Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 25 Februari 2021

Di Balik Wacana Sertifikasi Ulama



Ada Apa?

Usulan sertifikasi ulama digulirkan pemerintah. Adalah Menteri Agama Lukman Hakim yang melontarkan gagasan tersebut. Di hadapan wartawan ia mengemukakan alasannya, "Banyak sekali yang menyampaikan bahwa terkadang beberapa masjid, khatib (penceramah) lupa menyampaikan nasihat yang semestinya, kemudian isi khutbah malah mengejek bahkan menjelek-jelekkan suatu kelompok yang bertolak belakang dengan nasihat," kata Lukman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (31/01/2017).

Lukman mengatakan program sertifikasi para ulama dan khatib itu diserahkan kepada ormas-ormas Islam dan para ulama, sedangkan Kemenag atau pemerintah hanya menjadi fasilitator saja.

Seperti hendak berkelit, Menag menyebutkan program ini bukan kebijakan pemerintah, tapi usulan pihak lain. "Yang harus digarisbawahi, ini bukan kebijakan pemerintah. Ini baru gagasan yang lalu direspons oleh Kementerian Agama karena kami harus responsif terhadap aspirasi masyarakat," papar Lukman.

Lukman menambahkan, nantinya khutbah Jumat diharapkan mengarah pada ajaran Islam rahmatan lil alamin yang moderat. Sebab, kata Lukman, semua agama yang berkembang di Indonesia berpaham moderat, bukan ekstrem.

Pernyataan Menteri Agama segera direspon keras oleh banyak kalangan. Mulai dari tokoh Islam, anggota DPR hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla. Aliansi Ulama Madura (AUMA) misalnya menolak keras program sertifikasi khatib dan ulama dan menilainya lebih banyak negatifnya ketimbang manfaatnya. Sedangkan Wapres menyatakan bahwa kebijakan ini sulit dilakukan karena banyaknya jumlah masjid dan banyaknya jumlah mubaligh serta khatib di tanah air. Apalagi banyak masjid di tanah air yang dibangun swadaya masyarakat.

Anehnya, beberapa hari kemudian pihak Kementerian Agama justru membantah adanya rencana sertifikasi khatib dan ulama. Kepala Pusat informasi dan Humas (Pinmas) Kementerian Agama Mastuki memastikan bahwa info sertifikasi khatib yang viral melalui media sosial adalah berita bohong alias hoax. Penegasan ini disampaikan oleh Mastuki menyusul beredarnya informasi seputar hal teknis penyelenggaraan sertifikasi khatib. Meskipun ia tak menampik bahwa Kementerian Agama sedang mempertimbangkan untuk melakukan standarisasi khatib Jumat sebagai respons permintaan masyarakat.

Maka pertanyaannya adalah masyarakat mana yang dimaksud pihak Kemenag dan Pak Menteri? Karena ternyata lebih banyak kalangan yang menolak wacana sertifikasi tersebut ketimbang yang menerimanya.

Satu-satunya suara yang terdengar mendukung datang dari fraksi PDI-P di DPR. Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDIP yang membidangi sosial dan keagamaan, Samsu Niang mengatakan, dalam rangka untuk pendataan ulama, sertifikasi ulama menurutnya perlu dilakukan. Hal ini guna mengetahui kapabilitas, integritas para ulama itu.

Entah berkaitan atau tidak dengan wacana sertifikasi ulama, pihak kepolisian Jawa Timur juga melakukan langkah yang mengundang kontroversi, yakni pendataan ulama. Meski ada sebagian kecil ulama dan pesantren yang tidak keberatan, tapi lebih banyak yang kemudian merasa resah bahkan marah dengan pendataan tersebut. Langkah ini juga dikecam oleh Komisi VII DPR RI dengan menyatakan bahwa hal itu bukan kewenangan kepolisian, tapi Kementerian Agama.

Melumpuhkan Ulama

Wacana program sertifikasi ulama dan khatib dulu sudah pernah diusulkan oleh BNPT. Saat itu Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, mewacanakan sertifikasi dai dan ustadz. Menurutnya, dengan sertifikasi maka pemerintah dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi.

Usulan yang ditentang keras oleh ormas Islam dan tokoh-tokoh Islam nampaknya ingin diulang oleh pemerintah melalui Kementerian Agama. Kalau dulu dengan dalih mencegah radikalisme dan terorisme atas nama agama, kali ini kelihatannya ditujukan untuk menjinakkan ghirah umat pasca pelecehan Al-Qur’an oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Penistaan Al-Qur’an oleh Ahok yang direspon dengan kemarahan umat dan berujung pada aksi kolosal 411 dan 212 tahun lalu, membuat gerah sejumlah pihak. Ada kekhawatiran umat mulai muncul nalar kritis terhadap persoalan politik. Karena sasaran kemarahan publik bukan saja tertuju pada Ahok, tapi juga kepada parpol pengusung dan pendukungnya, kepada pemerintah yang dicap lamban dan tidak serius menangani kasus Ahok bahkan cenderung berpihak, juga menguatkan kecurigaan adanya taipan-taipan yang memodali Ahok.

Karenanya berbagai macam cara dilakukan untuk mereduksi hal ini seperti melontarkan isu anti kebhinekaan dan intoleran, dan membuat berbagai aksi tandingan. Namun semuanya gagal.

Langkah antisipasi yang kemudian dilakukan adalah menggulirkan sertifikasi khatib dan ulama. Merekalah kelompok pertama yang mesti dikendalikan dan dijinakkan oleh pemerintah, parpol dan kelompok-kelompok yang tidak suka dengan kelompok Islam politik. Bergeraknya umat pasca kasus pelecehan ayat Al-Qur’an, dimotori oleh para ulama, ustadz, dan mubaligh lewat berbagai khutbah, ceramah juga tulisan-tulisan.

Karenanya, selain akan menetapkan kualifikasi khatib dan ulama, program ini akan membuat batasan tema bagi para khatib dan mubaligh. Seperti kata Menag Lukman Hakim, tema yang harus diusung adalah Islam moderat.

Selanjutnya akan terjadi pembodohan politik dan deislamisasi secara masif lewat tema-tema khutbah atau ceramah yang mengajarkan Islam moderat. Umat semakin dijauhkan lagi dari kesadaran politik Islam dan dihapuskan ghirah keislamannya. Oleh sebab itu proyek ini patut untuk dilawan, karena membawa kemudlaratan besar pada umat. []iwan januar, anggota lajnah siyasiyah dpp

Kriminalisasi Pemikiran Islam di Singapura, Malaysia dan Turki

Kadaryono Hafizh Nursalam, 62 tahun, dijatuhi hukuman dengan RM900 (sekitar Rp2,7 juta) di Mahkamah Rendah Syariah Malaysia, karena kedapatan berceramah tanpa tauliah (surat pengangkatan/pelantikan) di sebuah surau di Senawang, awal bulan lalu.

Malaysia adalah salah satu negara yang dengan ketat memberlakukan sertifikasi ceramah untuk para mubaligh. Nekat berceramah tanpa surat izin, tauliyah namanya, siap-siap diganjar denda atau masuk penjara.

Singapura dan Turki juga negara yang memberlakukan hal yang sama. Bahkan Singapura lebih keterlaluan lagi. Materi khutbah harus menggunakan bahan yang telah disiapkan Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS). Berani melanggar, tauliyah akan dicabut. Belum lagi pemerintah Singapura mengawasi khutbah, ceramah dan kegiatan umat Islam di seantero negeri. CCTV dipasang di hampir setiap sudut. Undang-undang ISA (Internal Security Act) juga diberlakukan dan bisa dipakai untuk menjebloskan penceramah yang dianggap kritis pada pemerintah.

Kelihatannya pola seperti ini yang ingin ditiru oleh pemerintah Jokowi. Gerah karena setiap saat kebijakan ngawurnya dikritik umat Islam dan para ulama, digagaslah program sertifikasi ulama. Ngawur tenan. []ij/ls

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 191
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam