Salah satu persoalan laten yang dihadapi oleh umat manusia di
seluruh dunia sepanjang masa adalah kemiskinan. Kemiskinan membuat segalanya
menjadi susah. Karena miskin, orang tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan
hidupnya secara wajar: makan seadanya serta tinggal di tempat yang tidak layak
dengan fasilitas air bersih, penerangan, kebersihan, dan sebagainya yang serba
minim. Bila untuk makan saja susah, apalagi untuk pendidikan dan kesehatan.
Orang miskin biasanya kurang berpendidikan, juga kurang terjaga kesehatannya.
Bahkan, kemiskinan bisa mendekatkan orang pada kekufuran. “Kaada al-fakru an-yakuuna kufran” kata
Rasulullah.
Pada tahap tertentu, seandainya kemiskinan hanya menimpa beberapa
individu saja, mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Akan tetapi, jika itu
melanda sebagian besar masyarakat, tentu bukan lagi perkara yang bisa
diabaikan.
Lantas, mengapa orang menjadi miskin? Ada dua sebab yang sering
dituding para ahli ihwal kemiskinan: kemiskinan kultural dan kemiskinan
struktural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang ditimbulkan lebih oleh
sebab-sebab kultur atau budaya yang bersifat individual seperti: rendahnya etos
kerja, miskinnya keahlian, atau adanya persepsi yang keliru tentang doktrin
agama, misalnya tentang takdir. Sementara itu, kemiskinan struktural adalah
kemiskinan yang diakibatkan oleh sistem sosial, politik, dan khususnya sistem
ekonomi yang diterapkan.
Persoalan Distribusi
Kekurangan gizi dan kelaparan, lebih luas lagi soal kemiskinan,
merupakan bagian dari sebuah sistem yang kompleks, saling berkaitan, serta
mempunyai dampak di bidang sosial, pertanian, perekonomian dunia, dan ekologi.
Ada kelaparan terjadi karena sebagian kelompok masyarakat tidak punya uang
namun di saat yang sama kelompok yang lain memiliki daya beli tinggi. Dalam hal
ini, kelaparan merupakan dampak dari tidak adanya pemerataan.
Impor komoditas pertanian juga memiliki andil memurukkan nasib
para petani dan merusak produksi pertanian. Di tanah air, akibat keran impor
gula dibuka lebar membuat industri gula dan nasib para petani tebu tidak manis
lagi. Mereka terus terjepit, terancam bangkrut dan enggan berproduksi lagi.
Sementara itu harga gabah terus menerus mengalami tekanan. Dengan demikian
petani sulit untuk terus mengembangkan usahanya, selain juga tentunya kian
sulit mempertahankan tingkat pendapatan mereka, apalagi meningkatkannya.
Kelaparan adalah masalah distribusi pangan. Kelaparan terjadi
karena ulah manusia. Sebenarnya, di dunia terdapat cukup bahan pangan untuk
semua manusia. Artinya, kelaparan dan kekurangan bahan pangan bukanlah masalah
keterbatasan bahan pangan, melainkan akibat dari pembagian yang tidak merata di
dalam negara, daerah, lapisan masyarakat, dan bahkan desa atau keluarga.
Seandainya hasil panen dan jumlah protein yang tersedia di atas bumi ini dibagi
dengan jumlah penduduk dunia, dapat dipastikan bahwa setiap orang akan
memperoleh 3.140 kalori dan 65 gram protein setiap harinya. Jumlah ini lebih
dari cukup karena manusia setiap harinya hanya membutuhkan 2.400 kalori.
Menurut perkiraan FAO, jumlah penduduk di Dunia Ketiga yang kekurangan gizi
pada paro kedua tahun tujuh puluhan adalah sekitar 435 juta jiwa: 304 juta jiwa
di Asia, 72 juta di Afrika, 41 juta di Amerika Latin, dan 19 juta di Timur
Tengah.
Peningkatan produksi bahan pangan tidak dapat menyelesaikan
masalah kelaparan, selama kalangan bawah tidak memiliki pekerjaan dan tidak
memiliki penghasilan.
Kesenjangan
Kesenjangan pusat dan daerah pinggiran, dijumpai baik di
negara-negara industri maupun di negara berkembang. Perbedaan pendapatan di
antara keduanya semakin melebar. Pusat, dari segi geografis adalah daerah urban
(aglomerat); dari segi ekonomis adalah daerah industri; dan dari segi struktur
sosial adalah kelompok elite. Perifer, adalah daerah pinggiran, yaitu daerah
pedalaman dan daerah kumuh di sekeliling kota. Di negara-negara industri,
kawasan ini biasanya merupakan kawasan pertanian yang kurang terurus di daerah
pegunungan. Di negara berkembang, kawasan ini biasanya merupakan kawasan
pedalaman yang tidak terjemah, daerah kumuh di perkotaan, kelompok pinggiran,
dan pengangguran yang lari dari daerah ke kota-kota.
Secara ekonomis, daerah pinggiran ini bergantung pada pusat. Dari
sana, datang tenaga kerja (urbanisasi) dan bahan mentah yang murah. Ke sana,
mengalir barang-barang mahal dari kota. Hubungan antara pusat-pusat di negara
industri dan negara berkembang semakin erat.
Urbanisasi dan berkembangnya kawasan kumuh di perkotaan merupakan
tanda-tanda meningkatnya perkembangan negatif. Dalam dua dasawarsa, jumlah
penduduk perkotaan di Kenya misalnya, meningkat dari 7 persen menjadi 14 persen
dari seluruh penduduknya; di Zaire meningkat dari 16 persen menjadi 34 persen;
di Meksiko meningkat dari 51 persen menjadi 67 persen; di Brasil meningkat dari
46 persen menjadi 68 persen. Bila kecenderungan ini tidak berubah, jumlah
rata-rata penduduk perkotaan di negara berkembang akan meningkat dari 31 persen
di tahun 1980 menjadi 46 persen di tahun 2000.
Dewasa ini, tujuh orang petani Amerika Latin datang ke kota untuk
memperebutkan satu lapangan pekerjaan di bidang industri. Satu orang mendapat
pekerjaan, enam orang yang lainnya menetap tanpa pekerjaan tetap dan hidup
dalam kemelaratan di pinggiran kawasan industri (daerah kumuh). Ironisnya,
daerah kumuh yang paling mengenaskan terdapat di negara-negara yang menurut
statistik pertumbuhan ekonominya paling mengesankan: Rio de Janeiro, Sao Paolo,
dan Mexico City. Daerah kumuh Neza di Mexico City berpenduduk 62.000 tahun
1962. Kini, lebih dari 3 juta orang bermukim di sana. Upaya menjaga kebersihan,
seperti pengadaan air, pembuangan limbah dan sampah, serta pemakaman jenazah
sangat problematis. Dewasa ini, Mexico City berpenduduk hampir 20 juta. lni
akibat dari industrialisasi yang terburu-buru dengan mengabaikan pembangunan
pertanian. Bila tidak dikendalikan, penduduk Mexico City akan meledak menjadi
30 juta di tahun 2000.
Kesenjangan terjadi di mana-mana. Konsumsi 20 persen orang kaya di
India 8 kali lebih banyak daripada yang dikonsumsi 20 persen orang miskin.
Kesenjangan itu memiliki tendensi makin membesar. Contohnya, di Brasil tahun
1960-1980. Andil 10 persen masyarakat terkaya pada tahun 1960 adalah 39 persen
dari pendapatan nasional, tahun 1970 naik menjadi 47 persen, dan tahun 1980
naik lagi menjadi 51 persen dari pendapatan nasional. Sementara itu, andil 50
persen masyarakat termiskin pada tahun 1960 adalah 17 persen dari pendapatan
nasional, tahun 1970 turun menjadi 15 persen, dan tahun 1980 turun lagi menjadi
12 persen. Boom ekonomi Brasil mengantar
1 persen penduduk golongan paling kaya menguasai kue ekonomi yang sama banyak
dengan yang dikuasai oleh seluruh paruh terbawah golongan masyarakat Brasil.
Jadi, ketika Brasil menjadi salah satu kekuatan ekonomi, rakyat yang miskin
makin melarat. Proses seperti ini disebut “marginalisasi”.
Jurang antara negara kaya dan negara miskin semakin lebar. Pada
dasawarsa 1970-1980, GNP real di negara miskin rata-rata meningkat 17 dollar
per penduduk; sedangkan di negara pengekspor minyak 624 dollar dan di negara
industri 2.117 dollar.
Pada berbagai forum diskusi tentang strategi pembangunan,
dipergunakan dua prinsip dalam mendefinisikan dan menilai pembangunan. Kelompok
pertama menyamakannya dengan pertumbuhan GNP (Gross National Product),
modernisasi alat-alat produksi, serta penggunaan modal besar dan teknologi.
Kelompok lain lebih mengutamakan pengentasan masyarakat dari kemiskinan,
pemenuhan kebutuhan pokok, kemandirian, dan pembagian kekuasaan yang
proporsional. Pengalaman yang ada menunjukkan, pengentasan kemiskinan dan
pemenuhan kebutuhan pokok lebih penting daripada pertumbuhan GNP.
Khatimah
Demikianlah, yang terjadi sesungguhnya bukanlah kemiskinan
kultural, tetapi kemiskinan struktural. Jika kemiskinan lebih diakibatkan oleh
sistem, berarti yang terjadi adalah proses pemiskinan, yakni sebuah upaya sadar
untuk mempertahankan tatanan yang ada, demi tetap memberikan keuntungan bagi
negara-negara industri sebagi pusat atau kelompok elit di tiap negara;
sekalipun untuk itu, ratusan juta manusia tersaruk-saruk hidup dalam
kemiskinan. Bila kemiskinan itu terjadi karena sistem ekonomi yang buruk,
berarti pengentasannya juga harus secara sistemik, yakni dengan cara
menghadirkan sistem alternatif. Sistem apa? Bila sosialisme telah hancur, kini
kapitalisme telah tampak keburukannya, ke mana lagi manusia akan mengadu, bila
tidak kepada Islam? Wallahu a'lam bi
ash-showwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar