Dalam
sidang yang berlangsung Kamis (8/1/2018) pemerintah mendatangkan Rektor
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Yudian Wahyudi.
Anggota
American Association of University Professors, Harvard University, Amerika
Serikat ini duduk sebagai ahli untuk membantah ajaran khilafah yang didakwahkan
oleh HTI. Profesor yang melarang penggunaan cadar dan kemudian mencabutnya
kembali ini dengan tegas menyatakan bahwa mendirikan khilafah di Indonesia
berarti memberontak kepada Allah.
Baginya,
khilafah itu ditulis oleh ulama yang hidup di masa khilafah masih ada. Sehingga,
ia menyamakan keberadaan para ulama itu sama seperti pegawai negeri sipil/ aparat
sipil negara saat ini. ”Kemudian rezimnya berubah seperti sekarang, ASN/PNS
tidak harus memilih Golkar, sekarang bebas-bebas saja, berubah sikap,” kata
Yudian.
Alumni
Fakultas Filsafat UGM ini pun menyatakan khalifah bukanlah pemimpin negara
khilafah. Menurutnya, khalifah adalah status terkait keahlian atau
profesionalitas. Khalifah, bisa hadir dalam sistem apapun. Ahli juga menyebut
Donald Trump sebagai khalifah terkuat saat ini. Jokowi, disebut khalifah level
nasional.
Ia
menentang ide khilafah. Ahli yang kuliah S2 dan S3 di McGill University,
Montreal Kanada ini menolak kesepakatan para ulama empat mazhab yang menyatakan
bahwa menegakkan khilafah itu hukumnya wajib. ”Klaim bahwa semua ulama sepakat
itu, itu klaim teoritis,” katanya beralasan.
Sayangnya,
sang profesor itu tak menunjuk dasar dirinya menyebut dasar hukum ucapannya
itu. ”Pada akhir zaman, saat Khilafah Utsmaniyah saja, pada saat seharusnya
didukung oleh semua dunia Islam, tokoh-tokoh dari berbagai wilayah menolak kok," katanya.
Namun
ketika didesak oleh juru bicara HTI M. Ismail Yusanto, apakah menegakkan
khilafah wajib, ia tak bisa mengelak bahwa itu wajib. ”Wajib ditegakkan, tapi
tidak seperti yang dikehendaki HTI,” sergahnya.
Lalu
Ismail menanyakan lagi, "Apakah menerapkan, melaksanakan syariah Islam itu
wajib?"
Yudian
menjawab: "Ini tinggal dilihat. Ini bisa berlapis-lapis caranya. Apakah
shalat harus dengan khilafah, nggak
juga. Kan semua sudah difasilitasi.
Wajib tapi lihat ruang dan waktu.”
Ditanya
lagi, ”Bersatunya umat Islam itu wajib apa tidak?”
Ia
menjawab: "Wajib. Justru karena kita sudah punya persatuan, bi hablillah [dari wa'tasimu bi hablillahi jami'a, -red.] ini jelas, Pancasila. Kalau
Anda bikin versi yang lain, pecah kita.”
Ketika
ditanyakan kepada ahli filsafat ini bahwa ada ulama yang mewajibkan menegakkan
khilafah yang mereka tidak hidup di masa kekhilafahan, Yudian dengan enteng
menyatakan: "Mereka membuat tidak sampai pada aksi."
Lalu
saat didesak lagi oleh Ismail apakah khilafah itu wajib, ahli yang mengakui
semua agama sama ini menjawab: "Iya, itu wajib.”
Namun
ia buru-buru mengatakan itu tidak wajib pada masa sekarang. Alasannya, ijmak
sahabat sebagai salah satu dasar kewajiban menegakkan khilafah sudah di-mansukh (dihapus) oleh kesepakatan di
Indonesia.
"Itu
jadi tidak wajib. Saya justru ingin membebaskan umat Islam dari konsep yang
(khilafah) itu. Itu bedanya. Kalau bilang wajib, konsep siapa yang lebih
berhasil. Saya atau Anda. Nanti kita cek habis ini,” kata Yudian.
Profesor
yang punya kantor di Harvard AS ini pun menyatakan fikih itu berkembang sesuai
dengan ruang, waktu, dan pelakunya. Semuanya bisa berubah. ”Artinya begini,
khilafah tidak persis itu, tapi tujuan-tujuan pemerintahan itu bisa dicapai.
Tanpa namanya itu," katanya.
Jadi
khalifah versinya adalah orang-orang profesional yang punya nama, menang
tanding, dan lolos tes. Sehingga, khilafah yang diperjuangkan HTI itu tidak wajib
bahkan menegakkan daulah Islam di Indonesia hukumnya haram.
Ketika
ditanya oleh Ismail, apa rujukan yang menyatakan bahwa ijmak sahabat telah di-mansukh oleh ijmak di Indonesia, Yudian
menjawab: "Ijmak sahabat itu kan
teori. Ijmak yang berlaku itu ya di Indonesia.”
Didesak
lagi oleh jubir HTI, dokumen/ landasannya apa yang menyebutkan ijmak di Indonesia
me-mansukh ijmak sahabat? Dengan nada
tinggi, Yudian menjawab: ”Siapa yang bilang tidak ada. Ijmak itu ada berapa
sih? Makanya, kita jadi susah dengan masa lalu yang tidak berlaku itu. Hukum
bisa berubah jika ruang dan waktunya dan pelakunya berubah. Siapa yang bikin
ijmak itu? Orang sudah mati semua kok. Ijmak hanya pendapat, tidak berlaku di
sini.”
Apa
yang dikemukakan oleh Yudian ini membuat geram para ulama yang menghadiri
sidang tersebut. Terlebih apa yang dikemukakannya hanya atas dasar logika
semata, tidak ada rujukannya.
Menanggapi
pernyataan Yudian itu, Ketua Hizbut Tahrir Wilayah Indonesia Rokhmat S. Labib
mengatakan, "Sebuah kesalahan besar dan tuduhan lancang kepada para ulama,
mengatakan bahwa ulama mewajibkan khilafah itu berdasarkan realitas yang ada di
sekitar mereka karena khilafah sedang berdiri!”
Menurutnya,
menyamakan para ulama dahulu seperti sikap PNS yang ada pada rezim yang ada
sekarang ini, merupakan sebuah tuduhan serius, bahwa seolah-olah ulama
mengatakan "ini wajib” berdasarkan pada hawa nafsunya.
Padahal,
kata Rokhmat, mereka mengatakan "ini wajib” berdasarkan dalil syar'i. Imam
Nawawi menegaskan," Bahwa mereka (para ulama) bersepakat bahwa wajib atas
kaum Muslimin mengangkat seorang khalifah, kewajibannya berdasarkan syara', bukan
akal.”
Rokhmat
juga membantah kriteria khalifah ala
Yudian ini yakni pertama, profesional; kedua, menang tanding. "Itu sangat aneh
sekali, mana ada rujukan atau ulama yang mengatakan bahwa khalifah itu seperti
itu. Bahkan menyebut pemimpin orang kafir pun disebut sebagai seorang khalifah.
Di mana coba?" tanya Rokhmat.
Ia
berani memastikan, tidak ada satu pun ulama muktabar yang mengatakan seperti
itu. ”Mana ada Trump seorang khalifah. Khalifah kok memerangi Islam dan kaum Muslimin?” tanyanya retorik.
Ia
merasa heran dengan pernyataan Yudian yang menyebutkan sebenarnya yang
ditentang oleh Yudian adalah khilafah versi HTI. Padahal, lanjutnya, khilafah
sebagaimana yang disampaikan oleh HTI sama dengan yang ada di kitab-kitab para
ulama. Bahkan ada di kitab-kitab kuning yang dipakai di pesantren dan bisa
dibandingkan isinya.
Baik
dalam buku HTI maupun kitab-kitab yang ditulis ulama muktabar, jelasnya,
khilafah itu pemimpin secara umum untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan untuk
mengemban dakwah Islam. Itu juga yang dikatakan para sahabat, Abu Bakar ra.
ketika menjadi khalifah, harus ada orang yang memiliki tugas menegakkan agama
ini, itulah khalifah.
Apa
yang dikemukakan ahli di depan pengadilan, lanjut Rokhmat, sama sekali tidak
ada rujukannya, mau kitab tafsir, ataupun kitab fikih. "Tidak ada. Jadi
aneh orang seperti itu dikatakan ahli dalam agama. Wong tidak ada rujukannya dari para ulama pendapat yang seperti
itu,” jelasnya.
Tak
hanya Yudian Wahyudi, sepekan sebelumnya, mantan Ketua Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai pun melontarkan tudingan tanpa
dasar di muka pengadilan yang sama.
Ahli
yang didatangkan oleh pihak pemerintah itu mengatakan bahwa khilafah merupakan
paham radikal. Khilafah juga paham yang sangat berbahaya dan terkait erat
dengan terorisme. "Terorisme adalah anak kandung radikalisme,” katanya.
Bahkan
Ansyaad menegaskan bahwa radikalisme lebih berbahaya daripada terorisme. Semua
aksi kekerasan dan teror di Indonesia terkait dengan paham ini. ”Maka, jika
paham radikal ini dibiarkan, maka kita akan terus mandi bom,” ucapnya.
Tak
hanya itu, pensiunan polisi ini menyimpulkan semua pelaku bom yang bertujuan
ingin menegakkan khilafah ada kaitannya dengan HTI. Ia mengatakan, sebanyak 25
di antara pelaku terorisme adalah pernah menjadi anggota HTI. Lagi pula, kata
dia, HT dilarang di 20 negara.
Upaya
framing Ansyaad ini pun terpatahkan
di persidangan. Juru bicara HTI M. Ismail Yusanto menjelaskan, Hizbut Tahrir di
beberapa negara tidak dibubarkan. Turki dan Malaysia, adalah contohnya. HT
Malaysia beberapa waktu yang lalu mengadakan Konferensi Khilafah. Sedangkan
Turki, jubir justru ikut hadir menjadi salah satu pembicara dalam sebuah forum
diskusi yang diadakan HT Turki.
Kuasa
hukum HTI menanyakan bagaimana menurut ahli jika HTI dicabut status hukumnya
tanpa prosedur? Tanpa mediasi? Tanpa bukti administrasi? Ansyaad hanya terdiam
dan mengelak itu bukan bagian dari keahliannya.
Usai
sidang Ismail menjelaskan, "Kita bisa pastikan bahwa tidak mungkin anggota
HTI terlibat terorisme," tegasnya. Karena, salah satu prinsip utama dari
gerak dakwah Hizbut Tahrir adalah non-kekerasan (la unfiyah).
Ismail
menyebutkan, kalaulah umpamanya benar bahwa mereka itu pernah aktif di Hizbut
Tahrir, itu artinya masa lalu. Ketika dia terlibat terorisme, dia sudah bukan
lagi anggota Hizbut Tahrir sehingga tidak bisa dikait-kaitkan dengan Hizbut
Tahrir. ”Pengaitan dengan Hizbut Tahrir itu jelas tindakan yang tidak logis,
tindakan yang semena-mena,” bebernya.
Bahkan,
kalaulah umpamanya pun dia masih aktif, tetap tidak bisa juga dikaitkan dengan
Hizbut Tahrir karena itu tindakan yang bertentangan dengan Hizbut Tahrir itu
sendiri. Jadi itu tanggung jawab dia. "Jadi sama seperti halnya ada
seorang polisi nembak, itu tidak bisa kepolisian sebagai organisasi
dipersalahkan, itu adalah tanggung jawab yang bersangkutan," ujarnya.
Ismail
menilai, kehadiran Ansyaad Mbai tampaknya dimaksudkan untuk mengaitkan antara
ide khilafah dengan terorisme. ”Tujuannya, untuk memberikan image atau citra bahwa Hizbut Tahrir itu
dekat sekali dengan terorisme, bahwa khilafah itu sangat berbahaya. Karena
itulah benar, kalau Hizbut Tahrir harus dibubarkan. Konstruksinya kan begitu,” paparnya.
Di
mata Ismail, tindakan rezim Jokowi ini sangat jahat. ”Kalau menurut saya itu
jahat sekali. Ini upaya framing dan
generalisasi yang jahat sekali,” terang jubir HTI.
Ketua
Hizbut Tahrir Wilayah Indonesia Rokhmat S. Labib pun membantah tudingan ngawur
itu. ”Tidak ada satu pun anggota HTI yang terlibat aksi kekerasan!” tandasnya.
Bahkan,
setiap ada aksi teror bom di Indonesia, HTI selalu mengeluarkan sikap. “Mengecam
keras tindakan tersebut. Lalu bagaimana bisa dituduh terlibat dengan aksi-aksi
tersebut?" gugatnya.
Rokhmat
menjelaskan, khilafah itu ajaran Islam. Dengan khilafah, semua ajaran Islam
bisa diterapkan. ”Sementara tidak ada satu pun ajaran Islam yang buruk,
semuanya baik, mendatangkan rahmat, menjauhkan dari murka Allah. Di mana
terornya? Jika ada kelompok yang mengatakan berjuang menegakkan khilafah dengan
kekerasan, tidak bisa digeneralisir semuanya begitu,” paparnya.
Koordinator
Koalisi 1000 Advokat Bela Islam Ahmad Khozinuddin mengatakan bahwa bagi
masyarakat yang banyak berinteraksi dengan HTI, tudingan Ansyaad Mbai bahwa HTI
sebagai gerakan teroris atau setidaknya menginspirasi terorisme akan dianggap
candaan saja. Sebab, telah dikenal secara luas bahwa HTI dalam mengemban misi
dakwah Islam murni dengan pemikiran, dakwah amar
makruf nahi munkar, tanpa fisik dan tanpa kekerasan.
Bacaan:
Tabloid Media Umat edisi 216
Australia Tolak Masukkan Hizbut Tahrir Sebagai Organisasi Teroris
Jaksa
Agung George Brandis kembali menolak daftar Hizbut Tahrir sebagai organisasi
teroris di Australia Mei lalu beberapa saat setelah pemerintah Indonesia
menyatakan bahwa HTI akan dibubarkan karena dianggap menimbulkan konflik di
masyarakat.
Sebelumnya,
Senator Brandis mencari saran dari Organisasi Intelijen Keamanan Australia
terkait dengan organisasi tersebut. Ini mengingat di Australia, HT juga berkembang.
Itu
adalah "pandangan kuat" analis ASIO bahwa Hizbut Tahrir Australia -yang
menggambarkan dirinya sebagai "partai politik" di situs resminya-
tidak sesuai dengan definisi organisasi teroris dalam kode pidana.
Di
negara tersebut, ada 23 badan yang terdaftar sebagai organisasi teroris. Daftar
itu dikeluarkan oleh jaksa agung setempat setelah menerima bukti kuat yang memuaskan
bahwa sebuah organisasi terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
mempersiapkan, merencanakan, membantu atau mendorong dilakukannya tindakan
teroris, atau mendukung tindakan teroris.
Nah, HT
memang tak pernah terlibat aksi terorisme. Terlibat tidak langsung pun tidak. Lha kok
di Indonesia malah dituduh-tuduh seenaknya. Ini ngawur apa fitnah?[] referensi:
http://www.news.com.au/ Sumber: Tabloid
Media Umat edisi 216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar