Dari
Hasan bin Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib berkata:
كَتَبَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى مَجُوسِ هَجَرَ
يَدْعُوهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَمَنْ أَسْلَمَ قُبِلَ مِنْهُ، وَمَنْ لاَ
ضُرِبَتْ عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ فِي أَنْ لاَ تُؤْكَلَ لَهُ ذَبِيحَةٌ وَلاَ
تُنْكَحَ لَهُ امْرَأَةٌ
“Rasulullah
Saw. pernah mengirim surat kepada Majusi Hajar. Beliau mengajak mereka masuk
Islam. Siapa saja yang memeluk Islam, diterima. Jika tidak, dipungut atas dia
jizyah. Sembelihannya tidak boleh dimakan dan wanita-wanitanya tidak boleh
dinikahi.” (Abu ‘Ubaid, Al-Amwal)
Jizyah hanya dipungut setahun sekali
dari dzimmiy laki-laki yang
dewasa dan berakal serta mampu. Jizyah tidak
dipungut dari wanita, anak-anak, orang tua, dan orang yang tidak mampu. (lihat:
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah, II/237)
Rasulullah
Saw. sejak stabilitas di Madinah, yakni stabilitas dalam negeri telah terjaga
dan terkendali, maka setelah itu beliau terus-menerus melakukan jihad, mengirim
para utusan kepada para penguasa negara lain, dan mengadakan berbagai
perjanjian. Semua ini beliau lakukan dalam rangka menyampaikan Islam dan
mengemban dakwah Islam kepada manusia. Sebagaimana hal itu diceritakan dalam
hadits riwayat Muslim dari Anas bin Malik ra.:
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ كَتَبَ إلَى كِسْرَى وَإِلَى قَيْصَرَ وَإلَى
النَّجَاشِي وَإلَى كُلِّ جَبَّارٍ يَدْعُوهُمْ إلَى اللهِ تَعَالَى
“Nabi
Muhammad Saw. menulis surat kepada Kisra (penguasa Persia), Kaisar (penguasa
Romawi), Najasyi (penguasa Habasyah, yaitu bukan Najasyi yang dishalati
Rasulullah), dan kepada setiap pemimpin besar, untuk menyeru mereka semua
kepada Allah SWT.”
|
|
Rasulullah
Saw. pernah mengangkat Abdullah bin Arqam untuk mengurusi masalah jizyah para ahlu
dzimmah, dan kala dia hendak beranjak pergi, Nabi Saw. memanggilnya
kembali dan menyatakan,
« أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ
أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ
نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
“Siapapun yang menindas seseorang yang
terikat perjanjian (kafir mu’ahid), atau membebaninya melebihi kemampuannya dan
menyakitinya, atau mengambil apapun yang menjadi haknya tanpa keikhlasan
darinya, maka aku akan menuntut orang (penindas) tersebut pada Hari
Perhitungan.” (HR. Abu Dawud (3052) dan al-Baihaqi (18511). Albani
berkomentar: Hadits ini sahih. Lihat, as-Silsilah as-Shahihah, hal. 445)
Sahal
bin Abi Hatmah menuturkan, bahwa ada beberapa orang dari kaum Anshar bertolak
ke Khaibar. Mereka berpencar, tiba-tiba mereka mendapati salah seorang di
antara mereka terbunuh. Mereka mengatakan kepada orang-orang yang
ditemui: "Kalian telah membunuh teman kami." Mereka
menjawab: "Kami tidak membunuh, dan kami tidak tahu, siapa
pembunuhnya?" Mereka pun
bertolak kepada Nabi, seraya berkata: "Ya Rasulullah, kami berangkat
ke Khaibar, lalu kami menemukan salah seorang di antara kami terbunuh." Nabi bersabda kepada
mereka: "Yang paling tua, majulah! Yang paling tua, majulah!" Nabi bertanya lagi kepada mereka:
"Kalian bisa mendatangkan bukti, siapa yang membunuhnya?" Mereka menjawab: "Kami tidak
mempunyai bukti." Nabi
bersabda: "Kalau begitu, mereka harus bersumpah." Orang-orang Anshar itu
berkata: "Kami tidak bisa menerima sumpah orang-orang Yahudi." Rasul pun enggan menyia-nyiakan
darahnya, maka Baginda SAW membayar diyat orang
tersebut dengan 100 unta sedekah. (HR. Bukhari dan Muslim. Lihat, al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (6502); Muslim, Shahih Muslim (1669)
Saat
itu, Khaibar telah menjadi bagian Negara Islam, dan penduduknya didominasi oleh
orang-orang Yahudi. Ketika orang-orang Yahudi bersumpah tidak terlibat dalam
pembunuhan, Rasulullah SAW pun tidak menjatuhkan vonis kepada mereka. Bahkan,
Nabi SAW telah membayarkan sendiri diyat-nya
dari harta kaum Muslim (Baitul Mal Negara) agar bisa meredam kemarahan kaum
Anshar, dan tidak menzalimi orang-orang Yahudi. Dalam kondisi seperti ini,
Negara Islamlah yang justru mengambil alih tanggung jawab tersebut, sehingga
tidak ada satu sanksi (jinayah) yang
diterapkan kepada orang Yahudi tersebut selama di dalamnya masih terdapat syubhat.
Harta
kafir dzimmi benar-benar dijamin oleh Islam. Islam mengharamkan harta mereka
diambil atau dikuasai dengan cara yang batil, baik dicuri, dirampas, dirampok
atau bentuk-bentuk kezaliman yang lain. Secara nyata, kebijakan tersebut tampak
pada zaman Nabi SAW kepada penduduk Najran:
"Penduduk
Najran dan keluarga mereka berhak mendapatkan perlindungan Allah, dan jaminan
Muhammad utusan Allah, baik harta, agama maupun jual-beli mereka, serta apa
saja yang ada dalam kekuasaan [kepemilikan] mereka, baik kecil maupun
besar." (HR. al-Baihaqi.
Lihat, al-Baihaqi, Dalailu an-Nubuwwah,
Juz V/485; Abu Yusuf, al-Kharaj,
hal. 72; Ibn Sa'ad, at-Thabaqat
al-Kubra, Juz I/288)
Rasul
Saw. mengangkat para wali (pejabat
propinsi) dan amil (pejabat daerah).
Para wali dan ‘amil Rasul Saw. itu di antaranya
diuraikan oleh Ibn Hazm dalam Jawâmi’
as-Sirah pada topik Umarâ’uhu SAW.
(hlm. 23-24) dan oleh Muhammad bin Habib al-Baghdadi dalam Al-Mukhbir pada topik Umarâ’ Rasulillah Saw. (hlm. 125-128).
Di
antara wali dan ‘amil Rasul Saw. itu: ‘Uttab bin Usayd,
Wali Makkah; Badzan bin Sasan, Wali Yaman dan Shana’a; Utsman bin Abil al-’Ash,
Wali Thaif; ‘Ala’ bin al-Hadhrami, Wali Bahrain, ‘Amr bin al-Ash, Wali Oman;
Abu Sufyan bin Harb, Wali Najran; ‘Amr bin Sa’id bin al-Ash, Wali Wadi al-Qura;
Yazid bin Abiy Sufyan, Wali Tayma’; Tsumamah bin ‘Atsal, Wali Yamamah; Farwah
bin Musayk, Wali Murad; Zabid dan Madhij, Abi Rabi’ah al-Makhzumi, Wali Yaman;
Syahr al-Hamdani ‘Amil sebagian
daerah Yaman; Abu Musa al-‘Asy’ari, ‘Amil Zabid
dan ‘And, Yaman; Al-Harits bin ‘Abd al-Muthallib, ‘Amil sebagian Makkah; Abi Syaibah ‘Amil Thaif; ‘Amr bin Hazm
al-Anshari, ‘Amil Najran; Qays
bin Malik al-Arhabi, ‘Amil Bani
Hamdan; Ibn Mandah, ‘Amil Hajar;
Sawad bin al-Ghaziyah, ‘Amil Khaibar;
Ziyad bin Labib, ‘Amil Hadhramaut;
Muadz bin Jabal, ‘Amil Janad;
dan yang lainnya. (Al-Kattani, At-Taratib
al-Idâriyah, 1/240)
Ibn
Saad di dalam ath-Thabaqât al-Kubrâ (IV/360-361)
menuturkan riwayat dari Muhammad bin Umar, “Rasulullah
Saw. pernah menulis surat kepada al-‘Ala’ bin al-Hadhrami agar menghadap
bersama 20 orang dari Abdul Qays. Ia pun menghadap bersama 20 orang dari mereka
yang dipimpin oleh Abdullah bin ‘Auf al-Asyaj. ‘Ala’ menunjuk pelaksana atas
Bahrain al-Mundzir bin Sawa. Delegasi itu mengadukan ‘Ala’ bin al-Hadhrami.
Lalu Rasulullah Saw. memberhentikan dia dan mengangkat Aban bin Said bin
al-‘Ash. Beliau berkata kepada Aban bin Said, “Mintalah nasihat kebaikan kepada
Abdul Qays dan hormati para tokoh mereka.”
Hadits
dari Burdah, “Rasulullah Saw. mengutus Abu Musa
dan Muadz bin Jabal ke Yaman. Masing-masing diutus untuk memimpin sebuah
wilayah. Yaman dibagi menjadi dua wilayah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Beliau
juga menugaskan Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari untuk menjadi qâdhi di Yaman (Yaman Utara dan Selatan).
Rasul Saw. bertanya kepada Muadz ketika hendak mengutus dia menjadi qadhi di Yaman: “Dengan apa engkau akan menghukumi?” Muadz berkata, “Aku akan menghukumi dengan Kitab Allah.” Rasul
bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tidak
menemukan dalam Kitab Allah?” Muadz berkata: “Dengan Sunnah Rasulullah.” Rasul bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tidak menemukannya?”
Muadz berkata: “Aku akan berijtihad dengan
pendapatku, dan aku tidak akan melampaui batas.” Lalu, Rasulullah Saw.
bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufik kepada utusan Rasulullah atas perkara yang diridhai Allah dan
Rasul-Nya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar