Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 23 April 2020

Peringatan Bagi Orang Bakhil - TAFSIR QS Muhammad: 38



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” (TQS. Muhammad [47]: 38)

Di antara tabiat manusia adalah mencintai harta. Meskipun demikian, itu tidak boleh menjadi alasan untuk bersikap bakhil atau kikir. Terlebih untuk sesuatu yang diperintahkan. Meskipun secara nominal terlihat berkurang, namun bersikap bakhil dengan tidak menginfakkan sebagian harta mereka di jalan Allah SWT, justru merugikan dirinya. Mengapa demikian?

Diminta Berinfak

Allah SWT berfirman: Haa antum haaulaai tad'uuna litunfiquuna fii sabiilil-Laah (ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan [hartamu] pada jalan Allah). Dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang hakikat kehidupan dunia yang sesungguhnya. Bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Lalu disebutkan, jika manusia mau beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, Dia akan memberikan pahala kepada mereka.

Kemudian dinyatakan bahwa Allah SWT tidak meminta harta manusia. Jika Dia memerintahkan manusia untuk menginfakkan semua hartanya, apalagi dengan mendesak-desaknya, niscaya mereka akan kikir dan menampakkan kedengkian mereka. Kemudian dilanjutkan dengan ayat ini yang mengingatkan mereka tentang perintah berinfak.

Khithaab atau seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin, sebagaimana dikatakan Imam al-Qurthubi, "Ingatlah kalian, wahai orang-orang Mukmin."

Mereka pun diseru dengan menyebut sifat mereka yang akan disebutkan pada frasa sesudahnya, yakni orang-orang yang telah diajak untuk menginfakkan harta mereka. Diterangkan al-Zamakhsyari, kata haaulaai merupakan mawshuul (kata penghubung), yang artinya al-ladziina (orang-orang yang). Sedangkan yang menjadi shilah-nya adalah frasa sesudahnya: Tud‘awna (yang diajak). Artinya, ”Kamu yang diajak” atau "Kalian, wahai orang-orang yang diajak."

Dengan demikian, sebagaimana dituturkan Wahbah al-Zuhaili, frasa tersebut bermakna, "Wahai orang-orang Mukmin yang telah diseru dengan seruan untuk berinfak di jalan Allah SWT, yakni dalam jihad, zakat, dan jalan kebaikan.”

Kemudian Allah SWT berfirman: Tad'uuna litunquu fii sabiilil-Laah (kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan [hartamu] pada jalan Allah). Ini menyebutkan sifat orang-orang yang diseru pada awal ayat ini. Bahwa mereka yang diseru itu telah diajak untuk menginfakkan sebagian harta di jalanAllah SWT.

Pengertian infak fii sabililLaah di sini, menurut al-Imam al-Qurthubi, adalah infak untuk jihad dan thariiq al-khayr (jalan kebaikan). Hal yang juga dikemukakan oleh mufassir lainnya, seperti al-Syaukani, dan lain-lain.

Akibat Bakhil

Kemudian Allah SWT berfirman: Faminkum man yabkhalu (maka di antara kamu ada yang kikir). Ketika diperintahkan untuk menginfakkan sebagian harta mereka, ada di antara mereka yang bersikap bakhil. Pengertian kata al-bukhl adalah dhann bimaa 'indahu wa amsaka 'an al-‘athaa‘ (kikir terhadap apa yang dimiliki dan menahan diri untuk memberi). Demikian menurut Ahmad Mukhtar Umar dalam Mu'jam al-Lughah al-Muaashirah.

Kata min pada kata minkum memberikan makna ba'dhiyyah (sebagian). Mafhumnya, ada sebagian lainnya tidak bersikap demikian. Mereka tidak bakhil, bahkan ada yang menyambut perintah itu dengan semangat.

Lalu disebutkan: Waman yabkhal (dan siapa yang kikir). Artinya, barangsiapa yang kikir untuk mengeluarkan harta di jalan Allah SWT. Demikian menurut Ibnu Jarir al-Thabari.

Terhadap mereka, Allah SWT berfirman: Fainnamaa yabkhal 'an nafsihi (sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri). Dikatakan Abdurrahman al-Sa'di, hal itu disebabkan karena dia telah mencegah dirinya mendapatkan pahala Allah SWT, kehilangan banyak kebaikan, dan Allah SWT tidak akan menimpakan kemudaratan karena infak yang diberikan.

Patut diingat, pahala yang diberikan Allah SWT kepada orang yang menginfakkan sebagian harta mereka, akan dilipatgandakan berkali-kali lipat (lihat: QS. al-Baqarah 1 [2]: 245, al-Hadid [57]: 18). Bahkan, bisa dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali lipat (lihat: QS. al-Baqarah [2]: 261).

Allah SWT berfirman: WalLaah al-Ghaniyy (dan Allah-lah yang Maha Kaya). Imam al-Qurthubi berkata, "Artinya, sesungguhnya Dia tidak membutuhkan harta kalian.” Tak hanya harta, namun juga semuanya. Dikatakan al-Khazin, ”Artinya, Dia tidak memerlukan sedekah dan ketaatan kalian. Sebab, Dia Maha Kaya lagi sempurna, yang menjadi pemilik kerajaan langit dan bumi.”

Lalu ditegaskan: Wa Antum al-fuqaraa' (sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak [kepada-Nya]). Berkebalikan dengan Allah SWT, manusia justru fuqaraa‘. Artinya, menurut Abdurrahman al-Sa'di, kalian membutuhkan kepada-Nya di semua waktunya dan di seluruh urusannya. Al-Khazin juga berkata, "Kalian membutuhkan-Nya dan yang ada di sisi-Nya berupa kebaikan dan pahala di dunia dan akhirat."

Menjelaskan penggalan ayat itu, Ibnu Jarir berkata, ”Dia berfirman: Wahai manusia, Allah SWT sama sekali tidak memerlukan harta dan nafkah kalian. Sebab Dia Maha Kaya (Cukup) dari makhluk-Nya, sementara semua makhluk-Nya sangat memerlukan-Nya. Kalian termasuk makhluk-Nya, maka kalian sangat memerlukan-Nya. Sesungguhnya Allah SWT mendorong kalian mengeluarkan harta di jalan-Nya hanya agar Dia memberikan kepada kamu pahala yang besar."

Diganti

Allah SWT berfirman: Wa in tawallaw (dan jika kamu berpaling). Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, penggalan ayat ini 'athf (mengikuti) frasa sebelumnya, yakni: Wa in tu’minuu wa tattaquu (jika kamu beriman dan bertakwa). Sehingga artinya, Dan jika kamu berpaling dari iman dan takwa. Tak jauh berbeda, Abdurrahman al-Sa'di berkata, ”Jika berpaling dari keimanan kepada Allah SWT dan mengerjakan apa yang diperintahkan." Ibnu Katsir juga berkata, ”Berpaling dari ketaatan kepada Allah SWT dan mengikuti syaraih-Nya.”
Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: Yastabdil qawm[an] ghayrakum (niscaya Dia akan mengganti [kamu] dengan kaum yang lain). Ketika mereka berpaling, maka Allah SWT akan menciptakan kaum lain yang menginginkan keimanan dan ketakwaan, dan tidak berpaling dari dua sikap tersebut, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru” (TQS. Ibrahim [14]: 19). Demikian dikatakan Abu Hayyan al-Andalusi.

Diterangkan juga oleh al-Alusi, kaum yang menggantikan mereka itu adalah yang menaati Allah SWT dan Rasul-Nya, dan mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya. Ini sebagaimana diberitakan dalam QS. al-Maidah [5] :54.

Lalu ditutup dengan firman-Nya: Walaa yakuunuu amtsaalakum (dan mereka tidak akan seperti kamu ini). Artinya, tidak kikir sebagaimana kalian. "Akan tetapi, mereka mendengar dan taat kepada-Nya dan terhadap perintah-perintah-Nya." Demikian kata Ibnu Katsir. WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Orang Mukmin telah diperintahkan menginfakkan sebagian harta mereka di jalan Allah SWT.

2. Barangsiapa yang kikir, sesungguhnya dia telah merugikan dirinya sendiri.

3. Allah akan mengganti kaum yang tidak taat dengan kaum yang lebih baik.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam