Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 28 Januari 2021

Pemerintahan Rezim Pemalak Pro Asing



Ketua Lajnah Maslahiyah DPP Arim Nasim mengatakan, ”Karena pola pikir pemerintah dan para pendukung pemerintah baik DPR ataupun kalangan intelektualnya sudah terjajah dengan pemikiran liberalisme dan kapitalisme. Yang ada di otak mereka adalah pemikiran neoliberalisme dan kapitalisme," katanya.

Dalam pandangan sistem neoliberalisme dan kapitalisme, kata Arim, sumber utama pendapatan negara untuk membiayai kegiatan negara atau memberikan pelayanan kepada rakyat itu adalah dengan jalan memungut kepada rakyat atau memalak rakyat baik dalam bentuk pajak ataupun berbagai pungutan lainnya.

Maka, lanjutnya, tak aneh jika sumberdaya itu diserahkan pengelolaannya kepada swasta. Sementara negara untuk membiayai kegiatannya mencari dengan jalan memungut pajak. ”Jadi bukan tidak bisa tapi memang yang ada di otaknya itu adalah memungut dari rakyat,” jelas doktor ekonomi Islam ini.

Sejak kemerdekaan, Indonesia memang terjebak dalam jerat kapitalisme global. Para penguasa di Indonesia mau tidak mau mengikuti arahan Barat dalam mengambil kebijakan negara. Para ekonom menyebut, kebijakan ekonomi Indonesia sama dan sebangun dengan paket kebijakan Konsensus Washington. Implementasinya kian kental setelah lndonesia masuk di era Reformasi.

Konsensus Washington ini dalam garis besarnya terdiri atas, pertama, pelaksanaan kebijakan anggaran yang ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya. Kedua, pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan. Ketiga, pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan. Keempat, pelaksanaan privatisasi BUMN. Kebijakan ini dikontrol sepenuhnya oleh IMF dan Bank Dunia.

Dalam paradigma liberal inilah, swasta seolah menjadi raja sehingga mereka bisa menentukan arah kebijakan. Apatah lagi, kini para pengusaha itu sendiri duduk di kursi kekuasaan. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan bisnisnya masing-masing. Ini yang kini telah menjadi rahasia umum.

Dikuasai Komprador

Kandisi ini, menurut Ketua Lajnah Faaliyah DPP M. Rahmat Kurnia, tak lepas dari kenyataan bahwa Indonesia sedang dikuasai oleh para komprador. Penguasa komprador adalah penguasa yang menjadi kaki tangan negara asing, khususnya negara besar, dalam hubungannya dengan rakyat.

Di antara tanda-tandanya, kata Rahmat, mengikuti kebijakan asing, mengeluarkan undang-undang (UU) yang lebih pro-asing daripada pro-rakyat, mengangkat pejabat yang merupakan kader-kader asing, dan dalam bekerjasama dengan asing lebih menjaga kepentingan asing daripada kepentingan bangsa sendiri.

Dalam praktiknya, jelasnya, para komprador itu berkolaborasi dengan para pengusaha. Bahkan saat ini penguasa itu adalah pengusaha itu sendiri. Sistem demokrasi akhirnya melahirkan apa yang disebut para ahli politik sebagai negara perusahaan (corporate state).

Corporate state ini merupakan negara yang penguasanya berkolaborasi dengan para pengusaha, baik dari dalam maupun luar negeri, atau penguasa sekaligus pengusaha. Jangan heran jika di mana-mana terjadi kapitalisasi pendidikan, privatisasi sumberdaya alam, BUMN dijual, kapitalisasi layanan publik dan kapitalisasi politik.

”Negara menjadi instrumen kepentingan bisnis dan mengabdi kepada pemilik modal yang sebagian besar merupakan perusahaan asing dari negara besar seperti AS. Penguasa menjadi pelayan bagi kepentingan asing, sembari mereguk manfaat bagi dirinya dan kelompoknya,“ jelasnya.

Menurut M. Ismail Yusanto, "Kita boleh curiga pemerintah sedang bertindak untuk kepentingan korporasi swasta, baik asing maupun domestik. Dengan kata lain, pemerintah telah nyata-nyata memperkaya korporasi dengan cara menindas rakyat," katanya.

Rezim Pemalak, Cukup!

Saat membuka perdagangan di Bursa Efek Jakarta di awal tahun 2016, Presiden Joko Widodo menegaskan sikap pemerintah terkait proteksi kepada rakyat di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ia menyatakan, tak ada lagi proteksi dan pemberian subsidi.

”Jangan berharap bahwa negara ini akan memproteksi, melindungi dan memberikan subsidi yang besar-besaran," ujarnya. Menurutnya, proteksi dan pemberian subsidi akan melemahkan daya saing Indonesia dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.

Pernyataan Jokowi tersebut kian menegaskan arah kebijakan ekonomi Indonesia yang membebek kepada kepentingan asing. Ekonomi Indonesia kian liberal, bahkan bisa jadi lebih liberal dibandingkan negara liberal yang masih memproteksi produsen dalam negerinya.

Di sisi lain, rezim Jokowi terus memalak rakyat dengan pajak. Di awal pemerintahannya, ia langsung meningkatkan target pajak gebesar 40 persen. Ini artinya, rakyat harus menyubsidi pemerintah lebih besar lagi.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui, target penerimaan pajak dalam APBN Perubahan 2015 yang naik sekira 40 persen di luar kebiasaan.

Biasanya paling besar 20 persen. Pemalakan besar-besaran ini pun memakan “korban” yakni Direktur Jenderal Pajak Sigit Pradi Pramudito mengundurkan diri dari jabatannya, karena tidak sanggup untuk memenuhi target penerimaan pajak yang dibebankan dalam APBN-P 2015 sebesar Rp1.294 trilyun. Rakyat pun kian berat dengan tagihan-tagihan pajak.

Kini pemerintah menargetkan pendapatan dari pajak lebih tinggi lagi, mencapai Rp1.546,7 trilyun. Padahal, tahun lalu saja, target yang lebih rendah hanya tercapai sekitar 84 persen. Maka, dengan target yang demikian besar, pasti rakyat kian dipalak. Semua sektor akan dikejar pajaknya. Semua harus bayar kepada negara.

Harus Diakhiri

Maka, tidak ada jalan lain kecuali menghentikan rezim pemalak ini. Caranya? M. Ismail Yusanto menjelaskan, mesti ada perubahan total dan menyeluruh baik menyangkut pemimpinnya maupun sistemnya, karena kedua hal inilah yang menjadi faktor utama pengaturan ekonomi khususnya yang sangat liberal.

Untuk itu, lanjut Ismail, masyarakat harus diajak mengerti bahwa semua problematika yang ada saat ini, yang telah nyata-nyata membuat rakyat menderita, terjadi akibat diberlakukannya sistem Sekuler, khususnya di bidang ekonomi dan politik. ”Oleh karena itu, bila ingin semua persoalan itu tak lagi muncul, maka sistem tersebut harus dihentikan segera, dan sekaligus diganti dengan sistem yang lebih baik,” tandasnya.

Tak cukup ganti rezim, tandasnya. Sistem yang baik itu harus berasal dari Dzat yang Maha Baik, itulah Allah SWT dengan syariah-Nya. "Di sinilah pentingnya seruan bagi tegaknya syariah dan khilafah, karena hanya dengan keduanyalah bakal terwujud rahmat atau kebaikan bagi semua atau yang kita kenal sebagai rahmatan lil 'alamin,” tegas Ismail.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 166
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam