Terdapat dalam kitab Al Mausu’ah Al
Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah (cetakan 1404 H / 1983 M):
(
أَجْمَعَتِ اْلأُمَّةُ عَلىَ وُجُوْبِ عَقْدِ اْلإِمَامَةِ وَعَلىَ أَنَّ
اْلأُمَّةَ يَجِبُ عَلَيْهَا اْلاِنْقِيَادُ لِإِمَامٍ عَادِلٍ يُقِيْمُ فِيْهِمْ
أَحْكَامَ اللهِ وَيَسُوْسُهُمْ بِأَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ الَّتِيْ أَتىَ بِهَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَخْرُجْ عَنْ هَذَا
اْلإِجْمَاعِ مَنْ يُعْتَدُّ بِخِلاَفِهِ ).
“Telah sepakat umat Islam mengenai wajibnya
akad Imamah (Khilafah) dan wajibnya umat mentaati Imam yang adil yang
menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka dan mengatur urusan mereka dengan
hukum-hukum Syariah yang dibawa Rasulullah SAW.
Dan tak ada yang keluar dari Ijma’ ini orang yang teranggap dengan
penyimpangannya dari Ijma’ tersebut.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz VI, hlm. 217)
Imam
‘Alauddin al-Kasani, seorang ulama besar dari mazhab Hanafi menyatakan:
وِلأَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ اْلأَعْظَمِ فَرْضٌ، بِلاَ خِلاَفٍ بَيْنَ
أَهْلِ الْحَقِّ، وَلاَ عِبْرَةَ -بِخِلاَفِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ-؛ ِلإِجْمَاعِ
الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ
إلَيْهِ؛ لِتَقَيُّدِ اْلأَحْكَامِ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ،
وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ
الْمَصَالِحِ الَّتِي لاَ تَقُومُ إلاَّ بِإِمَامٍ
“Sebab,
mengangkat Imam al-A’zham (Khalifah) adalah fardhu, tidak ada perbedaan
pendapat di antara ahlul-haq. Tidak
bernilai sama sekali—penyelisihan sebagian kelompok Qadariyah—karena adanya
Ijmak Sahabat ra. atas kewajiban itu; juga karena adanya kebutuhan terhadap
Khalifah; agar bisa terikat dengan hukum-hukum (Syariah), membela orang yang
dizalimi dari orang yang zalim, memutus perselisihan yang menjadi sebab
kerusakan dan berbagai kemaslahatan lain yang tidak mungkin bisa tegak tanpa
adanya seorang Imam (Khalifah)…” (Imam al-Kasani, Badâ’i ash-Shanâ’i fî Tartîb asy-Syarâ’i, XIV/406)
Imam
Umar bin Ali bin Adil dari mazhab Hambali:
هذه الآية
(البقرة 30) دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ،
وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة ، إلاّ ما روي عن
الأصَمّ وأتباعه أنها غير واجبةٍ في الدين
“Ayat
ini (al-Baqarah 30) merupakan dalil atas wajibnya mengangkat Imam dan Kholifah
yang didengarkan dan ditaati, guna persatuan suara kaum muslimin, dan
diterapkannya hukum-hukum Kholifah. Tidak ada perbedaan dalam wajibnya hal
tersebut di antara para ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Ashamm dan
para pengikutnya, bahwa ia (khilafah) tidak wajib dalam agama.” (Umar bin
Ali bin Adil, Tafsir al-Lubab fii ‘Ulumi
al-Kitab, juz 1 hlm. 204)
Di
dalam Kitab Râdd al-Muhtâr (IV/205)
dinyatakan:
أَيْ مِنْ أَهَمِّهَا لِتَوَقُّفِ كَثِيرٍ مِنْ الْوَاجِبَاتِ
الشَّرْعِيَّةِ عَلَيْه
“(mengangkat
seorang Imam/ Khalifah) itu termasuk kewajiban yang paling penting karena
banyak kewajiban Syariah bergantung kepadanya.” (Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtâr, IV/205)
Di
dalam Kitab At-Tâj wa al-Iklîl li
Mukhtashar Khalîl disebutkan:
قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ أَبُو الْمَعَالِي: لاَ يُسْتَدْرَكُ
بِمُوجِبَاتِ الْعُقُولِ نَصْبُ إمَامٍ وَلَكِنْ يَثْبُتُ بِإِجْمَاعِ
الْمُسْلِمِينَ وَأَدِلَّةِ السَّمْعِ وُجُوبُ نَصْبِ إمَامٍ فِي كُلِّ عَصْرٍ
يَرْجِعُ إلَيْهِ فِي الْمُلِمَّاتِ وَتُفَوَّضُ إلَيْهِ الْمَصَالِحُ الْعَامَّةُ
“Imam
al-Haramain Abu al-Ma’ali (al-Juwaini) berkata, “Mengangkat seorang Imam
(Khalifah) tidaklah bisa ditetapkan berdasarkan logika akal, tetapi ditetapkan
berdasarkan ijmak kaum Muslim dan dalil-dalil sam’iyyah.
Kewajiban mengangkat seorang Imam (Khalifah) di setiap masa untuk mengembalikan
berbagai kesukaran kepada Imam dan menyerahkan kemaslahatan umum kepada
dia.” (Imam al-Mawaq, At-Tâj wa
al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl, V/131)
Al-Jurjani,
pen-syarah Al-Mawâqif, menyatakan:
“Mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah termasuk apa yang akan
menyempurnakan berbagai kemaslahatan kaum Muslim dan bagian dari tujuan agama
yang paling agung.”
Syaikh
Abu Zahrah menyatakan: “Sungguh, jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib
ada seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan shalat Jumat, mengatur para jamaah,
melaksanakan hudûd, mengumpulkan
harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan,
menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang
diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat, menerapkan hukum-hukum
Syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan
berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang utama.” (Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, 88)
At-Tafthazani
berkata: “Umat Islam harus memiliki seorang
Imam, yang akan mengurusi segala urusan mereka, memelihara mereka dari apa yang
diharamkan, memimpin mereka dalam peperangan, mempersenjatai mereka, menerima
pengaduan mereka, menghukum mereka yang berlaku tidak adil, mencuri, dan
merugikan orang lain, memimpin shalat Jum’at dan hari raya, menyelesaikan
sengketa di antara makhluk, menerima bukti-bukti berdasarkan hukum, menikahkan
para pemuda dan perempuan yang tidak memiliki wali, membagi harta, dan hal-hal
lain semacam ini yang tidak dapat diselesaikan oleh orang-orang yang telah
dipercaya menyelesaikannya.” (Syarah
‘Aqidah an-Nasafiyyah, hal.147)
Di
dalam Kitab Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh
asy-Syamâ’il dinyatakan:
كَذَا ذَكَرَهُ الطَّبَرِيُّ صَاحِبُ الرِّيَاضِ النَّضِرَةِ أَنَّ
الصَّحَابَةَ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ انْقِرَاضِ زَمَنِ
النُّبُوَّةِ مِنْ وَاجِبَاتِ اْلأَحْكَامِ بَلْ جَعَلُوهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ
حَيْثُ اشْتَغَلُوا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُولِ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِينِ لاَ يَقْدَحُ فِي اْلإِجْمَاعِ
الْمَذْكُورِ وَكَذَا مُخَالَفَةُ الْخَوَارِجِ وَنَحْوِهِمْ فِي الْوُجُوبِ
مِمَّا لاَ يُعْتَدُّ بِهِ
“Demikianlah,
sebagaimana dituturkan oleh Imam ath Thabari, pengarang Kitab Ar-Riyâdh an-Nadhrah, yang menyatakan para
Sahabat telah bersepakat bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) setelah
berakhirnya zaman kenabian termasuk di antara kewajiban-kewajiban hukum. Bahkan
mereka menjadikan itu sebagai kewajiban yang paling penting saat mereka lebih
menyibukkan diri dalam urusan itu dibandingkan menguburkan jenazah Rasulullah
Saw. Perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menentukan siapa yang paling
berhak menduduki jabatan itu tidaklah menciderai kesepakatan (ijmak) tersebut.
Demikian pula penentangan kelompok Khawarij dan kelompok-kelompok yang sehaluan
dengan mereka mengenai kewajiban (mengangkat seorang imam/khalifah), termasuk
perkara yang tidak perlu diperhitungkan.” (Abu al-Hasan Nur ad-Din al-Mula
al-Harawi al-Qari, Jam’u al-Wasâ’il fî
Syarh asy-Syamâ’il, II/219)
Imam
Al-hafidz Abul Fida’ Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al
Baqarah ayat 30 beliau berkata:
…وقد استدل
القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه،
ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش،
إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم
الواجب إلا به فهو واجب.
“…dan
sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya
mengangkat Khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara
manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong atas yang didzalimi dari yang
mendzalimi, menegakkan hadud, dan
mengenyahkan kerusakan dsb. yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak
memungkinkan untuk menegakkan hal tersebut kecuali dengan Imam, dan apabila
suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu tersebut maka sesuatu
tersebut menjadi wajib pula.” (Tafsirul
Qur’anil Adzim, juz 1 hal. 221)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar