Penetapan
tolok ukur khair (baik) dan syar (buruk), hasan
(terpuji) dan qabih (tercela),
halal dan haram ada di tangan Allah semata. Apa yang dituntut oleh syara’
kepada kita untuk mengerjakannya adalah maslahat bagi kita. Dan apa yang
diperintahkan syara untuk meninggalkannya maka itu adalah mafsadat. Tidak ada
hak dan campur tangan manusia di dalam perkara ini selamanya. Seandainya
manusia berhak, maka pasti Allah akan memberikan hak itu sejak mula pertama,
dan syari’at tidak mungkin turut campur menetapkan hukum-hukum yang rinci.
Implikasinya tentu saja seorang muslim hanya dituntut untuk beriman kepada
Allah Maha Pencipta saja, tetapi tidak dituntut untuk beriman kepada Allah
sebagai Pengatur bagi segala urusan manusia dan Pengatur bagi hidupnya.
Firman
Allah Swt.:
“Dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk.” (TQS. al-A’raaf [7]: 157)
Artinya, thayyib (baik) adalah apa yang dihalalkan oleh
Allah. Dan kita tidak mengetahui bahwa sesuatu itu adalah thayyib sampai Allah menghalalkannya. Khabits (buruk) adalah apa yang diharamkan
oleh Allah. Dan kita tidak mengetahui bahwa sesuatu dikatakan khabits kecuali setelah Allah mengharamkannya.
Ayat ini tidak bisa diartikan bahwa akal kita mampu menentukan sesuatu itu thayyib kemudian menghalalkannya, atau
menetapkan sesuatu itu khabits kemudian
mengharamkannya.
Ulama-ulama
lurus berjalan sesuai dengan pokok-pokok Islam, terikat dengan syariat yang
diwajibkan oleh tabi’at Islam itu sendiri, terikat dengan syari’at Allah dalam
setiap perkara dan tidak membolehkan manusia turut campur dalam perkara tasyri’
(pembuatan hukum).
Seorang
pengemban dakwah menurut syara’ dituntut bersikap terus terang dan berani, kuat
dalam pemikiran, menantang apapun yang bertentangan dengan Islam serta berjuang
untuk menjelaskan kepalsuannya. Syara’ menuntut agar kedaulatan mutlak berada
di tangan mabda’ (ideologi) Islam, tanpa
memperhatikan lagi apakah sesuai dengan mayoritas manusia atau bertentangan
dengan mereka, sejalan dengan adat istiadat mereka atau tidak, apakah manusia
menerima atau menolak, atau mungkin melawannya.
Pengemban
dakwah tidak berbasa-basi dengan manusia dan tidak bermanis muka dengan para
penguasa. Demikianlah keadaan Rasulullah Saw. di dalam dakwahnya. Beliau
beriman dengan kebenaran yang beliau serukan, menantang dunia seluruhnya, tidak
memandang pada kebiasaan, adat istiadat, akidah, agama kufur, penguasa atau
rakyat, dan tidak berpaling sedikitpun kecuali kepada dakwah dan risalah Islam.
Ibnu
Hisyam telah menyebutkan tindakan Rasulullah Saw. tatkala menjumpai orang-orang
Quraisy dengan menyebut tuhan-tuhan mereka dan mencelanya, kemudian menganggap
bodoh akal-akal mereka dan menganggap bapak-bapak (nenek moyang) mereka telah
sesat. Akibatnya mereka membalas beliau dan sepakat untuk menentang dan
memusuhinya. Demikian kiranya dakwah kaum Muslim saat ini. Hendaknya dilakukan
oleh orang-orang yang meneladani sikap Rasulullah Saw. dan mengikuti firman
Allah Swt.:
“Katakanlah:
‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada
Allah dengan hujjah yang nyata’.” (TQS. Yusuf [12]: 108)
Begitu juga dengan
memperhatikan sabda Nabi Saw.:
“Telah
aku tinggalkan kepada kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh kepada
(kedua)nya, maka tidak akan tersesat selamanya. Perkara yang jelas, yaitu kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Sirah Ibnu Hisyam)
Juga dengan mencontoh salafush shaleh dan perkataan mereka:
Tidak
akan baik akhir perkara ini, kecuali dengan apa yang membuat awalnya baik.
Merupakan
hak Allah atas ulama yang mewarisi (perjuangan) Nabi Muhammad Saw. agar
menunaikan hak Allah dan selalu berada di barisan paling depan para yang
menjelaskan kebenaran, menegakkannya, menentang kebathilan, menyingkap segala
rencana jahat mereka. Dengan kata lain dia wajib menjadi imam dari ilmu, mihrab dan hirab.
Inilah yang dilakukan oleh generasi salafush
shâleh.
Maka
hendaklah para penganjur metode berpikir bathil dan pemikiran-pemikiran yang
jauh dari pemahaman Islam ini sadar, bahwa metode berpikir dan
pemikiran-pemikiran yang mereka lontarkan itu tidak berasal dari Islam. Mereka
harus menjadi para pembela ideologi Islam.
Seandainya
akal diberi kewenangan untuk menetapkan sendiri alasan-alasan pembuatan
syariat, maka sesungguhnya akal akan mengharamkan banyak hal yang telah
dibolehkan Allah Swt. dan menghalalkan banyak hal yang telah diharamkan Allah
Swt. Oleh karena itu, qiyâs (analogi)
tidak boleh dilakukan kecuali sesuai dengan metode yang telah ditetapkan oleh
syariat. Dengan kata lain, qiyâs syar‘î
tidak akan terjadi kecuali dengan nash yang di dalamnya memang mengandung ‘illat (kondisi yang mendasari berlakunya
suatu hukum syariah). Qiyâs tidak boleh
dilakukan dengan nash yang tidak mengandung ‘illat
syar‘iyyah; qiyâs tidak boleh didasarkan pada ‘illat
‘aqliyyah (‘illat yang diadakan
sendiri oleh akal); dan qiyâs pun tidak
boleh ditentukan dengan didasarkan pada ‘illat
syar‘iyyah yang tidak disebutkan atau tidak ditentukan nash yang
bersangkutan.
Oleh
karena itu pula, para fuqaha membatasi ‘illat
hanya pada ‘illat yang digali dari
nash-nash syariat. Mereka menyatakan bahwa suatu ‘illat
kadang-kadang dipahami dari suatu nash secara jelas (sharâhah), melalui penunjukkan (dilâlah), lewat penggalian (istinbâth), atau dengan analogi (qiyâs). (Dalam hal ini, bisa dirujuk berbagai
kitab ushul fiqih).
Harus diketahui bahwa qiyâs hanya merupakan kewenangan bagi orang
yang telah sangat memahami nash-nash yang ada, hukum-hukum syariat, dan
berbagai fakta yang terjadi. Tidak setiap orang berhak dan bisa melakukan qiyâs sesuka hatinya sendiri. Jika tidak
demikian, qiyâs hanya akan merupakan
salah satu sarana untuk menghancurkan Islam dan menjauhkan hakikat hukum Allah
Swt.
Dalam
konteks ini, Imam Syafi‘i pernah berkata: ‘Seseorang tidak boleh melakukan qiyâs sampai ia memahami Sunnah Nabi, pendapat
para ulama salaf, dan bahasa Arab;
memiliki kecerdasan sehingga ia bisa membedakan hal-hal yang syubhat; tidak
tergesa-gesa menyimpulkan pendapat; tidak mengabaikan pendapat orang yang
mengkritiknya, sebab kritik akan membuatnya waspada dari keteledoran, dan
waspada dari kesalahan yang diyakininya sebagai kebenaran’. Praktek qiyas memerlukan pemahaman yang amat cermat
dan teliti. Jadi, tidak sah qiyas untuk
menggali hukum kecuali dilakukan oleh seorang mujtahid. ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar