Yang
menjadi sumber datangnya demokrasi adalah manusia. Dan hakim di dalam sistem
demokrasi, yaitu tempat dikembalikannya seluruh penetapan hukum tentang
perbuatan maupun hukum tentang segala sesuatu, termasuk standarisasi baik dan
buruknya adalah hawa nafsu dan kebutuhan yang bersifat situasional. Demokrasi
adalah rekaan para filosof Eropa.
Islam
sendiri sangat kontradiktif dengan apa yang disebutkan di atas. Islam berasal
dari Allah Swt., yang mewahyukannya kepada Nabi-Nya Muhammad, hamba-Nya dan
Rasul-Nya Saw. sedangkan hakim di dalam Islam, yaitu tempat dikembalikannya
pembuatan hukum, adalah syara’ bukan akal. Fungsi akal terbatas hanya di dalam
memahami nash-nash (teks-teks) syara’.
Akidah
yang melahirkan demokrasi adalah akidah pemisahan agama dari kehidupan
(sekularisme), yaitu akidah yang berlandaskan pada jalan tengah (kompromi).
Akidah ini mengakui keberadaan agama akan tetapi menghapus peranannya di dalam
kehidupan dan di dalam negara. Selanjutnya menetapkan bahwa manusialah yang
berhak membuat peraturan hidupnya. Berdasarkan akidah inilah dibangun peradaban
demokrasi dan ditetapkan arah pemikiran demokrasi.
Islam
sangat bertentangan dengan hal itu. Islam berlandaskan kepada akidah Islam,
yang mewajibkan berjalannya seluruh urusan kehidupan dan negara berdasarkan
perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Dengan kata lain, harus
sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang terpancar dari akidah Islam. Di atas
akidah inilah dibangun peradaban Islam.
Adapun
asas tempat berdirinya demokrasi adalah kedaulatan yang berada di tangan
rakyat. Dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Berdasarkan atas kedaulatan rakyat
itu sistem demokrasi melahirkan tiga bentuk kekuasaan: Kekuasaan Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif, yang menterjemahkan secara praktis bentuk kedaulatan
dan kekuasaan rakyat.
Sedangkan
di dalam Islam, kedaulatan itu berada di tangan syara’. Umat tidak memiliki hak
untuk membuat undang-undang. Meskipun demikian, Islam menyerahkan penerapan
perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya kepada kaum Muslim. Dan semua
itu ditampakkan dengan berdirinya Daulah Khilafah, yang diatur oleh nash-nash
syara’.
Demokrasi
datang dengan sistem dan pemikiran yang berdiri berdasarkan asas kemaslahatan
(manfaat) dan hawa nafsu. Sementara, perundang-undangan Islam tegak berdasarkan
pada teks-teks (nash) dan istinbath
hukum-hukum syara’ yang berasal dari teks-teks tersebut. Islam berdiri di atas
keterikatan terhadap syara’ dan senantiasa mengikuti petunjuk.
Pendapat
yang menyebutkan bahwa kemajuan di bidang ilmu dan teknologi yang terdapat di
dunia Barat merupakan buah dari demokrasi adalah perkataan yang dilontarkan
oleh orang yang tidak mengetahui fakta dan realitas. Alasannya, karena berbagai
bentuk penemuan itu lahir berdasarkan proses penelitian ilmiah yang merupakan
perkara-perkara yang bisa dicapai oleh akal manusia manapun yang telah
diberikan Allah. Jadi, hal itu tidak berkaitan dengan pandangan hidup
(ideologi).
Fenomena
tentang ilmu dan teknologi bisa kita saksikan ada di kalangan orang-orang
kapitalis, sosialis, ataupun muslim. Sebab, Allah telah memberikan kepada
manusia kemampuan akal seperti itu. Artinya, agama atau mabda’ (ideologi) tidak
berimplikasi apapun terhadap kemajuan yang diraih sains dan teknologi. Meskipun
demikian kita perlu membahas, apakah agama atau mabda membolehkan ilmu
pengetahuan, dan membolehkan penggunaan akal? Atau malah memberangusnya seperti
yang dilakukan gereja pada masa lalu?
Mabda
(ideologi) Islam tidak hanya membolehkan penggunaan akal di dalam sainstek,
bahkan Islam mewajibkannya dalam rangka mempersiapkan kekuatan yang wajib
dimiliki untuk menegakkan kedaulatan mabda’ Islam.
Barat
telah menawarkan kepada kita komoditasnya yang rusak, seperti demokrasi,
padahal syara’ telah melarang kita untuk mengambilnya. Sementara, pada saat
yang sama Barat menghalang-halangi kita untuk memperoleh komoditas yang lain,
yaitu sains dan penemuan-penemuannya, karena hal itu akan memberikan bagi kita
jalan untuk memiliki sebab-sebab kekuatan yang kita butuhkan. Untuk perkara ini
syara’ tidak melarang kita untuk mengambilnya. Itu menunjukkan bahwa Barat
menyadari apa yang dilakukannya.
Orang-orang yang
menyerukan demokrasi terdiri dari beberapa golongan. Di antara mereka ada yang
busuk dan penipu, tetapi ada juga orang yang ikhlas hanya tidak mengetahui
hakikat demokrasi. Tidak ada jalan lain bagi kelompok yang ikhlas itu kecuali
harus menjauhkan dirinya dari lontaran perkataan seperti ini. Jika tidak, maka
keadaannya sama saja dengan orang yang menyembah Allah dalam kondisi jahil,
yang bisa menyebabkannya jatuh dalam ma’siyat. Tabi’at orang yang ikhlas adalah
mudahnya untuk kembali dari kesalahan dan cepat mengambil pelajaran.
Ada juga yang pernah
mengatakan bahwa sosialisme berasal dari Islam dan Rasulullah Saw. adalah imam
sosialis mereka. Tatkala kebusukan sosialis tersingkap, maka dengan apa mereka
memberikan jawaban?. Demikian juga halnya dengan demokrasi, yang sekarang ini
sedang menghadapi sakaratul maut dan
menunggu detik-detik kematiannya. Sesungguhnya propaganda seperti ini tidak
berpihak pada kepentingan Islam melainkan demi kebaikan demokrasi. Mereka
menempatkannya sebagai pemikiran yang agung ketimbang menjelaskan kepalsuannya.
Mereka mengembannya, bukan malah membela ideologi Islam.
Pelaksanaan perintah
Allah merupakan proses menjadikan kalimat Allah yang tertinggi, dan ideologi
yang tampil ke puncak hanyalah ideologi yang diridhoi Allah semata. Hal itu
tidak akan bisa dicapai kecuali dengan adanya partai ideologi Islam yang
mendapatkan petunjuk dalam memahami perintah-perintah tersebut dan memiliki
perspektif ketika didirikannya, cemerlang pemikirannya, pemahamannya terhadap
hukum-hukum Islam sangat mendalam, menyuarakan ide-ide yang bersifat pokok dan
istilah-istilah yang orisinil dari Islam, tidak mau tunduk kepada realitas
(yang rusak) dan tidak diwarnai oleh situasi maupun kondisi. ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar