Memajukan Umat Islam Sedunia dengan Khilafah – Prediksi CIA tentang Khilafah
Bagian 4 Kembalinya Khilafah
21 CIA 20:20 Pandangan Kabur bagi Khilafah Masa Depan
"Mereka bicara tentang ingin mendirikan-kembali apa yang bisa kamu sebut sebagai Khilafah Abad Ke-7. Ini adalah dunia sebagaimana diatur 1200, 1300 tahun, berefek, ketika Islam mengendalikan segalanya dari Portugal dan Spanyol di Barat; semuanya hingga Mediterania ke Afrika Utara; keseluruhan Afrika Utara; Timur Tengah; hingga Balkan; berbagai republik Asia Tengah; pucuk Rusia Selatan; segepok India; dan sekitarnya hingga Indonesia hari modern. Singkatnya bisa dibilang dari Bali dan Jakarta di satu ujung, ke Madrid di ujung yang lain.” – Mantan Wakil Presiden AS Cheney
Pada Desember 2004, The National Intelligence Council – Dewan Intelijen Nasional CIA memprediksi bahwa di tahun 2020 sebuah Khilafah baru akan muncul di kancah dunia. Temuan itu dipublikasikan dalam laporan 123-halaman berjudul “Mapping The Global Future – Memetakan Masa Depan Global”. Tujuan laporan itu adalah untuk mempersiapkan pemerintahan Bush selanjutnya untuk tantangan-tantangan yang ada di depan dengan memproyeksikan tren-tren yang mungkin menjadi ancaman bagi kepentingan AS. Laporan itu disajikan kepada presiden AS, para anggota Kongres, para anggota kabinet dan para pejabat kunci yang terlibat dalam pembuatan keputusan.
Apa yang menyolok tentang laporan itu adalah bahwa itu penuh referensi tentang Islam politik dan beragam tantangan yang dimilikinya bagi kepentingan-kepentingan AS di masa depan dekat. Bahkan juga terdapat skenario fiksional menggambarkan munculnya negara Khilafah di 2020 dan dampaknya pada situasi internasional.
Namun, laporan itu diprediksi atas asumsi-asumsi yang merusak validitas laporan itu di berbagai bagiannya, khususnya bagian tentang Khilafah. Di bawah ini adalah kritik beberapa argumen yang dirumuskan dalam skenario fiksional itu: -
Laporan itu menyatakan bahwa kekuatan Khilafah baru akan diperoleh dari usaha-usaha gerakan Islam global yang mengambil kekuasaan. Sementara itu mungkin benar bahwa gerakan Islam global akan memicu ketidakpatuhan sipil atau menginisiasi suatu kudeta untuk menciptakan Khilafah, kekuatan dan keberlangsungannya adalah dependen atas sesuatu yang sepenuhnya berbeda.
Keyakinan intelektual terhadap satu set nilai-nilai bersama di antara warga negara itu adalah ukuran kekuatan negara itu dan bukannya gerakan itu, yang mendirikan negara. Uni Soviet runtuh bukan karena kekurangan teknologi, tapi karena rakyatnya meninggalkan komunisme dan partai komunis tidak berdaya untuk meyakinkan sebaliknya.
Penilaian akurat berbagai keyakinan massa Muslim terhadap berlanjutnya jalan hidup Islam melalui pendirian-kembali Khilafah adalah faktor tunggal yang paling penting dalam menentukan apakah Khilafah akan sukses atau gagal di abad ke-21. Ini lebih penting dari teknologi dan sumberdaya, yang keduanya bisa dengan cepat diperoleh selama Khilafah mampu mempertahankan dirinya sendiri dan mendasari kemajuannya secara eksklusif dengan ideologi Islam.
Kapanpun gerakan-gerakan Islam diambil sebagai tolok ukur satu-satunya untuk mengestimasi tingkat kebangkitan Islam di negeri-negeri Muslim, gambaran kabur akan selalu muncul. CIA tidaklah sendirian dalam mempergunakan standar keliru ini. Praktek itu menyebar luas dan telah mengkontaminasi analisis berbagai pemikir terpandang dan tulisan-tulisan beberapa komentator papan atas seperti Francis Fukuyama dan Samuel P. Huntington.
Arus ini bukanlah hasil dari kebencian mereka terhadap Islam, tapi adalah karena patuhnya mereka pada filosofi individualisme, yang telah menodai pemahaman mereka terhadap masyarakat dan mereduksinya menjadi sekelompok individu.
Pemahaman yang tepat terhadap masyarakat mengungkap bahwa ia terdiri dari para individu, yang diikat bersama-sama oleh pemikiran dan emosi / perasaan bersama, dan hidup di bawah sistem tertentu. Derajat dukungan di antara rakyat terhadap sistem pemerintahan yang ada atau terhadap sistem pemerintahan alternatif hanya bisa dipastikan melalui evaluasi berbagai pemikiran dan perasaan umum itu.
Ikatan individualisme telah menggiring Barat kepada penilaian rendah penetrasi pemikiran dan sentimen Islam di negeri-negeri Muslim, dan juga kepada kesalahan kalkulasi dukungan luas bagi pendirian-kembali Khilafah.
Poin lain argumentasi di dalam laporan itu adalah klaim bahwa munculnya Khilafah tidak akan menyebabkan rezim-rezim di negeri-negeri Muslim runtuh berurutan – efek domino.
Lagi-lagi pemahaman ini diturunkan dari pemahaman yang salah terhadap masyarakat. Studi sepintas terhadap dunia Muslim menunjukkan bahwa terdapat polarisasi besar dalam berbagai sudut pandang di antara rezim-rezim dan rakyat yang mereka atur. Sebelum runtuhnya rezim Baath, Saddam seorang atheist memberikan pidato yang dipoles dengan istilah-istilah Islami. Dia melakukan ini, karena dia sadar bahwa rakyat tidak lagi termotivasi oleh Baathisme, sekularisme atau Arabisme dan hanya merespon Islam. Demikian juga, ketika Musharraf bersanding dengan perang Amerika melawan Afghanistan dia harus mengutip alinea-alinea panjang dari kehidupan Rasulullah Saw. untuk menjustifikasi pendiriannya.
Konflik antara mempertahankan kekuasaan sekular dan mencegah Islam politik dari berkuasa adalah kejadian harian di kebanyakan dunia Muslim. Rezim-rezim di dunia Muslim dipandang sebagai budak berbagai kepentingan Barat dan antagonistik terhadap Islam. Kaum Muslimin jelas membenci para rezim itu dan bergairah untuk menghapus eksistensi mereka. Alasan satu-satunya rezim-rezim itu tetap hidup adalah karena dukungan penuh dari para pemerintah Barat.
Hari ini, Umat Islam berdiri di atas tepi perubahan monumental, sebagaimana negara-negara pakta Warsawa sekitar 18 tahun yang lalu. Tirai besinya turun karena rakyat telah mengubah pandangan mereka dari komunisme ke kapitalisme. Demikian pula Umat Muslim telah meninggalkan komunisme dan kapitalisme, dan sedang menunggu munculnya Khilafah, yang akan menyebabkan rezim-rezim itu runtuh dengan cara spektakuler, hanya untuk ditarik oleh Khilafah.
Akhirnya laporan itu mengklaim bahwa Umat Islam akan merasakan godaan materialisme Barat terlalu berat untuk ditahan, menyebabkan mereka lari dari pantai-pantai Khilafah baru. Pandangan ini jelas didirikan atas persepsi umum Barat bahwa Khilafah adalah antitesis dari modernisasi. Faktor lain yang meningkatkan persepsi ini di antara orang Barat adalah arus Kaum Muslim dari dunia Islam ke Barat sekarang ini.
Tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran. Pertama, Khilafah yang diinginkan Kaum Muslimin untuk didirikan adalah Khilafah berdasar petunjuk yang lurus, yang tadinya ada pada puncak peradaban manusia. Suatu fakta historis yang sangat dikenali oleh beberapa ahli terkemuka mengenai Islam – utamanya Bernard Lewis.
Kedua, migrasi massal Umat Islam ke Barat adalah konsekuensi dari kebijakan luar negeri Barat di dunia Muslim dan bukan karena kecintaan Muslim pada nilai-nilai Barat. Kebanyakan imigran, jika tidak semuanya merupakan imigran ekonomi atau para pencari perlindungan politik yang kabur dari tirani rezim-rezim yang sering didukung oleh para pemerintah Barat.
Bahkan Muslim itu, yang telah tinggal di Barat, belum memeluk nilai-nilai sekular karena takut merusak Islam mereka.
Usaha Eropa akhir-akhir ini untuk menghukum populasi Muslim mereka untuk mengadopsi nilai-nilai Barat mengungkapkan banyak tentang obsesi Eropa dengan mensekularkan umat Muslim dan bertolak belakang dengan citra stereotipan yang diproyeksikan oleh media Barat bahwa negeri-negeri Muslim ingin diwesternisasi.
Pensifatan umat Islam itu didasarkan pada pemahaman rusak perasaan anti-Barat yang menjangkiti dunia Muslim. Seringkali di lingkar barat, sentimen-sentimen anti-barat disamakan dengan penolakan total peradaban barat dan dikelompokkan dalam tenda fundamentalis.
Untuk memperparah masalah, keinginan di antara Kaum Muslim untuk memiliki produk-produk Barat diinterpretasi sebagai bernafsu menginginkan jalan hidup Barat. Orang-orang Barat seringkali mengklasifikasi mereka yang menunjukkan kekaguman terhadap barang-barang barat ke kelompok moderat.
Membagi-bagi umat Muslim ke dalam kedua kelompok itu berdasarkan interpretasi semacam itu adalah salah. Ini karena retorika anti-Barat yang ditemukan di antara kaum Muslimin adalah sebuah penghinaan atas budaya Barat dan bukan atas barang-barang barat. Demikian juga, ekspresi kekaguman terhadap produk-produk Barat adalah pengakuan tentang kualitas barang-barang yang lebih unggul dan bukannya persetujuan untuk budaya Barat.
Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, dunia Muslim telah melalui transformasi radikal dalam menentukan aspek-aspek cara hidup Barat mana yang bisa diterima dan mana yang harus ditolak Islam. Kaum Muslimin hari ini menerima barang-barang Barat seperti DVD, Satelit, dan TV hanya karena benda-benda itu tidak berkontradiksi dengan pandangan Islami mereka. Di sisi lain berbagai konsep Barat seperti kebebasan, demokrasi dan individualisme dibuang karena dianggap berkontradiksi dengan Islam.
Sebelumnya, dunia Muslim disobek antara dua faksi yaitu para modernis yang ingin mengadopsi segalanya dari Barat dan para tradisionalis yang berniat menolak semua aspek peradaban Barat. Mentalitas ini menghambat kemajuan dan membuat Barat bisa membangun hagemoninya atas tanah-tanah Muslim.
Hari ini, bukanlah Kaum Muslimin yang menahan diri mereka sendiri dari kemajuan manusia dan mencapai tuntutan abad ke-21, tapi adalah Barat yang memilih untuk menekan perkembangan itu dan bersikeras menimpakan nilai-nilainya atas massa Muslim berkolusi dengan para rezim dunia Muslim.
Sikap ini tidak hanya berkontribusi pada kesalahpahaman Barat terhadap Islam, tapi telah mendorong Barat untuk mendefinisikan hubungan tak seimbang dengan dunia Muslim. Selain itu, pola pikir itu telah mendorong Barat untuk melecehkan segala yang terkait Islam. Penjajahan Barat atas Irak dan Afghanistan telah menggarisbawahi penyiksaan rakyat Muslim, penggarongan tanah mereka dan pencercaan Islam.
Jika sikap ini tidak dibalik maka Barat akan menyadari dirinya berada dalam posisi sulit di dua garis. Pertama, Khilafah akan menjadi negara kuat, maju menggambar nasib baru bagi rakyat Muslim setelah membebaskan mereka dari hagemoni politik, militer dan ekonomi Barat. Barat yang terlemahkan dengan hilangnya kendali secara tiba-tiba ini akan berjuang untuk menjaga dominasinya atas urusan-urusan dunia. Yang kedua, Khilafah akan dengan sigap memberdaya-gunakan sinergi antara Islam dan sains, sehingga mengungguli Barat dalam hal penciptaan, teknologi dan penemuan saintifik baru. Dengan sikap negatif Barat terhadap semua hal Islami semacam itu, ia akan berada dalam kondisi menutup pintu-pintu pengetahuan dan mengungkung rakyatnya dari kemajuan dan berbagai tantangan abad ke-21.
Januari 23, 2005
[ Memajukan Umat Islam Sedunia dengan Khilafah – Prediksi CIA tentang Khilafah ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar