Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 12 Januari 2021

MUI Nyatakan BPJS Tidak Syar'i, Artis Rame-Rame Hujat Ulama



Begitu mendengar Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan penyelenggaraan BPJS Kesehatan tidak syar'i karena terdapat akad-akad yang tidak sesuai syariah, kontan saja pihak-pihak yang tak mau terikat syariat Islam menghujat, salah satunya seperti yang dinyatakan artis kawakan Tio Pakusadewo.

"Sekarang gimana kalau saya mengharamkan MUI di Indonesia. Padahal MUI itu isinya manusia semua, bukan nabi. Tapi kadang orang Indonesia suka enggak masuk akal, siapa sih yang mengangkat dia,” ujarnya seperti dikutip Media Umat dari tribunnews.com, Jumat (31/7/2015).

Tampaknya, dia menjadikan asas manfaat sebagai tolok ukurnya sehingga tidak mempermasalahkan keharaman riba bila digunakan untuk kepentingan rakyat banyak. ”Gimana unsur ribanya, ini kan untuk kepentingan rakyat banyak. Kalau dia baca perintah Tuhan dan memahaminya harusnya enggak mesti keluar fatwa seperti itu," ucapnya.

Artis Ria lrawan yang sudah menggunakan BPJS Kesehatan sejak Sepetember 2014 pun menghardik. ”MUI kena gejala kanker otak! Iya, Ria Irawan yang ngomong, seorang penderita kanker, MUI gejala kanker otak!" cetus Ria saat dihubungi tabloidbintang. com, Kamis (30/7/2015).

Seperti halnya Tio, Ria tidak melihat halal-haram dari dalil Al-Qur’an dan Sunnah melainkan hanya berdasarkan asas manfaat, sehingga kalau dianggap bermanfaat dianggap halal dan kalau dianggap tidak bermanfaat (mudharat) dianggap haram.

”Apa sih yang bisa disebut haram? Kalau banyak mudharatnya mungkin iya, tapi kalau banyak masyarakat yang terbantu (oleh BPJS), lebih banyak faedahnya, masak dibilang haram?” bintang film ”Gejolak Kawula Muda" itu balik bertanya.

Bukan hanya artis, sosiolog Thamrin Amal Tomagola juga tampak sekali kebodohannya terkait fungsi ulama dalam pranata sosial. Sehingga melarang ulama menjalankan fungsinya yang memang bertugas mengingatkan penguasa maupun masyarakat akan halal-haramnya suatu perbuatan dan benda.

”MUI tidak boleh berkoar-koar di depan publik!” teriaknya lancang kepada ulama dalam sebuah acara debat di TvOne Senin (3/8/2015) malam, seakan ingin menghidupkan kembali rezim Orde Baru ia pun kembali membentak, ”MUI tidak boleh mengkritik pemerintah!"

Bukan hanya kepada MUI, kepada ulama di kelompok dakwah yang tengah menerangkan kewajiban negara dalam pandangan Islam pun tak luput dari celaannya. ”Salah pikir lagi nih, salah nalar lagi," cela Thamrin ketika Rokhmat S. Labib yang tengah menjelaskan bahwa negara berkewajiban menjamin kesehatan seluruh rakyatnya dan tidak boleh memungut premi (iuran kesehatan).

Tidak Sesuai Syariah

Dalam keputusan yang dihasilkan forum pertemuan atau ijtima' Komisi Fatwa MUI di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, pada Juni 2015 disebutkan iuran dalam transaksi yang dilakukan BPJS tidak sesuai ketentuan syariah.

Ketua bidang fatwa MUI KH Ma'ruf Amin menjelaskan sistem pengelolaan dana yang dikumpulkan dari masyarakat tidak tahu uangnya diinvestasikan ke mana oleh BPJS. Dalam transaksi syariah, tidak boleh menimbulkan maisir dan gharar. Adapun, maisir adalah memperoleh keuntungan tanpa bekerja, yang biasanya disertai unsur pertaruhan atau spekulasi. Sementara gharar secara terminologi adalah penipuan dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.

"Kalau itu dibiarkan diinvestasi tanpa syariah, ada maisir-nya, seperti berjudi. Karena uang itu bisa diinvestasikan ke mana saja," ujar Ma'ruf.

Sehingga dari dua unsur itu, penyelenggaraan BPJS Kesehatan dianggap belum bisa memenuhi syariah. Seharusnya, pada saat akad, peserta BPJS diberikan pengetahuan lengkap sehingga uang yang disetorkannya benar-benar dimanfaatkan untuk hal-hal yang memenuhi syariat Islam.

Tak hanya itu, Ma'ruf melanjutkan, BPJS juga melakukan riba, yang dilarang oleh Islam. Riba didapat BPJS Kesehatan dengan menarik bunga sebagai denda atas keterlambatan pembayaran.

”Enggak boleh, kalau syariah enggak boleh begitu,” kata dia.

"Jadi kalau syariah itu akadnya harus betul, status dana yang dikumpulkannya jelas. Bagaimana kalau dana itu surplus, bagaimana kalau kurang, siapa yang bertanggung jawab? Itu semua harus secara syariah,” tutur Ma'ruf.

”Secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak,” demikian bunyi Ijtima' Ulama V Tahun 2015.

Mudir Ponpes Hamfara, Bantul, DIY KH, Muhammad Shiddiq Al-Jawi pun angkat bicara. ”Fatwa MUI itu menurut saya sudah tepat, karena alasan-alasan tersebut memang ada pada BPJS saat ini,” ujarnya kepada Media Umat, Senin (3/8/2015).

Menurut Shiddiq, masalah penyelenggaraan BPJS Kesehatan saat ini bukan hanya sekadar karena adanya ketidakpastian (gharar), riba, dan maisir tetapi akadnya pun tidak sesuai dengan syariat. Karena objek akad (ma'quud 'alaihi) asuransi tidak dapat dikategorikan obyek akad yang sah, yaitu barang atau jasa. Obyek akad asuransi, adalah janji/komitmen (at-ta'ahhud), yakni perusahaan asuransi berjanji akan membayar dana pertanggungan jika terjadi suatu peristiwa penyebab turunnya dana pertanggungan, seperti kematian, kecelakaan, kebakaran, dan sebagainya.

”Nah, janji seperti ini tidak dapat dikategorikan barang atau jasa, maka asuransi itu haram hukumnya,” ujarnya.

Selain aspek obyek akad itu, akad asuransi juga haram karena tak sesuai dengan ketentuan-ketentuan akad pertanggungan/jaminan (al-dhamaan) dalam Islam. []joko prasetyo

Menolak Sejak Awal

Jauh hari sebelum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dibentuk, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan tegas menolaknya. Alasannya, “rakyat akan menjadi obyek 'pemalakan' dengan kedok jaminan sosial sehingga rakyat yang sudah menderita akan semakin sengsara,” ujar Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto.

Kesimpulan tersebut didapat berdasarkan telaahan terhadap UU 40/2004 Tentang SJSN dan UU 24/2011 Tentang BPJS, di dalam pers rilis No 238 Pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia tentang Pemalakan Rakyat di Balik UU SJSN dan UU BPJS tertanggal 19 November2012/5 Muharram 1434, HTI menyimpulkan dua poin.

Pertama, kedua UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna 'jaminan sosial' jelas berbeda sama sekali dengan 'asuransi sosial'. Jaminan sosial adalah kewajiban pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Di samping itu, akad dalam asuransi termasuk akad batil dan diharamkan oleh syariat Islam.

Kedua, UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia, institusi bisnis asuransi multi nasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b yang menyebutkan BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk-investasi. Ini merupakan bukti nyata dan pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia. []joy

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 155
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam