Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 14 Januari 2021

Kaum Liberal Serang Keluarga



Tak Henti Sampai Di Sini

Kali ini kalangan liberal kalah.Tapi mereka pasti akan mencari jalan lain. Soalnya, bukan kali ini saja kalangan liberal ingin mengutak-atik berbagai peraturan dan perundang-undangan negara menyangkut keluarga yang masih berbau lslam. Mereka berjuang melepaskan Islam dari dalamnya dan menjadikan aturan itu sesuai nilai-nilai “universal” [baca: Barat].

Sebelum menggugat pasal demi pasal, pada 2007 lalu, mereka telah berusaha merombak seluruh isi UU Perkawinan melalui Draft Amandemen UU Perkawinan No 1/1974. Dalam pasal 11 draft yang diajukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Anik itu. seorang duda dikenai pasal iddah (transisi) sebagaimana seorang janda. Untuk duda karena kematian istri, masa transisi ditetapkan 130 hari atau 4 bulan 10 hari. Perkawinannya putus karena perceraian, maka iddah si duda sama dengan iddah eks istrinya yaitu 3 kali haid atau 3 bulan untuk yang sudah menopause.

Pengajuan Draft Amandemen UU Perkawinan tersebut merupakan kelanjutan perjuangan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHl) yang gagal. Penyusunan CLD-KHI yang dipimpin tokoh liberal Musdah Mulia dengan sokongan dana sekitar Rp6 milyar dari The Asia Foundation, di antara isinya adalah pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab-kabul bukan rukun nikah, dan anak kecil bebas memilih agamanya sendiri.

Begitu upaya itu kandas, mereka terus mencari jalan lain. Berbagai UU sekular pun lahir atas tangan-tangan mereka dengan dukungan The Asia Foundation, USAID, World Bank, dll. Misalnya saja UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PDKRT). UU tersebut mengkriminalisasi peran suami dalam mendidik istri atau anak atas nama penghapusan tindak kekerasan, sekaligus mempublikasi persoalan-persoalan privat yang sebenarnya diberikan solusinya oleh Islam.

Begitu pula, amandemen UU Kesehatan yang memuat aturan yang 'bergesekan' dengan hukum Islam semisal mencegah nikah dini, tapi memberi peluang seks bebas dan legalisasi aborsi. Ada juga UU Perlindungan Anak yang memberi peluang kebebasan pada anak dalam mengeluarkan pendapat dalam segala hal yang pada akhirnya akan mengarah kepada kebebasan dalam berperilaku, termasuk kebebasan beragama.

Perjuangan kaum liberal ini tidak lepas dari “kitab suci” mereka berupa konvensi dan kesepakatan internasional terkait dengan isu HAM, kesetaraan gender, dan lain-lain, semisal Deklarasi Universal HAM, Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, kesepakatan Konferensi Kependudukan (ICPD), MDGs, dan lainnya yang spiritnya menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Tak sampai di situ, dengan dalih HAM, mereka pun bisa mendesak adanya pengakuan terhadap komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Dan lebih jauh lagi, mereka bisa jadi meminta perkawinan sejenis dilegalkan seperti di dunia Barat.

Bahaya

Penulis buku 'Detik-detik Penghancuran Keluarga' Iwan Januar, menilai liberalisasi sangat berbahaya bagi keluarga. Sayangnya, banyak keluarga Muslim yang lengah padahal mereka tengah menjadi sasaran deislamisasi oleh Barat. Berbagai serangan perang pemikiran dan perang kebudayaan diarahkan kepada keluarga Muslim.

Serangan paling vital adalah melakukan liberalisasi keluarga. Satu di antaranya adalah melegalkan kawin campur nikah beda agama, terutama agar para Muslimah dapat dinikahi oleh pria non-Muslim. Bahkan, lanjutnya, di Jakarta malah sudah ada seorang tokoh liberal yang menyediakan diri menjadi penghulu untuk pernikahan haram ini.

Kaum liberal, kata Iwan, mencoba memasukkan paham feminisme ke dalam rumah tangga Muslim. Kaum Muslimin coba dibuat percaya bahwa pembagian kerja istri/ibu dan suami/ayah dapat diubah berdasarkan kesepakatan bersama. ”Jadi seorang perempuan tidak boleh dipaksa tinggal di rumah, melahirkan dan mengurus anak, dan tidak ada ketaatan pada suami. Rumah tangga adalah kesepakatan bersama. Tidak ada pemimpin dan bawahan,” tulisnya.

Dan yang lebih menjijikkan lagi, papar Iwan, kini tengah diperjuangkan agar diakui dan disahkan perkawinan sejenis untuk kaum gay dan lesbian. Bahkan kaum liberal ini tidak takut mengutak-atik ayat-ayat Allah dan memutarbalikkan hukum untuk membenarkan hawa nafsu bejat mereka.

Di sisi lain keluarga Muslim juga dihadang dengan kebijakan pembatasan usia pernikahan, birth control, pornografi, dsb. Menurutnya, aturan-aturan ini kerap dibungkus dengan alasan yang terdengar indah tapi sebenarnya bertabrakan dengan syariat Islam dan bersifat destruktif bagi keluarga Muslim dan masyarakat.

Ujung dari itu semua adalah penghancuran institusi keluarga karena keluarga saat ini adalah benteng terakhir umat lslam. Menurut Iffah Ainur Rochmah, keluarga dalam Islam ibarat benteng yang kokoh (hishan al hashin) yang menjadi pelindung anggotanya dari kerusakan dan berbagai ancaman musuh. Kerusakan keluarga, kata Iffah, akan berakibat rusaknya generasi. Kalau generasi sudah rusak, siapa lagi yang bisa menjadi tumpuan harapan bagi tegaknya kembali sistem lslam? []emje

Begini yang Barat Inginkan

Liberalisasi telah sukses di Eropa. Agama Katolik pun tak berdaya. Larangan homoseks oleh Vatikan pun tak diindahkan. Mungkin jika larangan itu yang melanggar adalah orang biasa, wajar. Tapi ini dipertontonkan oleh pejabat negara.

Perdana Menteri Luxemburg, Xavier Bettel (42), menjadi contoh liberalisasi. Ia adalah pemimpin negara anggota Uni Eropa pertama yang menikah dengan sesama jenis. Bettel menikah dengan rekannya, Gauthier Destenay, seorang arsitek asal Belgia. Mereka menjadi pasangan gay pertama yang menikah di Lexembourg, negara mayoritas Katolik yang bergabung dengan Uni Eropa paling akhir, dan mendukung penuh hak bagi pasangan sesama jenis.

Partai pimpinan Bettel memenangkan pemilihan dalam koalisi pemerintah setelah berjanji akan memodernisasi Luxembourg. Beberapa janji partai Bettel adalah mengganti pendidikan agama di sekolah dengan kelas etika umum, dan menurunkan usia hak pilih menjadi 16 tahun.

Pasangan yang memakai setelan jas berwarna gelap dan dasi itu, melambaikan tangan kepada warga setelah proses janji suci. “Luxembourg dapat mengambil contoh,” ujar Bettel bersama Destenay.

Kalau sudah begitu, siapa Ibu Negaranya? Inilah yang diinginkan Barat di negeri-negeri Muslim! []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 154
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam