Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 30 Agustus 2018

Memenuhi Amanah Pembelian Secara Lebih Baik



Oleh: Annas I. Wibowo, SE

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Urwah al-Baziqi, yang mengatakan bahwa: Rasulullah pernah mengutusku dengan 1 dinar untuk membeli 1 ekor kambing. Kemudian aku membeli 2 ekor kambing; 1 ekor aku jual, dan 1 ekor lagi aku serahkan kepada Nabi , berikut uang 1 dinar. Baginda bersabda, “Semoga Allah memberkahi transaksimu.” (HR. Bukhari)

Apa yang dilakukan oleh sahabat ini adalah sesuatu yang berkebalikan dengan korupsi. Seseorang yang korupsi misalnya, diamanahi uang 1 dinar untuk membeli seekor kambing. Kemudian dia mendapatkan kambing seharga ½ dinar. Dia beli kambing itu, dia serahkan kepada yang memberi amanah beserta kuitansi yang telah di-mark-up, sementara uang ½ dinar sisanya diam-diam dia ambil sebagai miliknya sendiri.
Atau contoh korupsi yang lain, di pasar dia mendapat tawaran 1 dinar untuk dua kambing. Dia beli, lalu yang seekor kambing dia serahkan kepada yang memberi amanah, yang seekor lagi diam-diam dia ambil sebagai miliknya pribadi.

Jika seseorang mendapat amanah uang 1 dinar untuk membeli 1 ekor kambing, kemudian ketika di pasar dia mendapat seekor kambing dengan harga ½ dinar, dia beli dan dia serahkan kepada yang memberi amanah, beserta ½ dinar sisanya, maka ini boleh.

Jika seseorang mendapat amanah uang 1 dinar untuk membeli 1 ekor kambing, kemudian dalam proses memenuhi amanah itu di pasar dia mendapat tawaran 2 ekor kambing dengan harga 1 dinar, dia beli 2 ekor kambing itu lalu dia jual salah satunya, maka ini boleh. Dia serahkan 1 ekor kambing kepada yang memberi amanah, beserta uang hasil penjualan yang seekor lagi.

Dalam kasus ini, orang yang diamanahi itu tidak langsung hanya membeli 1 ekor kambing begitu saja. Namun dalam proses memenuhi amanah itu dia juga melakukan bisnis dengan uang 1 dinar yang diamanahkan, tanpa sepengetahuan yang memberi amanah [ketika dia berbisnis]. Bisnis yang dia lakukan telah dia perhitungkan keuntungannya, yaitu bahwa amanah itu pasti bisa dia tunaikan, bahkan dengan tambahan keuntungan. Jika tidak, tentu dia tidak akan lakukan bisnis dengan uang 1 dinar itu. Dia memandang, bahwa dia bisa memenuhi amanah itu dengan lebih baik jika dia juga bisa memberi kelebihan -berupa keuntungan- dengan mengelola uang 1 dinar itu.

Demikian juga, bila dia di pasar dapat menawar kambing yang ditawarkan seharga 1 dinar menjadi kurang dari 1 dinar, lalu dia beli dan dia serahkan 1 ekor kambing itu beserta uang kembaliannya kepada yang memberi amanah. 

Juga misalnya, dia telah membeli 1 ekor kambing seharga 1 dinar di pasar, lalu ada penjual yang menawarkan kambing seharga 1 dinar tetapi lebih gemuk. Maka dia jual kambing sebelumnya seharga 1 dinar kemudian dia beli kambing yang lebih gemuk itu dengan harga yang sama.

Praktik ini tentu sangat berbeda dengan seseorang yang mengambil harta saudaranya, misalnya hape, secara diam-diam (yaitu mencuri), kemudian dia jual dan uang hasil penjualannya itu dia belikan laptop bekas. Lalu dia serahkan laptop itu kepada saudaranya. Seandainya saudaranya itu kemudian ridha dengan apa yang dilakukan, tentunya perbuatan mengambil dan menjual hape itu tetap terkategori mencuri. Seseorang tidak dibolehkan mengambil harta yang bukan miliknya lalu menjualnya dengan anggapan, “Kalau nanti yang punya harta itu setuju, ya berarti tidak masalah. Kalau ternyata tidak setuju, ya saya terpaksa akan membeli kembali barang itu.” Padahal belum tentu dia bisa membeli kembali barang milik saudaranya yang telah dia jual ke orang lain.

Jika tidak bisa mengembalikan hape itu, tentu urusannya akan berakhir di pengadilan.

Demikian juga jika seseorang mengambil uang saudaranya secara diam-diam, kemudian dia belikan hape dan dia serahkan kepada saudaranya hape itu. Apakah kemudian saudaranya itu ridha atau tidak, perbuatannya mengambil uang diam-diam itu tetap termasuk mencuri atau tidak dibolehkan.

Perbuatan dalam hadits di atas, juga berbeda dengan praktik jual-beli yang belum mengikat atau belum final. Misalnya, orang yang diamanahi itu mengatakan kepada penjual kambing, “Tolong kambing ini jangan dijual ke orang lain dulu, saya mau tanyakan kepada yang punya uang, kalau dia mau berarti kambing ini jadi saya beli.”
Contoh yang lain, yang melibatkan uang muka / DP, orang yang diamanahi itu mengatakan kepada penjual kambing, “Tolong kambing ini jangan dijual ke orang lain dulu, saya beri DP sekian, saya mau tanyakan kepada yang memberi amanah, kalau dia mau berarti kambing ini jadi saya beli, saya lunasi kekurangannya. Kalau dia tidak mau, berarti DP hangus / uang DP itu untukmu, saya tidak jadi beli kambing itu.”

Jadi, hadits di atas adalah mengenai pemenuhan amanah berupa uang 1 dinar untuk membeli 1 ekor kambing, dengan pemenuhan secara lebih baik, dan tidak bertentangan dengan nash-nash yang lain. Misalnya saja, seseorang yang diberi amanah seperti itu, di rumah dia memiliki uangnya sendiri yang dia simpan, setelah diberi uang amanah 1 dinar, dia gunakan dulu uang itu untuk jajan makanan dan belanja lain-lain, baru setelahnya dia ambil uangnya di rumah untuk beli kambing, maka tidak masalah. Amanah itu tetap bisa dia tunaikan.

Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.

1 komentar:

  1. Dari ’Urwah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi ﷺ pernah memberikan kepadanya uang 1 dinar untuk membelikan seekor kambing untuk Nabi ﷺ. Kemudian Urwah membeli dua ekor kambing dengan uang itu, lalu Urwah menjual salah satu dari dua ekor kambing itu seharga 1 dinar. Urwah kemudian datang kepada Nabi ﷺ dengan membawa 1 ekor kambing dan uang 1 dinar, Nabi ﷺ pun mendoakan keberkahan bagi Urwah. (HR Bukhari, no.3642. Lihat: https://konsultasi.wordpress.com/2013/11/12/batas-maksimal-laba-perdagangan-adakah/ , Tabloid Media Umat Edisi 115 https://dokumen.tips/documents/media-umat-edisi-115.html )

    BalasHapus

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam