Negeri Syam adalah bagian dunia
yang sangat penting yang termasuk dalam pusat urusan politik dan spiritual bagi
kaum Muslimin sejak awal sejarah mereka. Kita telah diberitahu mengenai
pentingnya as-Syam di dalam hadits Rasul ﷺ dan
bahwa kaum Muslimin memiliki ikatan -spiritual maupun politik- dengan wilayah
itu hingga hari Kiamat. Nabi ﷺ bersabda:
طُوبَى
لِلشَّامِ
فَقُلْنَا
لِأَيٍّ ذَلِكَ
يَا رَسُولَ
اللَّهِ
قَالَ
لِأَنَّ مَلَائِكَةَ
الرَّحْمَنِ بَاسِطَةٌ
أَجْنِحَتَهَا
عَلَيْهَا
"Beruntunglah bagi penduduk
Syam." Lalu kami bertanya; "Mengapa bisa seperti itu wahai
Rasulullah?" Beliau bersabda: "Sesungguhnya Malaikatnya Dzat Yang
Maha Pengasih (Allah) telah membentangkan sayapnya di atas negeri Syam." (HR.
at-Tirmidzi)
Negeri Syam adalah wilayah yang
meliputi Lebanon, Palestina, Yordania dan hampir seluruh Suriah. Di bawah
pemerintahan Khalifah Abu Bakar ra. kaum Muslimin telah mulai memasuki
area-area Suriah. Dan beberapa bulan setelah meninggalnya Abu Bakar, Damaskus
jatuh ke tangan Negara Khilafah pada 635 M.
Wilayah Syam di abad ke-9 |
Terjadi pertempuran penting dan
bersejarah antara Kerajaan Byzantine (Kerajaan Romawi Timur) dan Negara
Khilafah, di mana kaum Muslimin hanya berjumlah 40.000 sementara tentara musuh
berjumlah 200.000 tentara.
Setelah berperang selama beberapa
hari, kaum Muslimin mampu mengungguli, dengan sebanyak 70.000 tentara Byzantine
terbunuh. Ketika Kaisar Heraclius mendengar kabar kekalahan itu, dia pindah ke
Konstantinopel mengatakan, “Selamat tinggal Suriah; betapa sebuah negeri
kutinggalkan pada musuh!” Perang ini kemudian dikenal sebagai Perang Yarmuk dan
merupakan perang yang signifikan dalam sejarah.
Lalu diikuti oleh penaklukan lanjutan,
membawa Aleppo dan Antioch ke dalam kendali Khilafah pada tahun 637 M. Dengan
dikuasainya Antioch, hampir seluruh Suriah ada di bawah kendali kaum Muslimin.
Kemenangan terakhir dan paling
signifikan dalam rangkaian penaklukan ini adalah dikuasainya Yerusalem oleh
Khalifah Umar pada tahun 637 M. Sang Khalifah tiba di kota Yerusalem dengan mengenakan
baju berbahan kain kasar, membuat heran banyak orang kafir. Umar menetapkan
pakta dengan kaum kafir Yerusalem berdasarkan ajaran Islam yang menjamin nyawa dan
harta mereka, gereja-gereja dan salib-salib mereka. Mereka tidak boleh dipaksa
masuk Islam, dan tidak boleh dizhalimi.
Pemerintahan Islam diterapkan di
al-Syam dan terus berlangsung hingga serangan Pasukan Salib yang pertama. Yerusalem
kemudian menjadi pusat konflik antara kaum Muslimin dan kaum Kristen Eropa,
yang terwujud dalam Perang Salib.
Era Khilafah Utsmani dan Makar Barat
Selama kekuasaan Utsmani, al-Syam
tetap di genggaman kaum Muslimin. Setelah sebelumnya Syam menjadi area
perseteruan antara Mamalik dan Utsmani, pada akhirnya menetap di bawah kendali
Utsmani, khususnya setelah perpindahan resmi kekuasaan Khilafah kepada Utsmani
di bawah Sultan Salim, ayahnya Sultan Sulaiman. Al-Syam menjadi sebuah propinsi
Khilafah Utsmani.
Upaya awal Eropa terhadap Syam kemudian
dilakukan oleh Perancis, yang menguasai sebagian Mesir di bawah Napoleon. Pada
1798, pasukan Perancis maju ke Syam melalui Semenanjung Sinai, sebelum dipaksa
mundur oleh pasukan Utsmani. Upaya yang berikutnya memberikan keberhasilan
lebih lanjut bagi Perancis, yang mampu merebut sebagian Palestina, Lebanon dan
Suriah selama beberapa waktu, sebelum dipaksa mundur, kali ini Perancis dibantu
Aliansi Quadrilateral yaitu Inggris,
Rusia, dan dua negara Jerman.
Upaya semacam Napoleon hanya
membawa keberhasilan temporer dan terbatas, sementara bisa dikatakan bahwa Barat
mendapat keberhasilan lebih besar dengan basis gerakan intelektual dan budaya.
Upaya mereka itu menggabungkan antara kerja misionaris dan pemunculan
separatis, kecenderungan nasionalisme di kalangan kelompok minoritas di
Khilafah Utsmani. Pusat misionaris berdana asing pertama didirikan di Beirut
pada tahun 1820. Pada tahun 1834 misionaris terkemuka Amerika Eli Smith membuka
sekolah Kristen untuk perempuan.
Dalam kondisi Khilafah Utsmani
telah menjadi rentan terhadap pemberontakan di kawasan Balkan, aktivitas intelektual di Syam berhasil
memunculkan aspirasi politik di dalam beberapa kelompok minoritas. Para
misionaris Inggris, Perancis dan Amerika yang bekerja di balik topeng institusi
ilmiah dan pendidikan, menjadi penyalur paham-paham kufur, yang turut mendorong
perkembangan ide “Solidaritas (pan) Arab.”
Nasionalisme Arab Dan Tendensi
Separatis
Misionaris bertindak sebagai
saluran menuju gerakan politik, dan pada akhirnya menjadi aktivitas fisik. Dengan
melemahnya pengaruh Khilafah Utsmani di Syam, perseteruan antara minoritas
Druze dan Maronite meletus pada 1841 di daerah pegunungan Lebanon. Inggris
berpihak pada Druze dan Perancis berpihak pada Maronite. Ini menghasilkan
pertumpahan darah yang signifikan di seluruh Lebanon sebelum meluas ke wilayah
Suriah yang lebih besar.
Pertarungan itu memunculkan seruan
kemerdekaan politik bagi berbagai kelompok minoritas. Intervensi serta gerakan
politik menjadi umum. Itu dijiwai oleh semangat separatis, dan bermacam partai
dan kelompok dibentuk untuk tujuan ini. Kelompok semacam “Syrian Scientific
Association” dibentuk pada 1857, didesain untuk mewujudkan nasionalisme Arab. The
“Secret Association” dibentuk pada 1875, lebih lanjut menumbuhkan tendensi pan-Arab;
mendorong permusuhan terhadap Khilafah Utsmani dengan menyebutnya sebagai
Negara “Turkish” dan menuduhnya merebut kekuasaan politik dari orang-orang Arab;
dan menghasilkan permusuhan di antara kelompok-kelompok Arab (berdasarkan
perbedaan dalam hal agama).
Seiring dengan tumbuhnya
tendensi-tendensi semacam itu dan dengan berlanjutnya pelemahan politik
Utsmani, tumbuhnya perlawanan dan pemberontakan menjadi subur.
Selama keributan yaitu Perang Dunia
1, Inggris mendorong antek barunya Syarif Hussein, yang ketika itu masih wali (gubernur) Khilafah Utsmani di
Makkah, untuk melancarkan Revolusi Arab melawan Utsmani.
Revolusi ini terbukti berhasil,
memuluskan jalan bagi pemisahan tanah-tanah Arab dari Utsmani, menempatkannya
di bawah mandat Inggris dan Perancis. Di tahun yang sama, Inggris dan Perancis
setuju atas pembagian tanah-tanah bekas Khilafah melalui Perjanjian Sykes-Picot
dengan persetujuan Kekaisaran Russia. Mengikuti Revolusi Komunis di Russia,
kaum Komunis membeberkan rencana Inggris-Perancis itu pada dunia.
Kesepakatan Sykes-Picot (bersama dengan perjanjian-perjanjian semacamnya) menentukan pengaruh Inggris dan Perancis di dunia Muslim setelah jatuhnya Khilafah. Di bawah kesepakatan ini, Inggris diberi kendali atas Yordania, Irak, dan daerah kecil sekitar Haifa. Perancis diberi kendali atas Turki Tenggara, Irak Utara, Suriah, dan Lebanon. Mereka dibebaskan untuk menentukan batas-batas negara. Keputusan sesukanya itulah yang menentukan dunia Muslim terpecah menjadi wilayah-wilayah geopolitik hingga hari ini.
Zionisme Dan Israel
Pemecahbelahan Khilafah juga
diikuti oleh berdirinya Israel, dibantu oleh Inggris dengan Deklarasi Balfour yang
menciptakan momentumnya pada 1948.
Al-Syam Hari Ini
Negeri Syam hari ini adalah wilayah
dalam kobaran api. Perang di Suriah sekarang sudah lebih dari lima tahun, hasil
dari 4 dekade lebih umat Islam hidup di bawah penindasan rezim Ba’ath. Menghasilkan
krisis pengungsi skala raksasa, belum pernah disaksikan di manapun selain
Afrika sejak PD2.
Sementara Israel tetap bercokol di
wilayah itu, dia berada dalam posisi tak aman di antara institusi-institusi
politik Muslim, mempersenjatai diri sebanyak-banyaknya sebagai persiapan untuk
terjadinya benturan tak terelakkan yang suatu hari akan datang. Sementara negara-negara
di wilayah Syam (semacam Yordania) adalah contoh kelemahan dan pengkhianatan,
tidak mencerminkan sentimen penduduknya dan dunia Muslim yang lebih luas.
Puluhan tahun eksperimen dengan
model pemerintahan asing dan ketundukan politik yang endemik kepada
kekuatan-kekuatan asing telah membuat kebanyakan orang yakin bahwa keadaan politik
saat ini mengindikasikan peristiwa-peristiwa besar yang akan datang. Umat Islam
di Suriah sebagai contoh, meski puluhan tahun ditindas, masih bisa menjaga
aspirasi politik Islam. Itu menunjukkan bahwa kaum Muslimin masih terhubung
dengan warisan politiknya dan terhubung oleh ide-ide persatuan Islam.
Bisyarah Rasulullah ﷺ
menempatkan as-Syam di pusat perhatian, menunjukkan peristiwa-peristiwa besar
yang akan berujung kemenangan kaum Muslimin, hingga Yerusalem sebagai ibukota
Khilafah masa depan.
Namun sebagaimana biasanya,
keberhasilan itu akan didahului oleh cobaan berat dan pengorbanan besar, yang
hari ini kita saksikan di Suriah.
Kita memohon pada Allah Yang Maha
Tinggi untuk mengembalikan as-Syam ke tempatnya di “pusat Islam” sebagaimana
dahulu, dan ini adalah perkara yang mudah bagi-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar