Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 21 Januari 2021

Bagaimana Khilafah Memperlakukan Terduga?



Dalam istilah hukum positif yang berlaku di Indonesia ada istilah terduga, tersangka, dan terdakwa. Terduga adalah orang yang diduga melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum, dengan adanya bukti permulaan, atau sebelum adanya barang bukti. Status naik menjadi tersangka, ketika sudah ada barang bukti yang kuat sebagai bukti kejahatannya, sebelum dilimpahkan ke pengadilan. Setelah dilimpahkan ke kejaksaan, dan diajukan ke pengadilan, statusnya naik lagi menjadi terdakwa.

Hanya saja, di dalam Islam, bukti yang bisa digunakan hanya ada empat. Empat itu adalah saksi [syahadah], jumlahnya sesuai dengan jenis kejahatan atau kasusnya. Kedua, pengakuan [iqrar] pelaku. Ketiga, sumpah [yamin], bagi pihak terdakwa yang mengingkari kejahatan atau kasusnya, jika bukti yang pertama tidak cukup. Keempat, dokumen [watsiqah] perjanjian atau akad. Selain itu, tidak bisa digunakan sebagai bukti untuk memvonis seseorang sebagai pelakunya. Meski, bisa saja video, gambar atau sidik jari dan sejenisnya digunakan sebagai "bukti permulaan” tetapi tidak bisa digunakan untuk menetapkan vonis.

Selain bukti yang berbeda, dasar, filosofi hukum dan pembuktian di dalam Islam juga berbeda. Inilah yang membedakan sistem peradilan dalam Islam dengan sistem non-Islam, baik yang menganut ideologi kapitalisme maupun sosialisme.

Takwa Sebagai Pondasi

Perbedaan mendasar kedua sistem yang ada ini adalah pada ketakwaan yang menjadi pondasi. Jika individu, masyarakat dan negara khilafah itu dibangun dengan pondasi ketakwaan kepada Allah SWT, maka tidak demikian dengan negara sekuler.

Dengan pondasi ketakwaan seperti ini, aparat tidak dengan seenaknya menjadikan seseorang menjadi terduga atau tersangka, kecuali benar-benar berdasarkan bukti yang valid. Penegak hukum tidak akan bertindak semena-mena, dengan mencari-cari kesalahan seseorang yang menjadi target [TO], hanya karena memenuhi syahwat kekuasaan. Begitu juga, orang yang melakukan kejahatan, dengan ketakwaannya tidak akan berbohong atau merekayasa kasusnya agar tidak bisa dibuktikan, dengan memanfaatkan celah hukum yang ada.

Pendek kata, dengan dasar ketakwaan pada kedua belah pihak, masing-masing pihak bertindak sesuai dengan apa yang Allah tetapkan. Dengan begitu, semua proses hukum akan berjalan dengan adil seadil-adilnya, dan jujur sejujur-jujurnya. Tidak ada rekayasa, tidak ada kebohongan, tidak ada intimidasi dan seterusnya.

Penerapan Asas

Selain pondasi ketakwaan, peradilan di dalam Islam mempunyai filosofi yang khas, yaitu ”al-Ashlu bara'atu ad-dzimmah" [Hukum asal manusia tidak bersalah], sampai bisa dibuktikan bahwa dia bersalah. Karena itu, pembuktiannya pun sangat ketat. Dengan dasar dan filosofi seperti itu, siapapun tidak boleh menangkap dan menahan warga negara, apalagi membunuhnya, sebelum dibuktikan dengan bukti yang kuat. Sampai Nabi SAW menyatakan, ”Cegahlah hukuman hudud itu, meski dengan syubhat," saking berharganya kehormatan, jiwa dan raga setiap warga negara.

Meski dengan "bukti permulaan" aparat penegak hukum boleh menahan, dan meminta keterangan orang yang diduga melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum, tetapi tetap saja dia tidak boleh diintimidasi apalagi disiksa agar memberikan pengakuan [iqrar], supaya bisa dijadikan tersangka dan terduga. Kehormatan, jiwa dan raganya wajib dijaga. Penegak hukum yang bertindak sebagai penegak hukum harus berpegang pada filosofi ”al-Ashlu bara'atu ad-dzimmah” Karena itu, tidak boleh mengeluarkan statemen, misalnya, ”Terduga teroris, terduga makar, terduga porno…” dan sebagainya. Meski dimulai dengan kata, "terduga” tetap saja bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik. Terlebih setelah itu, tidak ada rehabilitasi yang dilakukan.

Siapapun yang melakukan pencemaran nama baik, apalagi menyerang jiwa dan raga orang yang diduga melakukan kejahatan, bisa dituntut oleh pihak yang dirugikan. Sanksinya pun jelas dan tegas. Bukan karena penegak hukum kemudian bisa bertindak semena-mena, atau malah meruntuhkan hukum yang seharusnya ditegakkan. Semuanya itu bisa diwujudkan dengan dasar ketakwaan dan filosofi hukum yang harus dijunjung tinggi.

Karena itu, Islam telah menetapkan, semua proses pengadilan dilakukan di ruang sidang, bukan di luar sidang. Apapun kesaksian, pengakuan, sumpah atau dokumen yang diberikan di luar persidangan tidak bisa diterima oleh pengadilan. Ini merupakan proses yang ditetapkan dalam Islam untuk menjaga agar hukum yang ditegakkan benar-benar adil.

Adil dan Independen

Begitu rupa Islam menjaga kehormatan, jiwa dan raga warga negaranya, proses menjatuhkan vonis kepada seseorang yang dinyatakan sebagai terduga, tersangka hingga terdakwa begitu hati-hati dan ketat. Karena Islam tidak mengenal peradilan banding, maka keputusan hakim bersifat mengikat, dan tidak bisa dibatalkan oleh siapapun.

Karena itu, selain pondasi ketakwaan, filosofi ”al-ashlu bara’atu ad-dzimmah”, pembuktian dan prosesnya yang begitu rigit, peradilannya pun diatur sedemikian rupa. Dimulai dari pembuktian yang tidak bisa dilakukan di luar mahkamah, itu berarti kedudukan hakim menjadi sangat penting. Independensi dan keadilan hakim sangat menentukan. Dalam konteks ini, Islam telah menetapkan banyak hukum syara' yang mengatur kepribadian, akhlak, adab dan tindakan hakim, baik di dalam maupun di luar persidangan.

Asyhab, seorang fuqaha' dari mazhab Maliki, menyatakan bahwa merupakan kewajiban hakim untuk "meremehkan" penguasa [Thahir bin Asyur, Maqashid as-Syariah, hal.197]. Maksudnya, hakim tidak bisa ditekan apalagi dipaksa memenuhi syahwat penguasa. Itu artinya, para hakim itu pun sangat independen, tidak bisa dipengaruhi oleh kekuasaan. Hakim juga harus menjaga wibawa dirinya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Karena itu, tidak boleh bergaul dengan masyarakat yang bisa merusak wibawanya. Imam Syafii pun menyatakan makruh, jika hakim berbisnis dengan masyarakat, yang bisa menciderai keadilannya [al-Mawardi, Adab al-Qadhi, juz I/237-238].

Menerima hadiah juga tidak boleh, apalagi suap. Karena hakim adalah pegawai kaum Muslim, yang dibayar oleh negara. Kebutuhannya dipenuhi oleh negara, sehingga tidak lagi pusing memikirkan keadaan ekonomi diri dan keluarganya.

Selain itu, keputusan yang dijatuhkan di peradilan itu ibaratnya merupakan "utang" bagi setiap hakim. Semua ada bayarannya. Jika dia memberikan keputusan yang salah dan zhalim, maka dia akan menerima bayarannya. Jika dia memberikan keputusan yang benar dan adil, maka dia pun akan menerima bayarannya. Bisa di dunia, maupun di akhirat. Dengan begitu, maka hukum yang keluar dari proses peradilan seperti ini akan dihormati, ditaati dan dilaksanakan dengan penuh keikhlasan sebagai ketundukan kepada hukum Allah SWT yang adil.

Dengan cara seperti itu, kehormatan, jiwa dan raga setiap warga negara akan terjaga dengan baik. Begitulah cara Islam dengan sistem khilafahnya yang luar biasa memperlakukan orang yang berstatus sebagai terduga, tersangka bahkan terdakwa sekalipun. Dengan begitu, hanya Islam dengan sistem Khilafahnyalah satu-satunya yang bisa memartabatkan manusia. Wallahu a'lam. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 194
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam