Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Ingatlah,
kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah.
Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia
hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan
kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling
niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan
seperti kamu ini.” (TQS. Muhammad [47]: 38)
Di antara
tabiat manusia adalah mencintai harta. Meskipun demikian, itu tidak boleh
menjadi alasan untuk bersikap bakhil atau kikir. Terlebih untuk sesuatu yang
diperintahkan. Meskipun secara nominal terlihat berkurang, namun bersikap
bakhil dengan tidak menginfakkan sebagian harta mereka di jalan Allah SWT,
justru merugikan dirinya. Mengapa demikian?
Diminta
Berinfak
Allah SWT
berfirman: Haa antum haaulaai tad'uuna
litunfiquuna fii sabiilil-Laah (ingatlah, kamu ini orang-orang yang
diajak untuk menafkahkan [hartamu] pada jalan Allah). Dalam ayat sebelumnya
diterangkan tentang hakikat kehidupan dunia yang sesungguhnya. Bahwa kehidupan
dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Lalu disebutkan, jika manusia mau
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, Dia akan memberikan pahala kepada
mereka.
Kemudian
dinyatakan bahwa Allah SWT tidak meminta harta manusia. Jika Dia memerintahkan
manusia untuk menginfakkan semua hartanya, apalagi dengan mendesak-desaknya,
niscaya mereka akan kikir dan menampakkan kedengkian mereka. Kemudian
dilanjutkan dengan ayat ini yang mengingatkan mereka tentang perintah berinfak.
Khithaab atau seruan ayat ini ditujukan kepada
orang-orang Mukmin, sebagaimana dikatakan Imam al-Qurthubi, "Ingatlah
kalian, wahai orang-orang Mukmin."
Mereka pun
diseru dengan menyebut sifat mereka yang akan disebutkan pada frasa sesudahnya,
yakni orang-orang yang telah diajak untuk menginfakkan harta mereka.
Diterangkan al-Zamakhsyari, kata haaulaai
merupakan mawshuul (kata penghubung),
yang artinya al-ladziina (orang-orang
yang). Sedangkan yang menjadi shilah-nya
adalah frasa sesudahnya: Tud‘awna (yang
diajak). Artinya, ”Kamu yang diajak” atau "Kalian, wahai orang-orang yang
diajak."
Dengan
demikian, sebagaimana dituturkan Wahbah al-Zuhaili, frasa tersebut bermakna,
"Wahai orang-orang Mukmin yang telah diseru dengan seruan untuk berinfak
di jalan Allah SWT, yakni dalam jihad, zakat, dan jalan kebaikan.”
Kemudian
Allah SWT berfirman: Tad'uuna litunquu fii
sabiilil-Laah (kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan
[hartamu] pada jalan Allah). Ini menyebutkan sifat orang-orang yang diseru pada
awal ayat ini. Bahwa mereka yang diseru itu telah diajak untuk menginfakkan
sebagian harta di jalanAllah SWT.
Pengertian
infak fii sabililLaah di sini, menurut
al-Imam al-Qurthubi, adalah infak untuk jihad dan thariiq
al-khayr (jalan kebaikan). Hal yang juga dikemukakan oleh mufassir
lainnya, seperti al-Syaukani, dan lain-lain.
Akibat Bakhil
Kemudian
Allah SWT berfirman: Faminkum man yabkhalu
(maka di antara kamu ada yang kikir). Ketika diperintahkan untuk menginfakkan
sebagian harta mereka, ada di antara mereka yang bersikap bakhil. Pengertian
kata al-bukhl adalah dhann bimaa 'indahu wa amsaka 'an al-‘athaa‘ (kikir
terhadap apa yang dimiliki dan menahan diri untuk memberi). Demikian menurut
Ahmad Mukhtar Umar dalam Mu'jam al-Lughah
al-Muaashirah.
Kata min pada kata minkum
memberikan makna ba'dhiyyah (sebagian).
Mafhumnya, ada sebagian lainnya tidak bersikap demikian. Mereka tidak bakhil,
bahkan ada yang menyambut perintah itu dengan semangat.
Lalu
disebutkan: Waman yabkhal (dan siapa
yang kikir). Artinya, barangsiapa yang kikir untuk mengeluarkan harta di jalan
Allah SWT. Demikian menurut Ibnu Jarir al-Thabari.
Terhadap
mereka, Allah SWT berfirman: Fainnamaa yabkhal
'an nafsihi (sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri).
Dikatakan Abdurrahman al-Sa'di, hal itu disebabkan karena dia telah mencegah
dirinya mendapatkan pahala Allah SWT, kehilangan banyak kebaikan, dan Allah SWT
tidak akan menimpakan kemudaratan karena infak yang diberikan.
Patut
diingat, pahala yang diberikan Allah SWT kepada orang yang menginfakkan
sebagian harta mereka, akan dilipatgandakan berkali-kali lipat (lihat: QS.
al-Baqarah 1 [2]: 245, al-Hadid [57]: 18). Bahkan, bisa dilipatgandakan hingga
tujuh ratus kali lipat (lihat: QS. al-Baqarah [2]: 261).
Allah SWT
berfirman: WalLaah al-Ghaniyy (dan
Allah-lah yang Maha Kaya). Imam al-Qurthubi berkata, "Artinya,
sesungguhnya Dia tidak membutuhkan harta kalian.” Tak hanya harta, namun juga
semuanya. Dikatakan al-Khazin, ”Artinya, Dia tidak memerlukan sedekah dan
ketaatan kalian. Sebab, Dia Maha Kaya lagi sempurna, yang menjadi pemilik
kerajaan langit dan bumi.”
Lalu
ditegaskan: Wa Antum al-fuqaraa'
(sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak [kepada-Nya]). Berkebalikan
dengan Allah SWT, manusia justru fuqaraa‘.
Artinya, menurut Abdurrahman al-Sa'di, kalian membutuhkan kepada-Nya di semua
waktunya dan di seluruh urusannya. Al-Khazin juga berkata, "Kalian
membutuhkan-Nya dan yang ada di sisi-Nya berupa kebaikan dan pahala di dunia
dan akhirat."
Menjelaskan
penggalan ayat itu, Ibnu Jarir berkata, ”Dia berfirman: Wahai manusia, Allah
SWT sama sekali tidak memerlukan harta dan nafkah kalian. Sebab Dia Maha Kaya
(Cukup) dari makhluk-Nya, sementara semua makhluk-Nya sangat memerlukan-Nya.
Kalian termasuk makhluk-Nya, maka kalian sangat memerlukan-Nya. Sesungguhnya
Allah SWT mendorong kalian mengeluarkan harta di jalan-Nya hanya agar Dia
memberikan kepada kamu pahala yang besar."
Diganti
Allah SWT
berfirman: Wa in tawallaw (dan jika kamu
berpaling). Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, penggalan ayat ini 'athf (mengikuti) frasa sebelumnya, yakni: Wa in tu’minuu wa tattaquu (jika kamu beriman
dan bertakwa). Sehingga artinya, Dan jika kamu berpaling dari iman dan takwa.
Tak jauh berbeda, Abdurrahman al-Sa'di berkata, ”Jika berpaling dari keimanan
kepada Allah SWT dan mengerjakan apa yang diperintahkan." Ibnu Katsir juga
berkata, ”Berpaling dari ketaatan kepada Allah SWT dan mengikuti syaraih-Nya.”
Kemudian
dilanjutkan dengan firman-Nya: Yastabdil
qawm[an] ghayrakum (niscaya Dia akan mengganti [kamu] dengan kaum yang
lain). Ketika mereka berpaling, maka Allah SWT akan menciptakan kaum lain yang
menginginkan keimanan dan ketakwaan, dan tidak berpaling dari dua sikap
tersebut, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan
mengganti(mu) dengan makhluk yang baru” (TQS. Ibrahim [14]: 19).
Demikian dikatakan Abu Hayyan al-Andalusi.
Diterangkan
juga oleh al-Alusi, kaum yang menggantikan mereka itu adalah yang menaati Allah
SWT dan Rasul-Nya, dan mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya. Ini sebagaimana
diberitakan dalam QS. al-Maidah [5] :54.
Lalu
ditutup dengan firman-Nya: Walaa yakuunuu
amtsaalakum (dan mereka tidak akan seperti kamu ini). Artinya, tidak
kikir sebagaimana kalian. "Akan tetapi, mereka mendengar dan taat
kepada-Nya dan terhadap perintah-perintah-Nya." Demikian kata Ibnu Katsir.
WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Orang
Mukmin telah diperintahkan menginfakkan sebagian harta mereka di jalan Allah
SWT.
2.
Barangsiapa yang kikir, sesungguhnya dia telah merugikan dirinya sendiri.
3. Allah
akan mengganti kaum yang tidak taat dengan kaum yang lebih baik.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 189
Tidak ada komentar:
Posting Komentar