Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menjadi alat legitimasi penguasa bagi
propaganda perang melawan radikalisme. Meski ini adalah persidangan yang
menangani sengketa tata usaha negara yakni soal administrasi negara, nyatanya
selama persidangan kuasa hukum pemerintah lebih banyak mempermasalahkan ide-ide
dakwah HTI, terutama ide khilafah. Objek sengketa yakni SK pencabutan BHP HTI
justru sedikit sekali dibahas oleh kuasa hukum pemerintah -dikenal pro liberal dan
ada yang kafir.
Pandangan
majelis hakim setali tiga uang dengan kebijakan pemerintah selama ini yang
memandang Islam sebagai ancaman. Dan di pengadilan, nuansa anti khilafah dan
anti syariah Islam itu sangat kental, baik yang disampaikan oleh kuasa hukum
pemerintah maupun saksi dan para ahli dari rezim Jokowi. Mereka misalnya,
mempermasalahkan larangan wanita dan orang kafir menjadi pemimpin, bahasa Arab sebagai
bahasa negara, dan lainnya.
Apa
yang terjadi di ruang persidangan itu mengingatkan pada pernyataan Presiden
Jokowi sebelumnya. Jokowi menyebut bahwa ancaman negara bukanlah komunisme,
melainkan radikalisme dan paham garis keras [baca: Islam]. ”Jangan sampai
kampus-kampus menjadi lahan penyebaran ideologi anti-Pancasila, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika," kata Presiden.
Lebih
jelas lagi disampaikan KapoIri Jend (Pol) M Tito Karnavian. Pada satu
kesempatan ia menyebut, tujuan dari radikalisme selalu ingin melemahkan
keberadaan pemerintah, guna mengambil keuntungan politik dengan ancaman
kekerasan. ”Tujuannya, mendelegitimasi pemerintah, dengan ancaman kekerasan. itulah
tujuannya mendelegitimasi pemerintah sampai tidak mampu melindungi warganya,
nah di mana posisi radikalisasi, pengambilalihan kekuasaan,” tambahnya.
Upaya
pemerintah menggiring kasus di dalam PTUN ke arah materiil itu kian terlihat
ketika rezim mengajukan ahli Ansyaad Mbai. Mantan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini menyebut radikalisme lebih bahaya dari
terorisme.
Dalam
pandangan ahli pemerintah, khilafah adalah ancaman nyata. Sistem pemerintahan
Islam ini dinilai tidak cocok bagi Indonesia karena Indonesia sudah memiliki
kesepakatan yang tidak boleh diubah alias harga mati. Bahkan menurut Rektor UIN
Sunan Kalijaga Prof. Yudian Wahyudi, siapa yang ingin mengganti Pancasila
berarti memberontak kepada Allah, dengan alasan umat Islam tidak boleh
mengkhianati kesepakatan.
Yang
menarik, para ahli pemerintah ini seakan tak peduli dengan pernyataan para ulama
masyhur bahwa menegakkan khilafah hukumnya wajib. Mereka pun tak peduli bahwa
tak ada ulama yang menentang kewajiban itu. Bagi mereka yang penting, NKRI
harga mati.
Rezim
ini pun tak peduli dengan penjelasan dan argumentasi HTI tentang perjuangannya.
Juru bicara HTI M. Ismail Yusanto berulang kali menegaskan, khilafah itu justru
untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman neoliberalisme dan neoimperialisme.
Syariah, sebagai salah satu substansi dari khilafah, akan menggantikan liberalisme.
Sedang persatuan umat, akan mencegah negeri ini makin masuk ke dalam
cengkeraman neoimperialisme.
Menurutnya,
dengan putusan PTUN ini, publik semakin mendapatkan bukti bahwa rezim yang
tengah berkuasa saat ini adalah rezim represif anti-Islam. Sebelumnya, mereka
melakukan kriminalisasi terhadap para ulama, bahkan di antaranya ada yang masih
ditahan hingga sekarang, lalu melakukan pembubaran atau penghalangan terhadap
kegiatan dakwah di sejumlah tempat. Sementara di saat yang sama, rezim justru
dengan sekuat tenaga melindungi penista Al-Qur’an, membiarkan terjadinya ketidakadilan
hukum, politik dan ekonomi terhadap umat dan tokoh Islam.
Secara
global, langkah rezim ini seirama dengan politik Amerika Serikat. Dewan
penasihat keamanan Donald Trump menyatakan, kini Amerika Serikat sedang
berperang dengan "terorisme radikal Islam," atau "Islam radikal",
atau sesuatu yang lebih luas lagi, seperti "Islamisme." Mereka
menggambarkan perang ini sebagai perjuangan ideologis untuk melestarikan/ mempertahankan
peradaban Barat, seperti perang melawan Nazisme dan komunisme.
Mereka
menyebut, perang ini tidak terbatas pada Muslim ekstremis Sunni atau Syiah
ekstremis, tapi Islam secara menyeluruh, khususnya mereka yang ingin mengambil
kekuasaan negara.
Lanjutkan Perjuangan
Ismail
menegaskan, dakwah adalah kewajiban yang dibebankan kepada seluruh kaum Muslim.
Dakwah yang dimaksud mencakup seluruh ajaran Islam dari A sampai Z, menyangkut
urusan pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara.
Ia
mengingatkan, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Yang bisa mengubah negeri
ini sepenuhnya adalah rakyat sendiri, bukan organisasi manapun. HTI, katanya,
hanya menawarkan konsep-konsep perubahan ke arah yang lebih baik kepada
masyarakat yang digali dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Pihaknya
yakin, dengan melaksanakan syariah secara kaffah, Indonesia akan berubah
menjadi lebih baik dan mendapatkan berkah dari Allah SWT. Selain itu, khilafah
adalah solusi permasalahan yang melanda negeri ini dan dunia pada umumnya.
HTI Bukan Kelompok Terlarang
Kuasa
Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra menegaskan,
hingga saat ini status ormas Islam HTI bukan ormas terlarang.
Yusril
mengatakan bahwa meski status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) HTI sudah dicabut,
bukan berarti ormas tersebut tidak bisa beraktivitas. “Yang dicabut adalah
status badan hukum HTI, tetapi bukan berarti HTI tidak bisa beraktivitas karena
mereka punya hak untuk berorganisasi dan beraktivitas, apalagi aktivitas dakwah
Islam," jelasnya dalam jumpa wartawan, Selasa (8/5/2018) di Kantor DPP
HTI, Crown Palace, Jakarta.
“Jadi
kalau Hizbut Tahrir tidak berbadan hukum, ya tidak dilarang," bebernya.
“Apakah
ada Ormas tidak berbadan hukum? Banyak Ormas yang tidak berbadan hukum, apalagi
OTB, organisasi tanpa bentuk, lebih banyak lagi,” ungkapnya.
Ajaran Islam Ingin Dikalahkan?
Di
persidangan justru terungkap bahwa ide-ide yang disebarkan oleh HTI bukanlah
sesuatu yang baru. HTI hanya menyebarkan ajaran Islam. Ajaran itu bahkan
mewarnai sejarah umat manusia selama berabad-abad lamanya.
Buku-buku
populer dengan sangat tegas membuktikan bahwa khilafah adalah ajaran Islam. Misalnya
saja:
· Buku
Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang
Pimpinan Al Quraan dan Sunnah (cetakan kedua, Tahun 1984) Karya KH.
Moenawar Khalil, Penerbit CV. Ramadhani, Solo.
· Ada
juga buku fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jihad, Pengadilan dan Mekanisme Mengambil
Keputusan, Pemerintahan dalam Islam) ditulis Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
diterbitkan oleh Penerbit Gema Insani Jakarta pada tahun 2011;
· Buku
Ensiklopedi Islam 3 (cetakan kesembilan),
diterbitkan oleh PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta pada tahun 2001;
· Buku
Al-Ahkam Sulthaniyyah (Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam
Syariat Islam), ditulis Imam Al-Mawardi, diterbitkan oleh PT. Darul Falah,
Bekasi pada Tahun 2006;
· Buku
Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap)
cetakan ke-77, Penulis: H. Sulaiman Rasjid, diterbitkan oleh Sinar Baru
Algesindo Bandung, pada tahun 2017;
· Dan
buku Tarikh Khulafa (Sejarah Penguasaan Islam,
Khulafa'urasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah) Cetakan ke 13, ditulis
oleh Imam As-Suyuthi, diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar, Jakarta pada tahun
2017.
Semua
buku tersebut mengupas dengan jelas tentang khilafah, bahwa khilafah adalah
ajaran Islam dalam bidang pemerintahan.
Lebih
lanjut, saksi ahli Dr. Daud Rasyid MA menyatakan, ”Jadi sebenarnya dalam
disiplin keilmuan tidak ada orang yang mempertanyakan khilafah itu perlu atau
tidak. Karena dia adalah sebuah keharusan dalam rangka untuk menegakkan hukum
syariah Al-Qur’an, membawa syariah, syariah itu berarti hukum. Di antaranya
hukum mengenai ibadah, ada hukum mengenai hukum publik menyangkut pidana, hukum
dagang, bahkan sampai hukum internasional. Maka itu semua hukum ketika akan
dilaksanakan harus melalui kekuasaan. Maka kekuasaan itu adalah yang dikatakan
dengan khilafah.”
Ia
menegaskan dalam kesaksiannya: "Jadi khilafah ini di dalam hadits, terang,
jelas, tidak ada yang bisa untuk menutup-nutupinya, dan dia sudah menjadi fakta
sejak zaman Khulafaur Rasyidin.”
Hal
yang sama ditegaskan Prof. Dr. KH Didin Hafiduddin. "Iya, benar khilafah
itu Ajaran Islam. Khilafah itu kan
terjadi dalam sejarah hampir 1200 tahun khilafah Islam. Artinya memang kenapa
itu terjadi? Karena khilafah itu bagian dari ajaran Islam,” katanya di hadapan
majelis hakim.
Ia
kemudian menjelaskan bagaimana proses pembaiatan khilafah yang pertama dan
selanjutnya. ”Jadi menurut saya masalah syariah apalagi masalah khilafah itu
merupakan bagian dari ajaran Islam. Dan Hizbut Tahrir sebenarnya hanya
mengingatkan kembali saja," tegasnya.
Bahkan
ketika saksi ahli pemerintah yakni Achmad Ngishomudin ditanya apa hukumnya
khilafah, ia menjawab: ”Hukum menegakkan khilafah di dalam kitab fikih lama
seluruhnya adalah wajib.”
Maka,
terbukti bahwa khilafah yang diperjuangkan HTI adalah bagian dari ajaran Islam.
Sehingga pelarangan atas kegiatan HTI mendakwahkan khilafah sama artinya dengan
melarang HTI menjalankan syariah Islam.
Dan
menurut Prof. Suteki, pakar hukum dari Undip Semarang, mendakwahkan ajaran Islam
tidak melanggar hukum.
Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 219,
220
Tidak ada komentar:
Posting Komentar