2. Anggota Halaqoh ‘Ula (kader awal partai
Islam ideologis) ini biasanya berjumlah sedikit dan geraknya lamban pada
mulanya karena meskipun ia mengungkapkan perasaan masyarakat tempat hidupnya ,
akan tetapi slogan-slogan dan pemahaman yang disampaikannya, sering kali
berlawanan dengan apa yang biasa didengar masyarakat. Kelompok ini mempunyai
pemahaman-pemahaman baru yang berlawanan dengan pemahaman-pemahaman masyarakat
awam, sekalipun slogan-slogan dan makna-makna merupakan ungkapan dari perasaan
masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu Halaqoh ‘Ula (kader awal partai)
tersebut seakan-akan terasing dari masyarakat dan tidak akan bergabung ke
dalamnya kecuali orang-orang yang mempunyai perasaan (nurani) yang kuat (tajam)
sampai pada suatu batas tertentu di mana tercipta kecenderungan seseorang untuk
tertarikan pada magnet mabda’ (ideologi) (Islam) yang telah menyatu pada
Halaqoh ‘Ula (kader awal partai) tersebut.
3. Biasanya pemikiran Halaqah ‘Ula (kader awal
partai) tersebut mendalam, metode kebangkitannya mendasar, atau bermula dari
aspek yang mendasar. Oleh sebab itu halaqah ‘ula tersebut terangkat dari
keadaan yang buruk di mana umat hidup, dia "terbang" di alam
(suasana) yang lebih tinggi. Dia bisa melihat realita masa depan yang harus
dicapai oleh umat atau mampu melihat kehidupan baru di mana umat harus mampu
diubah ke arah keadaan tersebut, sebagaimana ia juga melihat jalan yang harus
dilewatinya dalam mengubah realita tersebut. Oleh sebab itu ia mampu melihat
sesuatu (yang tersembunyi) di balik dinding/tabir pada saat kebanyakan orang
hanya melihat kulit luarnya saja. Karena masyarakat yang ada terikat dengan
keadaan buruk yang ia juga hidup di dalamnya, ia sulit untuk
"terbang", dan sulit pula baginya untuk merubah realita itu secara
benar. Sebab, masyarakat yang terbelakang pemikirannya dangkal, mereka hanya
menilai sesuatu pada fakta apa adanya saja, kemudian mengkiaskan segala sesuatu
dengan fakta tersebut dengan cara pukul rata dan keliru. Mereka mengatur diri
mereka sesuai dengan hasil pengkiasan tersebut yang mereka lakukan itu. Oleh
karena itu mereka menempatkan manfaat yang mereka inginkan beredar bersama
dengan standar yang mereka ukur dengan fakta itu.
Adapun
Halaqah ‘Ula (kader awal partai), pemikirannya tidaklah dangkal lagi, mereka
sudah mendekati batas kesempurnaan. Mereka menjadikan realita sebagai objek
pikiran, untuk diubah sesuai dengan mabda’ (ideologi), tidak menjadikan realita
sebagai sumber pemikiran dengan mencocokkan mabda’ (ideologi) dan kenyataan.
Oleh sebab itu mereka berusaha mengubah keadaan itu, membentuk serta
mendudukkannya sesuai dngan kehendak mereka agar keadaan itu menjadi sesuai
dengan mabda’ (ideologi) yang mereka yakini, bukan
menyesuaikan/mencocok-cocokkan mabda’ (ideologi) dengan keadaan itu. Oleh sebab
itu terdapat perbedaan pemahaman yang tajam antara Halaqah ‘Ula (kader awal
partai) dengan masyarakat daalam pandangan mereka mengenai kehidupan. Di
sinilah dibutuhkan pendekatan terhadap masyarakat.
4. Pemikiran Halaqah ‘Ula (kader awal partai)
(al qiyadah/ kepemimpinan) bertumpu pada suatu kaidah yang tetap, yaitu bahwa
fikrah (pemikiran) harus berkaitan dengan aktivitas (amal) dan bahwa pemikiran
dan amal haruslah sesuai dngan tujuan yang ingin dicapai. Oleh sebab itu,
dengan menyatukan mabda’ (ideologi) di dalam diri mereka dan dengan
bersandarnya mereka pada suatu kaidah, menciptakan suatu suasana keimanan yang
tetap. Hal ini membantu mereka dalam menundukkan dan mengubah keadaan atau
realita. Sebab pemikiran tersebut tidak terbentuk dari realita, bahkan keadaan
itu sendirilah yang kemudian terbentuk sesuai dengan kehendak mereka. Berlainan
dengan masyarakat terbelakang, masyarakat terbelakang tidak mempunyai dasar
berfikir, karena mereka tidak mengetahui tujuan mereka berfikir dan beramal.
Tujuan-tujuan individu pada masyarakat seperti ini bersifat sementara dan
sangat indiviualis. Oleh sebab itu tidak ditemukan adanya suasana keimanan.
Mereka dikuasai oleh keadaan, bukan membentuk keadaan sesuai dengan kehendak
mereka. Oleh sebab itu akan terjadi benturan-benturan antara Halaqah ‘Ula
(kader awal partai) dengan masyarakat pada awal mereka saling berinteraksi.
5. Dan karena kewajiban halaqoh al-hizbiy
al-ula ( al-qiyadah ) menciptakan suasana keimanan yang mengharuskan mereka
mengikuti metode berpikir tertentu, maka ia haruslah melakukan gerakan
terarah, untuk mengembangkan dirinya secara cepat, untuk memurnikan suasana
iman dengan sempurna sehingga ia mampu membangun tubuh partainya dengan baik,
secepat kilat dan agar mampu berubah dengan perkembangan yang cepat, dari
"halaqoh hizbiyah" ke "qutlah hizbiyah" (kelompok
kepartaian), untuk kemudian menjadi sebuah partai sempurna, yang mewajibkan
dirinya terjun ke masyarakat untuk menjadi subyek di dalamnya, bukan
obyek/kelompok yang terpengaruh oleh keadaan masyarakat.
6. Gerakan-gerakan terarah tersebut terbentuk
dengan mempelajari secara sungguh-sungguh keadaan masyarakat, orang-orangnya
dan suasananya, dan waspada agar wadah hizb (partai) tak disusupi oleh unsur
yang merusak, dan agar tak terjadi kesalahan-kesalahan dalam menyusun struktur
hizb, yang kelompok itu terukur dengan cara demikian sehingga ia tidak
tergelincir pada pandangan selain pandangannya yang benar dan agar ia tidak
hancur dari dalam.
7. Aqidah yang mendalam dan teguh, serta
tsaqofah hizbiyah (khazanah pemikiran partai) yang mendalam adalah pengikat
antara anggota partai, dan tsaqafah kepartaian yang mendalam menjadi pengikat
bagi para anggota hizb (partai) dan menjadi undang-undang yang mengendalikan
jamaah hizb, bukan undang-undang administrasi yang hanya tertulis di dalam
kertas. Cara memperkuat aqidah dan memperdalam tsaqofah dilakukan dengan
belajar dan berfikir. Sehingga akal mereka terbentuk secara khas, dan
menciptakan pikiran yang berhubungan dengan perasaan. Suasana keimanan
haruslah menyelimuti hizb (partai) secara keseluruhan, sehingga pemersatu Hizb
(partai) adalah dua hal, yaitu hati dan aqal. Oleh sebab itu iman terhadap mabda’
(ideologi Islam) haruslah ada, sehingga ia bisa menjadi pemersatu pada
individu-individu anggota hizb. Kemudian anggota hizb (partai) harus
mempelajari mabda’ (ideologi) secara mendalam, menghapalkannya,
mendiskusikannya dan memahaminya, sehingga pengikat yang kedua adalah aqal.
Dengan demikian Hizb (partai) telah mempersiapkan dirinya dengan benar dan
mempunyai ikatan yang kuat yang memungkinkannya selalu tetap kokoh menghadapi
setiap goncangan.
Bacaan: Terjemahan AT TAKATTUL AL HIZBI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar