Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 08 Februari 2021

Perpres Ekstremisme Patut Diduga Bisa Picu Konflik Horizontal

 


Menjadi menarik ketika membuka Perpres No. 7 Tahun 2021 ini. Di dalamnya tidak ada definisi yang jelas tentang ekstremisme. Padahal, definisi yang jelas ini sangat penting dalam implementasi hukum.  


Secara teoritik, menurut pakar hukum Prof. Suteki, ekstremisme adalah paham yang berkarakter: berpikiran tertutup; tidak bertoleransi; anti demokrasi; dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. 


Sementara di Perpres itu disebutkan definisinya: “Keyakinan dan atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme”. Berdasar definisi ini, menurutnya, maka ektremisme itu dapat berwujud keyakinan dalam bentuk tulisan, lisan, dan sikap serta tindakan yang dinilai ekstrem (berbeda dengan rerata arus utama masyarakat)." 


Lalu definisi mana yang dipakai? 


Prof Suteki menilai, karena RAN PE tidak menjelaskan secara rinci definisinya, maka peraturan tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 


Siapapun akhirnya bisa menafsirkan sendiri sesuai dengan pemahaman masing-masing. Dan bila itu terjadi, menurutnya, itu bisa memicu konflik horizontal karena adanya polarisasi masyarakat, adu domba, curiga. 


"Bagaimana tidak, jika rakyat justru dihadap-hadapkan antara yang dianggap pro, netral, dan yang menolak atau sejalan dengan program penanggulangan ektremisme ini. Bahkan setiap orang bisa "menginteli” orang lainnya meskipun mereka berkawan, bertetangga atau bekerja dalam instansi yang sama. Like and dislike akan makin memicu konflik sesama anggota masyarakat sehingga konflik horizontal rawan terjadi, jelasnya. 


Hal yang sama dikemukakan pengamat terorisme Ridlwan Habib sebagaimana dikutip BBC News Indonesia. Menurutnya, definisi itu multitafsir dan terlalu luas sehingga sulit dipahami. Sementara mayoritas masyarakat saat ini memahami ekstremis identik dengan ciri-ciri orang dengan pakaian tertentu. 


"Misalnya secara lebih detail, apakah misalnya ekstremis itu orang yang berjanggut panjang dan bercelana cingkrang? Itu kan bisa ditafsirkan macam-macam. Lalu apakah Pemuda Pancasila termasuk ekstremisme? Kalau misalnya ada sebuah pengajian dibubarkan oleh orang tertentu termasuk ekstremisme?" kata Ridlwan. 


Ia menegaskan, definisi ekstremisme harus rinci dan detail sehingga tidak ditafsirkan macam-macam oleh oposisi atau pihak yang selama ini kritis terhadap pemerintah. Sebab, penjelasan yang prematur akan memicu tudingan bahwa Perpres tersebut menjadi sarana untuk mengkriminalkan kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. 


Dalam pemahaman sederhana, Ridlwan menggambarkan ekstremisme sebagai tindakan yang saling menuduh dan saling serang hanya karena berbeda pandangan baik itu agama ataupun keyakinan dalam banyak hal. 


Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyoroti bahaya di balik Perpres No 7 ini, terutama mengenai pelibatan masyarakat untuk melaporkan kalangan yang diduga terlibat dalam kegiatan ekstremisme ke kepolisian. 


“Kami lihat ada kecenderungan pelibatan masyarakat, artinya kriteria (ekstremisme) enggak jelas ya. Kalau terorisme kan jelas," kata Asfinawati seperti dikutip CNN Indonesia


Dengan ketidakjelasan itu, menurutnya, masyarakat akan bergerak sesuai dengan definisi di kepalanya masing-masing. “Ada definisinya saja mereka sering menafsirkan berbeda makanya dilarang oleh Undang-undang Ormas. Apalagi, ini tidak ada (definisinya)," tambahnya. 


Ini pula yang dikemukakan oleh peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar. Tidak adanya definisi mengenai ekstremisme melahirkan subjektivitas dari individu atau kelompok. 


Mereka bisa menafsirkan sendiri siapa yang ekstremis dan siapa yang tidak. Imbasnya, muncul stigmatisasi terhadap kelompok tertentu yang belum tentu salah sehingga ini rentan disalahgunakan pihak tertentu untuk mengkriminalkan kelompok lain. 


Lebih dari itu, ia khawatir jika masyarakat bisa dengan leluasa melaporkan individu atau kelompok lain dengan pemahaman yang subyektif tadi maka bisa memicu konflik horizontal. Apalagi jika ada kelompok masyarakat mendapat 'pesanan' dari pihak lain agar melaporkan individu atau organisasi tertentu. 


“Jika masyarakat sudah diplotkan ke individu atau kelompok mana saja yang harus diawasi. Semisal Ormas nasional atau Ormas yang mendukung atau simpatisan kelompok tertentu itu yang bahaya," kata Rivanlee. 


Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mewanti-wanti penerapan Perpres No.7 tahun 2021 itu. Terutama mengenai pelatihan masyarakat untuk melaporkan terduga ekstremis ke kepolisian. 


Dalam pandangannya, tanpa persiapan yang baik akan muncul implikasi negatif di masyarakat. Terutama ketika warga menjadi lebih mudah curiga dengan suatu kelompok dan berani melakukan tindakan tertentu. 


“Jika rambu-rambunya tak disiapkan dan disosialisasikan dengan baik, ada kekhawatiran bahwa hal ini akan meningkatkan potensi konflik horizontal dan pelanggaran hak asasi manusia melalui praktik-praktik intoleransi baru, persekusi, " kata Khairul.[] emje


Sumber : Tabloid Media Umat edisi 283

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam