Sipil Dan Militer
Menurut Islam
HUBUNGAN SIPIL DAN
MILITER DALAM PEMERINTAHAN ISLAM
Oleh : Farid Wadjdi
Oleh : Farid Wadjdi
…..
Bagaimana pandangan Islam tentang masalah ini ? Islam pada dasarnyat tidak mengenal dikotomi sipil – militer ataupun hubungan strata antar militer dan sipil. Militer dengan kekuatan senjatanya bukan berarti menguasai sipil, demikian pula sebaliknya sipil tidaklah menjadikan militer semata-mata alat kekuasaannya. Semua rakyat bisa menjadi militer (sebagai pasukan cadangan) apabila dibutuhkan. Meskipun, boleh saja terdapat militer reguler, yang digaji rutin oleh negara. Dalam Islam , kedua-duanya adalah mukallaf (manusia yang dibebani hukum) berdasarkankan fungsinya masing-masing. Di mana pengaturan dan pembagian fungsi tersebut hanyalah didasarkan kepada hukum Islam, bukan siapa yang berkuasa.
Konflik terus menerus antara hubungan sipil dan militer yang terjadi selama ini disebabkan karena pengaturan kewajiban didasarkan kepada siapa yang berkuasa. Dalam pemerintahan militer, kelompok militerlah yang berkuasa, sehingga tidak jarang bersikap keras dan otoriter kepada rakyat. Sebaliknya dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang berkuasa, sehingga militer hanya kemudian dijadikan alat oleh elit sipil, sesuai dengan kehendak elit sipil.
Sementara dalam Islam, pembagian fungsi semata-mata
berdasarkan hukum Allah SWT. Seorang syurtoh (polisi) menjalankan tugasnya
menjaga ketertiban karena diperintahkan oleh Allah SWT. Demikian juga tentara
yang menjaga perbatasan , semata-mata karena menjalankan perintah Allah SWT dan
mengharapkan ridho-Nya. Demikian pula rakyat, menjalankan fungsi mengkoreksi
penguasa, juga karena didasarkan perintah Allah dan mengharapkan
ridho-Nya.
Dalam beberapa hal, hukum bagi sipil dan militer sama. Kedua-duanya sama-sama dibebani hukum Islam. Sebagai contoh kewajiban Jihad adalah kewajiban seluruh kaum Muslim, tanpa melihat apakah mereka itu sipil ataupun militer.
Allah Swt. berfirman:
“Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan (merasa) ringan ataupun (merasa) berat, serta berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah.” (QS at-Taubah [9]: 41)
Dalam beberapa hal, hukum bagi sipil dan militer sama. Kedua-duanya sama-sama dibebani hukum Islam. Sebagai contoh kewajiban Jihad adalah kewajiban seluruh kaum Muslim, tanpa melihat apakah mereka itu sipil ataupun militer.
Allah Swt. berfirman:
“Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan (merasa) ringan ataupun (merasa) berat, serta berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah.” (QS at-Taubah [9]: 41)
Kata infirû
berbentuk umum; ditujukan atas seluruh kaum Muslim, tanpa melihat lagi istilah
sipil-militer. Maksudnya,;Berangkatlah kalian, wahai kaum Muslim, ke medan perang. Karena itu,
Islam tidak mengenal previlege
(pengistimewaan) militer atas sipil atau sebaliknya, dominasi sipil atas
militer. Keduanya di hadapan Islam adalah sama; sebagai warga negara atau
sebagai mukallaf yang terbebani seluruh hukum Islam. Mereka sama-sama memiliki
hak-hak dan kewajiban sebagai warganegara seperti berpolitik, berdakwah,
melakukan kritik terhadap penguasa (muhasabah lil hukkaam), amar makruf nahi
mungkar, mendirikan atau bergabung dengan partai politik Islam , berjihad, dan lain-lain.
Hukum jihad sama kedudukannya seperti hukum-hukum umum lainnya; ditujukan bagi seluruh kaum Muslim, laki-laki maupun wanita. Kedudukan mereka (baik militer maupun non-militer) di mata hukum Islam juga sama. Tidak ada kekhususan bentuk peradilan seperti yang ada sekarang ini dengan dipisahkannya peradilan militer dengan peradilan sipil. Peradilan Islam adalah satu dan hanya satu bentuk bagi seluruh kaum Muslim. Berdasarkan hal ini, Islam tidak mengenal pula slogan-slogan peleburan militer dengan rakyat dan semacamnya, karena memang faktanya masyarakat adalah orang-orang yang memiliki keterampilan (melalui wajib militer yang diselenggarakan negara) sebagai seorang prajurit yang siap sedia diterjunkan di medan perang.
Pada masa Rasulullah saw., mobilisasi umum dilakukan manakala peperangan memanggil kaum Muslim. Saat itu, para sahabat Rasulullah turut melibatkan diri dalam pelatihan dan peperangan tersebut. Setelah pertempuran usai, mereka pun kembali beraktivitas sebagaimana masyarakat biasa; ada yang menjadi petani, pedagang, dan lain-lain.
Hukum jihad sama kedudukannya seperti hukum-hukum umum lainnya; ditujukan bagi seluruh kaum Muslim, laki-laki maupun wanita. Kedudukan mereka (baik militer maupun non-militer) di mata hukum Islam juga sama. Tidak ada kekhususan bentuk peradilan seperti yang ada sekarang ini dengan dipisahkannya peradilan militer dengan peradilan sipil. Peradilan Islam adalah satu dan hanya satu bentuk bagi seluruh kaum Muslim. Berdasarkan hal ini, Islam tidak mengenal pula slogan-slogan peleburan militer dengan rakyat dan semacamnya, karena memang faktanya masyarakat adalah orang-orang yang memiliki keterampilan (melalui wajib militer yang diselenggarakan negara) sebagai seorang prajurit yang siap sedia diterjunkan di medan perang.
Pada masa Rasulullah saw., mobilisasi umum dilakukan manakala peperangan memanggil kaum Muslim. Saat itu, para sahabat Rasulullah turut melibatkan diri dalam pelatihan dan peperangan tersebut. Setelah pertempuran usai, mereka pun kembali beraktivitas sebagaimana masyarakat biasa; ada yang menjadi petani, pedagang, dan lain-lain.
Begitulah yang terjadi pada masa-masa awal pembentukan negara
Islam di Madinah. Bahkan, dalam Perang Khandaq (Perang Ahzab), keterlibatan
seluruh warga negara sangat jelas; baik laki-laki maupun wanita.
Jadi, konsep peperangan rakyat semesta sesungguhnya bukan perkara baru dalam kehidupan bermasyarakat negara Islam 15 abad yang lalu.
Bukan Pemerintahan Militer
Jadi, konsep peperangan rakyat semesta sesungguhnya bukan perkara baru dalam kehidupan bermasyarakat negara Islam 15 abad yang lalu.
Bukan Pemerintahan Militer
Meskipun jihad adalah perkara yang tidak bisa lepaskan dari negara, namun bukan berarti pemerintahan Islam adalah pemerintahan militer. Implikasi dari pemerintahan militer ini jelas sangat berbahaya. Sebab, kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk melayani masyarakat berubah menjadi kekuatan militer. Taqiyuddin an-Nabhani menulis bahaya dari pemerintahan militer ini, ;Kekuasaan tidak boleh berubah menjadi militer. Jika kekuasaan telah berubah menjadi militer, pelayanan urusan-urusan rakyat akan menjadi rusak. Sebab, dalam kondisi demikian, konsep-konsep dan standar-standar kekuasaan telah berubah menjadi konsep-konsep dan standar-standar otoritarianisme dan kediktatoran; bukan konsep dan standar pelayanan urusan rakyat. Begitu pula pemerintahannya; telah berubah menjadi pemerintahan militer yang hanya akan menyiratkan ketakutan, kediktatoran, otoritarianisme, dan pertumpahan darah.; (Lihat: An-Nabhahani, Sistem Pemerintahan Islam, (terj.), hlm. 327).
Dalam konteks politik dalam negeri, asas yang menjadi dasar perlakuan negara (Daulah Khilafah Islam ) terhadap seluruh warga negaranya; baik Muslim ataupun non-Muslim; adalah ri’âyah asy-syu’ûn (mengatur dan memelihara urusan-urusan) umat. Itulah yang menjadi kewajiban sekaligus tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda:
“Seorang imam (kepala negara) adalah pemimpin (bagaikan seorang penggembala yang mengatur dan memelihara gembalaannya, pen.) dan dia akan dimintai tanggung jawab atas (urusan) rakyatnya. (HR Bukhari dan Muslim).
Artinya, Khalifah wajib mengatur dan memelihara urusan
rakyatnya dengan hukum-hukum Islam.
Seluruh hukum Islam yang berkaitan dengan politik dalam negeri (yakni yang menyangkut hubungan Khalifah dengan rakyatnya) dibangun atas dasar as-salâm (perdamaian, keselamatan), termasuk dalam pelaksanaan hukum-hukum uqûbat (sistem sanksi/eksekusi peradilan) maupun hudûd.
Sebab, justru pelaksanaan hukum hudûd akan menghidupkan, bukan membinasakan. Dengan demikian, tidak diperkenankan negara (Daulah Khilafah Islam) menjalankan praktik memata-matai rakyatnya ; merampas barang yang menjadi milik rakyatnya; memasuki rumah warga yang berpenghuni tanpa izin; menganiaya, menelantarkan, serta membiarkan rakyatnya kelaparan, tertindas, dan lain-lain; sebagaimana yang menjadi gambaran perlakuan para penguasa diktator terhadap rakyatnya.
Perlakuan negara terhadap orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negaranya sama dengan perlakuan negara terhadap umat Islam yang menjadi warga negaranya. Meskipun demikian, negara mengikat hubungan (interaksi) dengan orang-orang non-Muslim itu dengan perjanjian. Perjanjian tersebut dikenal dengan sebutan aqad dzimmah, yakni perjanjian perlindungan negara atas jiwa, kehormatan, dan harta milik mereka serta berbagai hak mereka sebagai warga negara; dengan imbalan berupa ketundukan (ketaatan) kepada negara disertai dengan pembayaran jizyah (bagi laki-laki).
Seluruh hukum Islam yang berkaitan dengan politik dalam negeri (yakni yang menyangkut hubungan Khalifah dengan rakyatnya) dibangun atas dasar as-salâm (perdamaian, keselamatan), termasuk dalam pelaksanaan hukum-hukum uqûbat (sistem sanksi/eksekusi peradilan) maupun hudûd.
Sebab, justru pelaksanaan hukum hudûd akan menghidupkan, bukan membinasakan. Dengan demikian, tidak diperkenankan negara (Daulah Khilafah Islam) menjalankan praktik memata-matai rakyatnya ; merampas barang yang menjadi milik rakyatnya; memasuki rumah warga yang berpenghuni tanpa izin; menganiaya, menelantarkan, serta membiarkan rakyatnya kelaparan, tertindas, dan lain-lain; sebagaimana yang menjadi gambaran perlakuan para penguasa diktator terhadap rakyatnya.
Perlakuan negara terhadap orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negaranya sama dengan perlakuan negara terhadap umat Islam yang menjadi warga negaranya. Meskipun demikian, negara mengikat hubungan (interaksi) dengan orang-orang non-Muslim itu dengan perjanjian. Perjanjian tersebut dikenal dengan sebutan aqad dzimmah, yakni perjanjian perlindungan negara atas jiwa, kehormatan, dan harta milik mereka serta berbagai hak mereka sebagai warga negara; dengan imbalan berupa ketundukan (ketaatan) kepada negara disertai dengan pembayaran jizyah (bagi laki-laki).
Tegak dan kuatnya Daulah Khilafah Islam sangat
membutuhkan bantuan dari kalangan militer. Secara nyata, militer adalah kelompok yang sangat berkuasa
di negeri-negeri Islam. Bersama Daulah Khilafah Islam, para prajurit Islam
ini akan berjuang untuk menegakkan Islam. Mereka akan menjadi pahlawan kaum
Muslim yang memiliki tugas penting, yakni menjaga keutuhan Daulah Khilafah
Islam, serta menjaga Daulah Khilafah Islam dari serangan musuh-musuh Islam.
Dengan begitu, mereka akan mendapat posisi yang tinggi dan mulia di sisi Allah
SWT.
Sekali lagi perlu pula ditegaskan Daulah Khilafah bukanlah pemerintahan militer. Artinya kekuasaan pemerintah tidak boleh menjadi kekuasaan militer. Dengan demikian, kekuasaan tetap konsisten digunakan untuk melayani umat; bukan menjadi pemerintahan militer yang diktator serta menimbulkan ketakutan dan teror di tengah-tengah rakyat.
Sekali lagi perlu pula ditegaskan Daulah Khilafah bukanlah pemerintahan militer. Artinya kekuasaan pemerintah tidak boleh menjadi kekuasaan militer. Dengan demikian, kekuasaan tetap konsisten digunakan untuk melayani umat; bukan menjadi pemerintahan militer yang diktator serta menimbulkan ketakutan dan teror di tengah-tengah rakyat.
Sipil Dan Militer Menurut Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar