Majelis
Umat adalah orang-orang yang mewakili kaum muslimin dalam menyampaikan pendapat
sebagai pertimbangan khalifah
BAB
MAJELIS UMAT
PASAL
101
Majelis
Umat adalah orang-orang yang mewakili kaum muslimin dalam menyampaikan pendapat
sebagai bahan pertimbangan bagi khalifah. Orang non-Islam dibolehkan menjadi
anggota Majelis Umat untuk menyampaikan pengaduan tentang kezhaliman para
penguasa atau penyimpangan dalam pelaksanaan hukum.
KETERANGAN
Allah
SWT. mensyariatkan syura. Lihat QS.(3):159, (42):38
Rasulullah
SAW pernah mengkhususkan diri untuk bermusyawarah dengan 14 orang tokoh
masyarakat dari kalangan Anshar dan Muhajirin.
Majelis
Umat merupakan wakil umat dalam menyampaikan pendapat saja, tidak memiliki
wewenang pemerintahan maupun legislasi. Siapapun warga negara boleh
menyampaikan pendapat. Politik pemerintahan yang digariskan Islam didasarkan
pada pandangan bahwa warga negara itu adalah manusia tanpa memandang kelompok,
jenis kelamin atau lainnya. Lihat QS.(4):174, (7):157
PASAL
102
Anggota
Majelis Umat dipilih melalui pemilihan umum.
KETERANGAN
Anggota
Majelis Umat merupakan wakil dari masyarakat. Dalam hukum perwakilan dalam
Islam (wakalah), wakil harus dipilih
oleh yang mewakilkan.
PASAL
103
Setiap
warga negara yang baligh, dan berakal berhak menjadi anggota Majelis Umat, baik
laki-laki maupun perempuan, Islam ataupun non-Islam. Keanggotaan orang
non-Islam terbatas pada penyampaian pengaduan tentang kezhaliman para penguasa
atau penyimpangan dalam pelaksanaan hukum Islam.
KETERANGAN
Majelis
Umat merupakan lembaga untuk penyampaian pendapat atau aspirasi umat. Perempuan
berhak menyatakan pendapatnya kepada khalifah. Ummu Salamah pernah menyatakan
pendapatnya kepada Rasulullah SAW pada waktu peperangan Hudaibiyyah. Begitu
pula pada saat 75 orang (2 di antaranya perempuan) melakukan Bai’at ‘Aqabah II,
Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk memilih 12 orang wakil di antara
mereka.
Lihat
juga keterangan Pasal 101.
PASAL
104
Syura dan masyurah adalah pengambilan pendapat
secara mutlak. Hal tersebut tidak mengikat dalam perkara syariat, terminologi,
persoalan pemikiran seperti pengungkapan berbagai hakikat serta perkara-perkara
teknis dan keilmuan. Namun, bersifat mengikat bila khalifah bermusyawarah
(mengambil pendapat) dalam setiap perkara praktis, dan aktivitas-aktivitas yang
tidak memerlukan pembahasan dan kajian mendalam.
KETERANGAN
Kata
syura bermakna umum. Lihat
QS.(3):159, (42):38
Perkara
syariat bukan berasal dari manusia tapi berasal dari Allah SWT sehingga
berdasarkan nash bukan suara mayoritas. Lihat : (12):40, (4):65, (4):59 dsb.
Masyurah merupakan
perkara-perkara syura yang bersifat
mengikat. Sabda nabi SAW kepada Abu bakar dan Umar : “Bila kalian berdua bersepakat dalam suatu masyurah, aku tidak akan
menyalahi kalian.”
PASAL
105
Syura adalah hak bagi
kaum muslimin saja. Tidak ada hak syura
bagi rakyat non-muslim; tetapi penyampaian pendapat dibolehkan bagi semua warga
negara, baik orang Islam maupun non-Islam.
KETERANGAN
Kata-kata
‘mereka’ (hum) dalam QS. (3) : 159,
(42) : 38 ditujukan untuk kaum muslimin, tidak termasuk non-muslim.
PASAL
106
Persoalan-persoalan
yang termasuk ke dalam syura yang
sifatnya mengikat saat musyawarah dengan khalifah diambil berdasarkan pendapat
mayoritas, tanpa mempertimbangkan pendapat tersebut benar atau salah. Urusan syura di luar hal tersebut dikaji
kebenarannya, tanpa mempertimbangkan mayoritas atau minoritas.
KETERANGAN
Pada
waktu Perang Uhud, Rasulullah SAW meninggalkan pendapatnya dan mengikuti suara
mayoritas untuk berperang di luar Madinah. Ini menyangkut masalah praktis.
Menyangkut
hukum syara, seperti dalam kasus Perjanjian Hudaibiyyah Rasulullah SAW menolak
pendapat para Shahabat. Beliau menyatakan : “Aku ini utusan Allah. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya.”
Dalam
masalah yang memerlukan kajian, pemikiran dan keilmuan, seperti pada Perang
Badar, Rasulullah mengikuti pendapat yang benar sekalipun dari satu orang (Al
Hubab bin Mundzir) yang ahli dalam menentukan tempat strategis. Begitu pula
dalam perang Khandak.
PASAL
107 AYAT 1a
Majelis Umat memiliki empat wewenang :
Pengambilan
pendapat oleh khalifah dari majelis dan pemberian pendapat dari majelis kepada
khalifah di dalam perkara-perkara praktis (‘amaliy)
yang termasuk perkara yang tidak memerlukan pembahasan dan kajian mendalam
seperti urusan ketatanegaraan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, perdagangan,
industri, pertanian dan lain-lain. Pendapat majelis dalam persoalan-persoalan
tadi bersifat mengikat.
KETERANGAN
Lihat keterangan Pasal 106
PASAL
107 AYAT 1b
Dalam
urusan-urusan pemikiran yang memerlukan bahasan dan kajian mendalam,
perkara-perkara keilmuan, keuangan, militer dan politik luar negeri khalifah
berhak meminta pendapat majelis dan berpegang pada pendapatnya. Pendapat
majelis dalam urusan-urusan tersebut bersifat tidak mengikat.
KETERANGAN
Lihat
keterangan Pasal 106
PASAL
107 AYAT 2
Khalifah
berhak menyodorkan kepada majelis hukum-hukum dan perundang-undangan yang
hendak diadopsinya, dan bagi setiap muslim anggota majelis memiliki hak untuk
mendiskusikannya serta menjelaskan letak kebenaran dan kekeliruan hal-hal
tersebut. Pendapat mereka dalam urusan-urusan tadi tidak mengikat.
KETERANGAN
Karena
pendapat majelis dalam hal tersebut tidak mengikat maka khalifah tidak wajib
merujuknya. Hanya saja, Umar bin Khathab sering kali merujuk kaum muslimin
dalam perkara syariat untuk meminta pendapatnya. Sikap demikian disaksikan para
Shahabat dan merupakan Ijma’ Shahabat. Padahal, Ijma’ Shahabat merupakan salah
satu dalil syar’iy.
Majelis Umat adalah orang-orang yang mewakili kaum
muslimin dalam menyampaikan pendapat sebagai pertimbangan khalifah
Hizbut Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar