Oleh:
Annas I. Wibowo, SE
Imam
al-Bukhari meriwayatkan dari Urwah al-Baziqi, yang mengatakan bahwa: Rasulullah
ﷺ pernah mengutusku dengan 1
dinar untuk membeli 1 ekor kambing. Kemudian aku membeli 2 ekor kambing; 1 ekor
aku jual, dan 1 ekor lagi aku serahkan kepada Nabi ﷺ,
berikut uang 1 dinar. Baginda ﷺ bersabda,
“Semoga Allah memberkahi transaksimu.”
(HR. Bukhari)
Apa
yang dilakukan oleh sahabat ini adalah sesuatu yang berkebalikan dengan
korupsi. Seseorang yang korupsi misalnya, diamanahi uang 1 dinar untuk membeli seekor
kambing. Kemudian dia mendapatkan kambing seharga ½ dinar. Dia beli kambing
itu, dia serahkan kepada yang memberi amanah beserta kuitansi yang telah di-mark-up, sementara uang ½ dinar sisanya
diam-diam dia ambil sebagai miliknya sendiri.
Atau
contoh korupsi yang lain, di pasar dia mendapat tawaran 1 dinar untuk dua
kambing. Dia beli, lalu yang seekor kambing dia serahkan kepada yang memberi
amanah, yang seekor lagi diam-diam dia ambil sebagai miliknya pribadi.
Jika
seseorang mendapat amanah uang 1 dinar untuk membeli 1 ekor kambing, kemudian
ketika di pasar dia mendapat seekor kambing dengan harga ½ dinar, dia beli dan
dia serahkan kepada yang memberi amanah, beserta ½ dinar sisanya, maka ini
boleh.
Jika
seseorang mendapat amanah uang 1 dinar untuk membeli 1 ekor kambing, kemudian dalam
proses memenuhi amanah itu di pasar dia mendapat tawaran 2 ekor kambing dengan
harga 1 dinar, dia beli 2 ekor kambing itu lalu dia jual salah satunya, maka
ini boleh. Dia serahkan 1 ekor kambing kepada yang memberi amanah, beserta uang
hasil penjualan yang seekor lagi.
Dalam
kasus ini, orang yang diamanahi itu tidak langsung hanya membeli 1 ekor kambing
begitu saja. Namun dalam proses memenuhi amanah itu dia juga melakukan bisnis
dengan uang 1 dinar yang diamanahkan, tanpa sepengetahuan yang memberi amanah [ketika
dia berbisnis]. Bisnis yang dia lakukan telah dia perhitungkan keuntungannya,
yaitu bahwa amanah itu pasti bisa dia tunaikan, bahkan dengan tambahan
keuntungan. Jika tidak, tentu dia tidak akan lakukan bisnis dengan uang 1 dinar
itu. Dia memandang, bahwa dia bisa memenuhi amanah itu dengan lebih baik jika
dia juga bisa memberi kelebihan -berupa keuntungan- dengan mengelola uang 1
dinar itu.
Demikian
juga, bila dia di pasar dapat menawar kambing yang ditawarkan seharga 1 dinar
menjadi kurang dari 1 dinar, lalu dia beli dan dia serahkan 1 ekor kambing itu
beserta uang kembaliannya kepada yang memberi amanah.
Juga misalnya, dia telah membeli 1 ekor kambing seharga 1 dinar di pasar, lalu ada penjual yang menawarkan kambing seharga 1 dinar tetapi lebih gemuk. Maka dia jual kambing sebelumnya seharga 1 dinar kemudian dia beli kambing yang lebih gemuk itu dengan harga yang sama.
Juga misalnya, dia telah membeli 1 ekor kambing seharga 1 dinar di pasar, lalu ada penjual yang menawarkan kambing seharga 1 dinar tetapi lebih gemuk. Maka dia jual kambing sebelumnya seharga 1 dinar kemudian dia beli kambing yang lebih gemuk itu dengan harga yang sama.
Praktik
ini tentu sangat berbeda dengan seseorang yang mengambil harta saudaranya,
misalnya hape, secara diam-diam (yaitu mencuri), kemudian dia jual dan uang
hasil penjualannya itu dia belikan laptop bekas. Lalu dia serahkan laptop itu
kepada saudaranya. Seandainya saudaranya itu kemudian ridha dengan apa yang
dilakukan, tentunya perbuatan mengambil dan menjual hape itu tetap terkategori
mencuri. Seseorang tidak dibolehkan mengambil harta yang bukan miliknya lalu
menjualnya dengan anggapan, “Kalau nanti yang punya harta itu setuju, ya
berarti tidak masalah. Kalau ternyata tidak setuju, ya saya terpaksa akan
membeli kembali barang itu.” Padahal belum tentu dia bisa membeli kembali
barang milik saudaranya yang telah dia jual ke orang lain.
Jika
tidak bisa mengembalikan hape itu, tentu urusannya akan berakhir di pengadilan.
Demikian
juga jika seseorang mengambil uang saudaranya secara diam-diam, kemudian dia
belikan hape dan dia serahkan kepada saudaranya hape itu. Apakah kemudian
saudaranya itu ridha atau tidak, perbuatannya mengambil uang diam-diam itu
tetap termasuk mencuri atau tidak dibolehkan.
Perbuatan
dalam hadits di atas, juga berbeda dengan praktik jual-beli yang belum mengikat
atau belum final. Misalnya, orang yang diamanahi itu mengatakan kepada penjual
kambing, “Tolong kambing ini jangan dijual ke orang lain dulu, saya mau
tanyakan kepada yang punya uang, kalau dia mau berarti kambing ini jadi saya
beli.”
Contoh
yang lain, yang melibatkan uang muka / DP, orang yang diamanahi itu mengatakan
kepada penjual kambing, “Tolong kambing ini jangan dijual ke orang lain dulu,
saya beri DP sekian, saya mau tanyakan kepada yang memberi amanah, kalau dia
mau berarti kambing ini jadi saya beli, saya lunasi kekurangannya. Kalau dia
tidak mau, berarti DP hangus / uang DP itu untukmu, saya tidak jadi beli
kambing itu.”
Jadi,
hadits di atas adalah mengenai pemenuhan amanah berupa uang 1 dinar untuk membeli
1 ekor kambing, dengan pemenuhan secara lebih baik, dan tidak bertentangan
dengan nash-nash yang lain. Misalnya saja, seseorang yang diberi amanah seperti
itu, di rumah dia memiliki uangnya sendiri yang dia simpan, setelah diberi uang
amanah 1 dinar, dia gunakan dulu uang itu untuk jajan makanan dan belanja
lain-lain, baru setelahnya dia ambil uangnya di rumah untuk beli kambing, maka
tidak masalah. Amanah itu tetap bisa dia tunaikan.
Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.
Dari ’Urwah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi ﷺ pernah memberikan kepadanya uang 1 dinar untuk membelikan seekor kambing untuk Nabi ﷺ. Kemudian Urwah membeli dua ekor kambing dengan uang itu, lalu Urwah menjual salah satu dari dua ekor kambing itu seharga 1 dinar. Urwah kemudian datang kepada Nabi ﷺ dengan membawa 1 ekor kambing dan uang 1 dinar, Nabi ﷺ pun mendoakan keberkahan bagi Urwah. (HR Bukhari, no.3642. Lihat: https://konsultasi.wordpress.com/2013/11/12/batas-maksimal-laba-perdagangan-adakah/ , Tabloid Media Umat Edisi 115 https://dokumen.tips/documents/media-umat-edisi-115.html )
BalasHapus