yang
begitu besar (Indonesia, misalnya, sekitar Rp605 triliun) sangat mungkin
mengguncang perekonomian, negara pengutang. Jika utang tidak terbayar dengan
uang, emas, maupun harta bergerak, maka bukan tidak mungkin negara pengutang
akan dipaksa membayar dengan harta tidak bergerak seperti tanah, perkebunan,
pabrik-pabrik, atau saham dari BUMN. Bila itu benar-benar terjadi,
negara-negara kapitalis (donor) mempunyai alasan kuat untuk sewaktu-waktu
melakukan intervensi ke negara lain dengan alasan mengamankan asset dan
kepentingan mereka.
Berdasarkan kenyataan di atas, meminta utang kepada negara-negara
Barat kapitalis -yang tabiat dasarnya tidak pernah membantu negara lain, tetapi
demi mendapatkan imbalan yang jauh lebih besar bagi mereka- adalah tindakan
yang penuh dengan risiko bahaya. Kaum Muslim, yang sekarang hidup
terpecah-pecah dalam negara-negara kecil yang sering mendapatkan bantuan utang
luar negeri, wajib mengetahui sejumlah bahaya -baik yang yang samar maupun yang
terang- di balik utang luar negeri yang diberikan negara-negara atau
lembaga-lembaga donor kepada negara-negara berkembang (baca: negeri Islam).
Bahaya tersembunyi yang ada di balik utang-utang luar negeri dari
negara-negara kapitalis adalah sangat besar. Dengan cara itu, amat mudah bagi
negara-negara kapitalis untuk menghancurkan sebuah negara yang telah berada
dalam genggaman utang-utang mereka. Dalam hal ini, Islam melarang kaum Muslim
untuk melakukan berbagai aktivitas yang dapat menjadikan orang-orang kafir
berkuasa atas mereka. Allah Swt berfirman (artinya): Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang orang kafir
berkuasa atas kaum Mukmin”. (TQS. an-Nisa: 141).
Islam juga melarang kaum Muslim untuk menimbulkan kerusakan dan
membahyakan diri sendiri. Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan
orang lain di dalam Islam.”
Atas dasar ini, kaum Muslim harus berhati-hati terhadap bantuan
luar negeri yang diberikan negara-negara donor. Sebab, utang luar negeri yang
dapat menimbulkan bahaya seperti di atas adalah haram hukumnya, apalagi bantuan
tersebut tidak terlepas dari sistem ribawi (bunga pinjaman) yang sangat
dilarang di dalam Islam, dan kental dengan kepentingan politik negara-negara
imperialis Barat.
Meskipun utang luar negeri dapat membahayakan, bukan berarti Islam
mengharamkan sama sekali bantuan luar negeri (utang). Boleh saja kaum Muslim
(Negara Islam) menerima bantuan luar negeri (utang) dari negara-negara lain,
selama tidak terkait dengan sistem ribawi, juga selama
persyaratan-persyaratannya tidak mengikat, serta dapat dipastikan bahwa di
balik bantuan tersebut (utang) tidak tersembunyi bahaya-bahaya seperti yang
sebagiannya telah diuraikan di atas. Namun perlu disampaikan bahwa, dalam
Islam, bantuan luar negeri (utang) bukan priotitas utama pendapatan negara. []
Artikel
oleh M. Reza Rosadi
Majalah
al-Wa’ie edisi 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar