Pengertian Ghulul –
Hukum Harta Ghulul
Hukum Ghulul
Oleh: Azhari
Pengertian, kriteria dan hukumnya
Pengertian, kriteria dan hukumnya
Harta Ghulul adalah harta yang diperoleh oleh pejabat
(pemerintah atau swasta) melalui kecurangan atau tidak syar’i, baik yang
diambil harta negara maupun masyarakat.
Barangsiapa yang berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya (Ali-Imran 161).
Harta ghulul terdiri dari 4 macam:
Barangsiapa yang berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya (Ali-Imran 161).
Harta ghulul terdiri dari 4 macam:
1. Suap (risywah)
Setiap harta yang diberikan kepada pejabat atas suatu kepentingan, padahal semestinya urusan tersebut tanpa pembayaran.
2. Hadiah (hibah)
Hadiah yang diberikan kepada pejabat (mirip suap) agar memperoleh penghargaan, penilaian istimewa atau keuntungan di kemudian hari.
Rasulullah mengangkat Ibnu Utabiyah untuk menarik zakat Bani Sulaim. Setelah kembali dan menghadap Rasulullah, Ibnu Utabiyah berkata: “Ini untuk engkau dan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepada saya, lalu Rasulullah bersabda:
Ini adalah (harta) untuk anda, dan ini (harta yang) dihadiahkan kepadaku. (Jika memang benar itu hadiah) apakah tidak sebaiknya ia duduk saja di rumah bapak atau ibunya, lalu (lihat) apakah hadiah itu akan diberikan kepadanya atau tidak? Demi zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, tidak akan ia membawa sesuatu melainkan di hari Kiamat nanti ia akan memikul (kesalahannya) di atas pundaknya (HR Bukhari No. 1922). 2)
3. Komisi (‘amulah)
Harta yang diperoleh hasil balas jasa transaksi antara pejabat dengan supplier pemerintah.
4. Korupsi
Mengambil harta negara yang bukan haknya atau melakukan mark-up suatu proyek pemerintah.
Semua harta ini (4 jenis diatas) haram diambil dan harus dikembalikan kepada pemiliknya, penyuap, penerima suap dan perantaranya harus dihukum. 9)
Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan (HR Imam Ahmad).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jika seseorang untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan telah dibayar maka apapun selain itu bukan menjadi haknya dan haram mengambilnya. Begitu juga, jika dia memanfaatkan harta perusahaan atau negara untuk kepentingan pribadinya, dalam hal ini ia telah mengambil sesuatu yang bukan haknya secara bathil dan haram hukumnya. Misal, seorang karyawan menerima souvenir sebuah pulpen, parcel di akhir tahun, amplop yang berisi uang atau uang komisi yang biasanya langsung ditransfer, mengambil harta perusahaan/negara, melakukan mark-up suatu transaksi, dan lain-lain.
Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rizki (gaji) maka yang diambil olehnya selain itu adalah kecurangan (HR Abu Dawud).
Sungguh pedih siksa Allah bagi kasus suap ini, jika hasil
suap itu untuk memenuhi kebutuhan makanan, maka daging yang berasal dari hasil
suap akan dibakar oleh api neraka. Jika hasil suap itu digunakan untuk membeli
harta benda, maka harta itu harus dibopong dipundaknya diakhirat nanti. 8) Jika
mereka menerimanya berupa kavling tanah maka sungguh tidak terbayangkan jika
harus membopong kavling tanah dipundak mereka. Na’udzubillah.
Setiap daging yang tumbuh dari usaha yang haram maka neraka lebih pantas baginya (HR Ahmad).
Bahwa Rasulullah saw pernah mengangkatnya sebagai petugas pengumpul zakat. Beliau bersabda: ‘Wahai Abu Mas’ud, berangkatlah, semoga pada hari kiamat kelak aku tidak akan mendapatimu datang dalam keadaan punggungmu memikul seekor unta shadaqah yang meringkik-ringkik yang engkau curangi. Aku mejawab: ‘Jika demikian aku tidak jadi berangkat’. Beliau menjawab: ‘Aku tidak memaksamu’ (HR Abu Dawud).
Bagaimana pula, jika harta suap tersebut dinikmati oleh keluarganya. Ia-pun tetap harus mempertanggung jawabkan apa yang dimakan dan digunakan oleh keluarganya, keluarganya tidak berdosa jika mereka tidak tahu bahwa itu harta haram tetapi ikut berdosa jika tahu bahwa itu harta haram (dosa atas menikmati harta haram bukan dosa sebagai penerima suap). 8) Bagaimana pula jika harta itu diinfaqkan kepada mesjid, fakir miskin, panti Asuhan, dan lain-lain, hal ini tetap harus dipertanggung-jawabkan. Dan Allah tidak menghargai bagusnya niat dan mulianya tujuan, jika cara kerjanya diharamkan, menafkahkan harta haram tidak sah menurut Islam. 7) Sungguh suatu kedzaliman menafkahi anak istri atau memberi infaq kepada fakir miskin dengan harta haram.
Dan, sembahlah selain Dia (Allah) sesuka kamu, katakanlah: ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah mereka yang merugikan dirinya dan keluarganya pada hari kiamat. Bukankah yang demikian itu merupakan kerugian yang nyata (Az-Zumar 15).
Sesungguhnya Allah itu thayib (baik), tidak menerima (suatu amal) kecuali yang baik (halal) (HR Muslim).
Allah melarang kita untuk mencampur-adukkan antara yang haq (memberi nafkah atau infaq) dengan yang bathil (menggunakan harta haram).
Dan janganlah kamu campur-adukkan antara yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui (Al-Baqarah 42).
Walhasil, agar berhati-hati dalam mencari nafkah dan lebih baik berhenti sejenak memastikan harta itu halal atau haram sebelum mengambilnya. Dan mulailah dari hal-hal yang kecil dahulu semisal apakah pulpen kantor yang kita pakai digunakan juga untuk kepentingan pribadi?, apakah pulsa HP yang dibayar kantor digunakan juga untuk kepentingan pribadi?, apakah masih menerima souvenir indah (pulpen, jam meja, kalkulator, dan lain-lain) dari Supplier (klien)?, apakah masih menerima parcel akhir tahun dari supplier?, dan lain-lain. Sehingga jika menerima yang lebih besar berupa suap atau komisi akan mantap untuk menolaknya. Begitulah orang yang bertaqwa, sangat berhati-hati melangkah bagaikan berjalan di atas batu yang tajam.
Setiap daging yang tumbuh dari usaha yang haram maka neraka lebih pantas baginya (HR Ahmad).
Bahwa Rasulullah saw pernah mengangkatnya sebagai petugas pengumpul zakat. Beliau bersabda: ‘Wahai Abu Mas’ud, berangkatlah, semoga pada hari kiamat kelak aku tidak akan mendapatimu datang dalam keadaan punggungmu memikul seekor unta shadaqah yang meringkik-ringkik yang engkau curangi. Aku mejawab: ‘Jika demikian aku tidak jadi berangkat’. Beliau menjawab: ‘Aku tidak memaksamu’ (HR Abu Dawud).
Bagaimana pula, jika harta suap tersebut dinikmati oleh keluarganya. Ia-pun tetap harus mempertanggung jawabkan apa yang dimakan dan digunakan oleh keluarganya, keluarganya tidak berdosa jika mereka tidak tahu bahwa itu harta haram tetapi ikut berdosa jika tahu bahwa itu harta haram (dosa atas menikmati harta haram bukan dosa sebagai penerima suap). 8) Bagaimana pula jika harta itu diinfaqkan kepada mesjid, fakir miskin, panti Asuhan, dan lain-lain, hal ini tetap harus dipertanggung-jawabkan. Dan Allah tidak menghargai bagusnya niat dan mulianya tujuan, jika cara kerjanya diharamkan, menafkahkan harta haram tidak sah menurut Islam. 7) Sungguh suatu kedzaliman menafkahi anak istri atau memberi infaq kepada fakir miskin dengan harta haram.
Dan, sembahlah selain Dia (Allah) sesuka kamu, katakanlah: ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah mereka yang merugikan dirinya dan keluarganya pada hari kiamat. Bukankah yang demikian itu merupakan kerugian yang nyata (Az-Zumar 15).
Sesungguhnya Allah itu thayib (baik), tidak menerima (suatu amal) kecuali yang baik (halal) (HR Muslim).
Allah melarang kita untuk mencampur-adukkan antara yang haq (memberi nafkah atau infaq) dengan yang bathil (menggunakan harta haram).
Dan janganlah kamu campur-adukkan antara yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui (Al-Baqarah 42).
Walhasil, agar berhati-hati dalam mencari nafkah dan lebih baik berhenti sejenak memastikan harta itu halal atau haram sebelum mengambilnya. Dan mulailah dari hal-hal yang kecil dahulu semisal apakah pulpen kantor yang kita pakai digunakan juga untuk kepentingan pribadi?, apakah pulsa HP yang dibayar kantor digunakan juga untuk kepentingan pribadi?, apakah masih menerima souvenir indah (pulpen, jam meja, kalkulator, dan lain-lain) dari Supplier (klien)?, apakah masih menerima parcel akhir tahun dari supplier?, dan lain-lain. Sehingga jika menerima yang lebih besar berupa suap atau komisi akan mantap untuk menolaknya. Begitulah orang yang bertaqwa, sangat berhati-hati melangkah bagaikan berjalan di atas batu yang tajam.
Pembuktian dan sanksinya
Hukum pembuktian dalam Islam sama halnya dengan hukum syara’ yang lain, merupakan hukum yang digali dari dalil yang bersifat rinci. Hukum pembuktian kadang-kadang terjadi pada kasus pidana (‘uqubat), kadang terjadi pula pada kasus-kasus perdata (mu’amalat).
Bukti itu ada empat dalam Islam, yakni: pengakuan, sumpah, kesaksian dan dokumen-dokumen tertulis. Sedangkan indikasi (qarinah) tidak termasuk bukti.
Pengakuan
Pengakuan dari pelaku bahwa ia telah mengambil harta ghulul dan seorang Qadhi harus meneliti kebenaran pengakuannya itu, seperti halnya Rasulullah meneliti pengakuan zina oleh Al-Aslami (apakah engkau menyetubuhinya?, apakah seperti anak celak masuk ke dalam celak?, apakah seperti timba masuk ke dalam sumur? (HR Abu Dawud dan Daruquthni). Hal ini untuk memastikan bahwa ia benar-benar telah melakukannya.
Sumpah
Hal ini merupakan kelanjutan dari pengakuan , ia harus bersumpah atas perbuatan tersebut benar-benar telah dilakukannya. Sumpah ini atas permintaan Qadhi,
Sumpah itu wajib didasarkan pada niat orang yang meminta (HR Muslim)
Kesaksian
Dalam banyak ayat dan hadits dijelaskan bahwa pada umumnya kasus ‘uqubat dan mu’amalat dengan menghadirkan 2 orang saksi laki-laki, seperti: kasus jual beli (Al-Baqarah 282), wasiat (Al-Maidah 106), Talak dan rujuk (Ath-Thalaq 2), temuan luaqathah (HR Imam Ahmad), dan lain-lain, kecuali kasus zina dengan 4 orang saksi. Sedangkan jika tidak ada saksi laki-laki maka dapat diganti dengan 2 orang saksi wanita.
Kesaksian inipun harus disaksikan langsung oleh pemberi saksi (al-mu’ayanah), melalui indranya. Dan dilakukan dihadapan Qadhi pada sidang pengadilan, di luar pengadilan tidak sah.
Dokumen
Dokumen-dokumen yang ditanda-tangani oleh pemiliknya sendiri baik dihadapan instansi resmi maupun tidak, dokumen ini merupakan pengakuan tertulis dan tidak berbeda dengan pengakuan lisan. Begitu juga dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh Badan resmi dapat dijadikan bukti di pengadilan, salinan (copy) dokumen tidak dapat dijadikan bukti selama belum ada pengesahan dari Badan yang mengeluarkan. 9)
Hukuman sanksi (‘uqubat) terdiri dari 4 macam: had, qishash,
ta’zir dan mukhallafat. Sedangkan sanksi (‘uqubat) bagi pelaku ghulul adalah
ta’zir (bukan had), karena harta yang dicuri merupakan harta yang syubhat
(harta negara/baitul mal) dan merupakan harta milik umum, sama halnya anak
mencuri harta bapaknya, istri mencuri harta suaminya maka tidak dikenai had
tetapi ta’zir. Ta’zir adalah pelanggaran atas hukum syara’ (wajib dan haram),
tetapi belum ditetapkan kadar sanksinya secara syar’i maka diserahkan kepada
penguasa (qadhi/khalifah) untuk menetapkan sanksinya.
Sanksi ta’zir bisa berupa hukuman mati, jilid (cambuk), penjara, pengasingan, dan lain-lain. dan sanksi ini merupakan penebus dosa bagi pelakunya, di samping itu sanksi ini sebagai pencegah agar masyarakat tidak melakukan hal yang sama. Tetapi sebelum sanksi ta’zir dilakukan maka harta ghulul harus dikembalikan terlebih dahulu kepada pemiliknya. Jika barangnya telah rusak/cacat/berkurang maka harus dikembalikan dengan barang lain yang senilai harganya.
Barangsiapa menemukan barangnya terdapat pada seorang laki-laki maka ia yang paling berhak terhadap barang tersebut, dan orang yang menjualnya harus mengembalikan barang jualannya itu (HR Abu Dawud).
Dalam hal ini putusan Qadhi tidak mengubah hakikat hukum syari’at, yakni tidak dapat merubah haram menjadi halal atau sebaliknya. Hakim hanya dapat menghukumi apa yang dapat dilihat, didengar dan disaksiikan para saksi, dan Qadhi manusia biasa yang bisa saja salah. Jika keputusannya salah maka Qadhi memperoleh satu pahala, sedangkan dosanya ditanggung oleh penipunya. 1)
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan cara bathil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui (Al-Baqarah 188).
Wallahua’lam,
Sanksi ta’zir bisa berupa hukuman mati, jilid (cambuk), penjara, pengasingan, dan lain-lain. dan sanksi ini merupakan penebus dosa bagi pelakunya, di samping itu sanksi ini sebagai pencegah agar masyarakat tidak melakukan hal yang sama. Tetapi sebelum sanksi ta’zir dilakukan maka harta ghulul harus dikembalikan terlebih dahulu kepada pemiliknya. Jika barangnya telah rusak/cacat/berkurang maka harus dikembalikan dengan barang lain yang senilai harganya.
Barangsiapa menemukan barangnya terdapat pada seorang laki-laki maka ia yang paling berhak terhadap barang tersebut, dan orang yang menjualnya harus mengembalikan barang jualannya itu (HR Abu Dawud).
Dalam hal ini putusan Qadhi tidak mengubah hakikat hukum syari’at, yakni tidak dapat merubah haram menjadi halal atau sebaliknya. Hakim hanya dapat menghukumi apa yang dapat dilihat, didengar dan disaksiikan para saksi, dan Qadhi manusia biasa yang bisa saja salah. Jika keputusannya salah maka Qadhi memperoleh satu pahala, sedangkan dosanya ditanggung oleh penipunya. 1)
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan cara bathil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui (Al-Baqarah 188).
Wallahua’lam,
Maraji’:
1. Tafsir Ibnu Katsir
2. Tafsir Fi zhilalil Quran – Sayyid Quthb
3. Shahih Bukhari
4. Hukum pembuktian dalam Islam (Ahkamul bayyinat) – Ahmad ad-Da’ur
5. Sistem sanksi dalam Islam (Nidzamul ‘uqubat) – Abdurrahman al-Maliki
6. Halal haram dalam Islam – DR Yusuf Qaradhawi
7. Anatomi masyarakat Islam – DR Yusuf Qaradhawi
8. Halal dan haram – Mutawalli Sya’rawi
9. Sistem keuangan di negara Khilafah (Al-amwal fi daulah al-Khilafah) – Abdul Qadim Zallum
2. Tafsir Fi zhilalil Quran – Sayyid Quthb
3. Shahih Bukhari
4. Hukum pembuktian dalam Islam (Ahkamul bayyinat) – Ahmad ad-Da’ur
5. Sistem sanksi dalam Islam (Nidzamul ‘uqubat) – Abdurrahman al-Maliki
6. Halal haram dalam Islam – DR Yusuf Qaradhawi
7. Anatomi masyarakat Islam – DR Yusuf Qaradhawi
8. Halal dan haram – Mutawalli Sya’rawi
9. Sistem keuangan di negara Khilafah (Al-amwal fi daulah al-Khilafah) – Abdul Qadim Zallum
Pengertian Ghulul – Hukum Harta Ghulul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar