Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha
Penyayang,” mereka menjawab: "Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah
kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud
kepada-Nya)?”; dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman).”
(TQS. al-Furqan [25]: 60)
Bersujud
kepada Allah SWT merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan. Bagi
orang-orang Mukmin, perintah itu disambut dengan penuh ketaatan. Akan tetapi
sikap sebaliknya diperlihatkan oleh orang-orang kafir. Mereka menolak perintah
tersebut. Tak hanya itu, perintah tersebut justru makin menjauhkan mereka dari
keimanan dan agama-Nya. Inilah di antara yang diberitakan dalam ayat ini.
Diperintahkan
Bersujud
Allah SWT
berfirman: Wa idzaa qiila lahun [i]sjuduu li
al-Rahmaan (dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu
sekalian kepada Yang Maha Penyayang"). Dhamiir
al-ghaaib hum (kata ganti pihak ketiga jamak), yakni mereka dalam ayat
ini menunjuk kepada orang-orang musyrik. Dikatakan oleh al-Thabari dalam
tafsirnya, "Apabila dikatakan kepada orang-orang yang menyembah selain
Allah SWT, (mereka menyembah) sesuatu yang tidak memberikan manfaat dan tidak
mendatangkan madharat." Demikian pulu Ibnu Katsir. Menurutnya, mereka
adalah orang-orang musyrik yang bersujud kepada selain Allah berupa
patung-patung dan sesembahan lainnya.
Sedangkan
pengertian sujud, sebagaimana diterangkan al-Asfahani, pada asalnya bermakna al-tathaamun wa al-tadzallul (sikap tunduk dan
merendahkan diri), dan menjadikannya sebagai ungkapan terhadap ketundukan
kepada Allah SWT dan beribadah kepada-Nya. Ini bersifat umum, baik bagi
manusia, hewan, maupun benda mati. Oleh karena itu, sujud mencakup dua macam,
yakni:
Pertama, sujuud
bi [i]khtiyaar sujud yang dilakukan secara sukarela. Ini hanya dilakukan
oleh manusia, dan dengannya manusia berhak mendapatkan pahala. Ini sebagaimana
dalam firman Allah SWT: “Maka bersujudlah
kepada Allah dan sembahlah (Dia)” (TQS. al-Najm [53]: 62).
Kedua, sujud taskhiir,
sujud yang bersifat memaksa. Ini berlaku pada manusia, hewan, dan tumbuhan,
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Hanya
kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di
waktu pagi dan petang hari” (TQS. al-Ra'd [13]: 15). Juga Firman Allah
SWT: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah
diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam
keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri?” (TQS. al-Nahl [16]:
48).
Sementara
sujud dalam pengertian syariah dikhususkan untuk menunjuk salah satu rukun
tertentu dalam shalat. Termasuk dalam cakupan ini adalah sujud tilawah dan
sujud syukur. Kadang-kadang, kata sujud juga digunakan untuk menyebut shalat
itu sendiri, seperti dalam firman Allah SWT: Wa
adbaar (TQS. Qaf [50]: 40). Artinya, sesudah shalat.
Diterangkan
al-Samarqandi dalam tafsirnya, perintah: [u]sjuduu
li al-Rahmaan bermakna [u]khdu'uu lahu
wawahhiduuhu (tunduklah kepada-Nya dan esakanlah Dia). Fakhruddin
al-Razi menafsirkannya, ”Tunduk dan rendahkanlah diri kalian.”
Ditegaskan
bahwa sujud tersebut ditujukan kepada al-Rahmaan.
Ibnu Jarir menafsirkannya, "Jadikanlah sujud kalian ikhlas karena Allah,
bukan kepada sesembahan lain dan berhala-berhala." Sedangkan yang dimaksud
dengan al-Rahmaan adalah Allah SWT.
Sebab, hanya Dia yang memiliki asma dan sifat tersebut. Selain ayat ini, juga
disebutkan dalam banyak ayat lainnya, seperti firman Allah SWT: “Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah
al-Rahmaan. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asmaa
al-husna (nama-nama yang terbaik)” (TQS. al-Isra' [17]: 110).
Ingkar Kepada
al-Rahman
Ketika
orang-orang musyrik itu diperintakan untuk bersujud hanya kepada Allah SWT,
mereka pun menjawab sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: Qaaluu wamaa al-Rahmaan (mereka menjawab:
"Siapakah yang al-Rahmaan itu?).
Kata maa dalam ayat ini adalah ism al-istifhaam (kata tanya). Meskipun
bentuknya kalimat tanya, namun -sebagaimana dikemukakan al-Qurthubi- mengandung
makna al-inkaari wa al-ta'ajjub
(pengingkaran dan keheranan). Menurut mufassir tersebut, makna ayat ini adalah,
”Kami tidak mengetahui al-Rahman kecuali Rahman al-Yamamah." Yang mereka
maksudkan adalah Musailamah al-Kadzdzab.
Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir juga memaknai ayat ini dengan ungkapan:
”Kami tidak mengetahui al-Rahman." Dan mereka mengingkari Allah SWT dengan
nama-Nya al-Rahman, sebagaimana mereka mengingkari pada Perjanjian Hudaibiyah
ketika Nabi ﷺ berkata kepada penulis perjanjian, ”Tulislah Bismil-Laah al-Rahmaan al-Rahiim!” Lalu mereka berkata, ”Kami tidak mengetahui al-Rahmaan al-Rahiim. Namun tulislah sebagimana kamu telah menuliskannya bismika Allahumma.”
Tentang
pengingkaran orang-orang Musyrik terhadap al-Rahman juga ditegaskan dalam
firman Allah SWT: “Padahal mereka kafir kepada
al-Rahman” (TQS. al-Ra'd [13]: 30).
Menolak
Bersujud
Kemudian
Allah SWT berfirman: Anasjudu limaa ta‘murunaa
(apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami [bersujud
kepada-Nya?"). Ayat ini masih melanjutkan perkataan kaum Musyrik ketika
mereka diperintahkan untuk bersujud. Huruf al-hamzah pada awal kalimat
merupakan harf istifhaam (kata tanya).
Meskipun berbentuk kalimat tanya, akan tetapi memberikan makna pengingkaran.
Dikatakan al-Syaukani, al-istifhaam
(kalimat tanya) li al-inkaar (untuk
pengingkaran). Artinya, ”Kami tidak mau bersujud kepada al-Rahman yang kamu
perintahkan kepada kami untuk bersujud kepada-Nya.”
Ayat ini
diakhiri dengan firman-Nya: Wazaadahum
nufuur[an] (dan [perintah sujud itu] menambah mereka jauh [dari iman]).
Bahwa perintah kepada orang-orang Musyrik agar bersujud kepada Allah SWT itu
justru membuat mereka nufuur (berlari menjauh).
Menurut
Ibnu Jarir al-Thabari, perkataan kepada mereka untuk bersujud kepada al-Rahman
justru menambah mereka menjauh dari keimanan. Sedangkan al-Qurthubi dan
al-Syaukani memaknainya, "Menjauhkan mereka dari agama.”
Tak hanya
perintah bersujud. Terhadap peringatan yang ada di dalam al-Qur’an, mereka pun
bersikap sama, yakni menjauh dari kebenaran. Allah SWT berfirman: “Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah
menambah mereka lari (dari kebenaran)” (TQS. al-Isra' [17]: 41).
Demikian juga terhadap pemberi peringatan (lihat: QS. al-Isra' [17]: 42).
Sikap
tersebut tentu berkebalikan dengan sikap orang Mukmin. Ibnu Katsir berkata,
"Adapun orang-orang Mukmin, maka sesungguhnya mereka beribadah kepada
Allah SWT, Dialah al-Rahman al-Rahim. Mereka juga mengeesakan-Nya dalam
penyembahan dan hanya bersujud kepada-Nya.”
Di antara
sikap dan perilaku 'ibaad al-Rahmaan
(hamba Allah yang Maha Penyayang) dalam ayat berikutnya adalah menghidupkan
malamnya dengan rukuk dan sujud. Allah SWT berfirman: “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk
Tuhan mereka” (TQS. al-Furqan [25]: 64). Demikian pula ketika mendengar
ayat-ayat Al-Quran dibacakan, mereka pun bersujud (lihat: QS. Maryam [19]: 58).
Demikianlah. Orang-orang Musyrik yang menyekutukan Allah SWT itu ketika
diperintahkan untuk bersujud kepada Allah SWT yang Maha Rahman, mereka
menolaknya. Mereka pun mempertanyakan: "Siapa al-Rahman itu?” Apalagi
perintah bersujud itu berasal dari Nabi ﷺ. Maka, perintah bersujud itu makin menjauhkan mereka
dari agama dan keimanan. Tentu sikap ini berbeda dengan orang beriman. Ketika
mereka diperintahkan untuk bersujud dan beribadah lainnya, mereka menyambutnya
dengan penuh ketaatan. Inilah sikap yang seharusnya dilakukan oleh manusia yang
merupakan makhluk Allah SWT. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1.
Orang-orang musyrik ketika diperintahkan untuk bersujud kepada Allah SWT,
mereka menolak.
2. Perintah
bersujud kepada mereka justru semakin menjauhkan mereka dari agama dan
keimanan.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar