Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 05 Februari 2021

Liberalis Melawan Syariah Islam



Melawan Dan “Memperkosa” Syariah

Islam Nusantara, seperti apa? Apakah seperti Islamnya Presiden Jokowi? Atau ala Islamnya JK? Gagasan itu masih belum begitu jelas. Tapi, baunya sudah tercium. Yakni Islam yang mau menerima ide-ide Barat, yang kompromi dengan ide-ide kufur. Sama persis dengan gagasan liberalisasi agama sebelumnya.

Ide Islam Nusantara bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam Islam tidak dikenal dikotomi keIslaman berdasarkan geografis dan budaya lokal. Juga tidak pernah terjadi asimilasi atau naturalisasi ajaran Islam dengan budaya setempat. Ketika Islam masuk ke wilayah Syam atau Persia, bukan Islam yang melebur pada budaya lokal, tapi justru masyarakat lokal yang melebur ke dalam ajaran Islam dan meninggalkan budaya mereka.

Islam juga bukan budaya Arab seperti yang dituduhkan Komaruddin Hidayat, misalnya. Justru ketika Islam datang maka berbagai peradaban Arab di masa jahiliyah dikecam oleh Islam dan diganti dengan syariah Islam.

Munculnya ide Islam Nusantara datang dari kegagalan para tokohnya dalam melihat ajaran Islam. Para pendukungnya sering menyalahkan Islam 'Timur Tengah' kemudian memuji-muji Islam di tanah air. Konflik antar mazhab Sunni-Syiah adalah salah satu tema yang sering dijadikan alasan dinaikkannya gagasan Islam Nusantara.

Mereka seperti menutup mata bahwa perilaku Muslim di Nusantara juga bermasalah. Berbagai ajaran sesat seperti Lia Eden, Ahmadiyah, LDII masih bercokol. Indonesia juga masih masuk negara dengan peringkat korupsi tertinggi di dunia. Sekarang lndonesia juga menjadi kawasan peredaran narkoba internasional, dan termasuk pengakses pornografi terbanyak di dunia. Di Nusantara eskalasi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap wanita dan anak-anak justru terjadi.

Jadi, sesungguhnya ide Islam Nusantara itu absurd, asing, dan bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

“Memperkosa” Syariah

Sepintas gagasan Islam Nusantara terkesan indah, karena mengadopsi kearifan lokal. Seolah ada angin segar bagi masyarakat Indonesia bahwa aspirasi budaya dan tradisi masyarakat lokal tidak akan hilang dengan berpegang pada ajaran Islam.

Publik pun digiring untuk menerima secara taken for granted gagasan tersebut dengan cara dimunculkan berbagai opini negatif tentang praktek Islam di kawasan Timur Tengah. Media massa Barat gencar menayangkan konflik Arab Saudi-Yaman atau tindakan represif oleh ISIS, yang kemudian ditayangkan masif juga oleh berbagai media massa sekuler yang mendukung arus liberalisasi ajaran Islam. Hal ini menjadi pemikat bagi masyarakat awam untuk menelan ide Islam Nusantara secara mudah.

Padahal Islam Nusantara setali tiga uang dengan yang ditawarkan Islam liberal. Sama-sama melakukan rekonstruksi atau tepatnya destruksi (merusak) terhadap ajaran Islam. Hanya saja, dalam gagasan Islam Nusantara dibuat seolah masuk akal dan sah secara syar'i karena menggabungkan berbagai istilah ushul fikih seperti urf dengan budaya lokal.

Selain akan merusak ajaran Islam, gagasan Islam Nusantara juga akan menyeret umat Islam ke dalam penyesatan politik dan ekonomi sehingga akhirnya menerima neoliberalisme dan neoimperialisme.

Oleh karena itu ada sejumlah bahaya besar di balik gagasan Islam Nusantara, hal ini harus disadari oleh umat. Di antaranya sebagai berikut.

Pertama, gagasan Islam Nusantara akan mereduksi bahkan mengubah sebagian besar ajaran Islam. Dengan dalih naturalisasi ajaran Islam, atau menghilangkan karakter 'Islam Arab' maka sejumlah ajaran Islam akan dihilangkan, seperti kerudung dan jilbab, maka pakaian Muslimah yang telah jelas pensyariatannya dalam Al-Qur’an akan dihilangkan atau diganti. Belum lagi hukum pidana seperti jilid, rajam, qishash dianggap tidak sesuai dengan budaya lokal seperti penjara, denda, dll.

Padahal Islam bukanlah agama yang terpengaruh dengan budaya Arab, justru Islam datang untuk mengubah peradaban manusia dan menciptakan peradaban baru; peradaban Islam. Sebagai contoh Islam tidak menolerir budaya minum khamr meskipun itu dahulu sudah menjadi budaya orang Arab, juga membunuh bayi perempuan.

Oleh karena itu gagasan Islam Nusantara bila direalisasikan hanya akan “memperkosa” ajaran Islam yang telah jelas petunjuknya dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Di sisi lain, ajaran Islam Nusantara malah mendewakan budaya lokal untuk menggantikan syariah Islam.

Kedua, ajaran Islam Nusantara akan mengarah kepada sekulerisasi agama Islam. Dengan dalih menerima kearifan lokal, maka ajaran Islam yang membahas persoalan muamalah, sosial, politik dan pemerintahan, akan disingkirkan atau dimodifikasi agar sesuai dengan budaya lokal.

Ujungnya ajaran Islam akan dikebiri menjadi sebatas urusan ibadah dan pernikahan an sich. Selanjutnya persoalan muamalah, sosial dan politik dikangkangi oleh demokrasi, liberalisasi, dan KUHP pidana buatan asing. Menurut mereka ajaran demokrasi dan liberalisme lebih mengakomodasi kepentingan budaya lokal.

Ironis, para tokoh ini begitu serius menempatkan Islam sebagai ancaman, tapi justru tidak merasa berdosa mempraktekkan ajaran kaum kafir seperti demokrasi, liberalisme, dll.

Ketiga, ajaran Islam akan menjauhkan kekuatan bahasa Arab dari ajaran Islam. Para penyokong Islam Nusantara selalu memvonis bahwa Islam harus dipisahkan dari budaya Arab, termasuk penggunaan bahasa Arab. Benar, Islam bukanlah produk budaya Arab, akan tetapi bahasa Arab tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam. Allah SWT telah memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Tanpa penguasaan bahasa Arab, maka tidak mungkin umat Islam dapat memahami Al-Qur’an, as-Sunnah dan melakukan ijtihad.

Apa yang digagas oleh kalangan Islam Nusantara hanyalah meniru apa yang telah dilakukan Mustafa Kamal at-Taturk saat ia meruntuhkan kekhilafahan. Ia tetap mempertahankan Islam tapi merusaknya dengan menghilangkan kekuatan bahasa Arab dan memaksakan budaya lokal sebagai bagian dari ajaran Islam. Hasilnya? Di Turki tidak sedikit Muslim yang absen mengerjakan shalat lima waktu, biasa minum khamr, dan Muslimahnya tidak sedikit yang tak lagi mau mengenakan busana Islami.

Keempat, ajaran ini menciptakan polarisasi atau pengkutuban Islam di tengah umat, yang berujung pada perpecahan dan konflik. Di satu sisi ada kelompok Islam Nusantara dan Islam moderat, di sisi lain ada kelompok yang mereka namakan kalangan radikal.

Strategi ini termasuk salah satu yang direkomendasikan oleh Ariel Cohen kepada AS dalam menghadapi gerakan Islam yang mengusung syariah dan khilafah. Cohen pernah mempublikasikan hasil risetnya itu -yang dibiayai oleh The Heritage Foundation- dengan judul ‘Hizb ut Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia' (lihat: www. heritage.org). Menurut Cohen, salah satu cara melawan kelompok Islam radikal adalah dengan cara membenturkan kelompok tersebut dengan kelompok Islam moderat.

Kelima, Islam Nusantara sudah jelas diarahkan untuk membendung arus kencang perjuangan menegakkan syariah dan khilafah. Dengan alasan mempertahankan budaya lokal, membendung budaya transnasional/asing, mereka berusaha sekuat tenaga untuk melawan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Keblinger memang, ajaran yang datang dari wahyu Allah dianggap musuh, tapi ajaran yang datang dari otak kotor manusia seperti neoliberalisme dan neoimperialisme justru dibela mati-matian atau didiamkan. Mau jadi apa negeri ini?

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 154
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam