Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 28 Juni 2011

Download Buku Kemunculan Tata Dunia Baru - Negara Khilafah Islam

Download Buku Kemunculan Tata Dunia Baru - Negara Khilafah Islam

 
 Download Buku Kemunculan Tata Dunia Baru: Negara Khilafah Islam [PDF]
Isi


Pendahuluan [5]

Bab: 1
Penciptaan Negara Global Pemimpin    [8]
Politik Internasional dan Dinamikanya [8]
Dari Kekuatan Hebat ke Kekuatan Global Nomor Satu     [8]
Penciptaan Negara Global Nomor Satu: Kemungkinan Hari Ini   [11]

Bab: 2
Populasi dan Demografi Negara Khilafah Islam yang Baru Terbit [15]
Pendahuluan dan Pembantahan atas Kecacatan teoretis                [15]
Tren-Tren Populasi di Dunia Islam [17]
Berbagai Karakteristik Distribusi Demografi Umat Islam             [18]
Skenario Kaum Muslimin di Dunia Barat [20]

Bab: 3
Kekuatan Militer Negara Khilafah yang Baru Terbit [23]
Pendahuluan [23]
Statistika Komparatif Status Militer Dunia Islam                [24]
Kemampuan Militer Dunia Islam [26]
Kebijakan Kafir Barat Untuk Mengekang Semangat Pasukan Islam         [29]
Pasukan Islam Akan Bangkit Kembali [29]
Bab: 4
Kekuatan Ekonomi dan Industri Negara Khilafah yang Baru Terbit  [31]
Pembangunan Ekonomi: Pembantahan Kebohongan        [31]
Pangan Pokok untuk Pemenuhan Mandiri                [34]
Katun: Sumber Utama Pakaian          [35]
Industrialisasi: Sumber Daya Alam Dunia Islam   [36]
Sumberdaya Minyak Alam    [37]
Sumberdaya Gas Alam             [38]
Cadangan Batubara   [39]
Cadangan Uranium    [39]
Bijih Besi          [41]
Tenaga Kerja dan Pasar Domestik [41]
Dunia Islam masih suatu Perekonomian Besar      [43]

Bab: 5
Kekuatan Geostrategi Negara Khilafah Islam yang Baru Terbit [45]
Tempat-Tempat Strategis bagi Inggris Imperial: Masa Lalu Geostrategi [45]
Kolonialisme Amerika: Geostrategi Hari Sekarang            [48]
Bangkitnya Negara Khilafah Islam: Implikasi-Implikasi Geostrategis [52]
Kepentingan Strategis Selat Malaka [53]
Selat Gibraltar, Mediterania, Terusan Suez dan Bosphorus         [57]
Jalur Sutra       [61]


Bab: 6
Kekuatan Ideologi Negara Khilafah Islam    [63]
Ideologi (Jalan Hidup)             [63]
Bagaimana Ideologi Menjadi Ada? [63]
Kekuatan vis-à-vis Superioritas Ideologi Islam     [64]
Superioritas dalam Hal Implementasi [65]
Superioritas dalam Hal Penyebaran [68]
Superioritas dalam Hal Penjagaan [69]

Bab: 7
Halangan-Halangan    [72]
Pendahuluan [72]
Alasan-Alasan bagi Kemerosotan Umat Hari Ini    [73]
Alasan Pertama: Implementasi Sistem Barat Sekular        [74]
Alasan Kedua: Racun Nasionalisme [77]
Proyek Nasionalisme, Pecah Belah, Penjajahan dan Kemerdekaan [79]
Alasan Ketiga: Para Penguasa Budak Barat              [83]
Daftar Berbagai Kejahatan Semua Penguasa Kriminal di Dunia Muslim [85]
Dalam Foto: Satu Kriminal

Bab: 8
Solusinya  [89]
Pendahuluan [89]
Kehidupan tanpa Amir ul-Mukminin [90]
Tanda-Tanda Kebangkitan Kembali Umat Islam: Penyelesaian Tahap I dan II [91]
Efek-Efek Pasca 9/11               [95]
Oposisi Terhadap Amerika sedang Tumbuh di Dunia Islam          [96]
Amerika Dipandang sebagai Kekuatan Hipokrit, Hagemonis      [97]
Umat Islam Mendukung Persatuan, Khilafah dan Syariah              [98]
Para Wanita Muslimah juga Menginginkan Khilafah dan Syariah [99]
Para Pemimpin Barat Bicara Secara Terbuka tentang Khilafah dan Berbagai Konsekuensinya           [99]
Tahap Final Kemunculan Tata Dunia Baru                [101]
Referensi-Referensi  [104]

Dunia ini sedang ada di persimpangan jalan. Masa kita adalah sulit. Saat ini tidaklah stabil. Tapi insya Allah masa depan cerah. Tanda-tanda ‘Abad Amerika’ menuju akhir adalah sangat jelas. Siapapun dengan pengetahuan cukup bisa melihat ini sedang benar terjadi. Amerika sedang menjadi lemah. Dia kelelahan. Dia rentan. Jangkauan globalnya telah terbatas. Ambisi globalnya bahkan ditantang oleh negara-negara seperti Korea Utara. Dia tidak lagi sendirian mengendalikan dunia. Dia ditikam oleh naiknya Russia dan China yang tampak.  Tapi terdapat tantangan lebih besar yang sedang dihadapinya; menyelamatkan status quo-nya dalam berkuasa sebagai satu-satunya negara global dunia.
....
Oleh Karena itu, buku berjudul ‘Kemunculan Tata Dunia Baru’ ini telah ditulis dengan investigasi mendalam dan tuntas dan analisis berbagai artikel akademik, paper penelitian, polling opini global, pernyataan kebijakan dan manuver kebijakan Barat, kejadian global, geopolitik, informasi statistik, dan fakta-fakta dan angka-angka yang menunjuk pada realitas-realitas di atas. Ini menggarisbawahi bahwa, sementara Amerika menjadi ‘pria sakit’ dunia yang baru dan sementara Cina dan Rusia sedang memfrustasi Amerika untuk menjadi suatu kekuatan global, perubahan jelas dan mendasar sedang melaju cepat di dunia Islam, karena umat Islam melihat kemungkinan nyata untuk muncul sebagai negara pemimpin unik ideologis di dunia. Untuk mencapai penilaian objektif atas realitas global yang menonjol ini, buku ini berkonsentrasi pada faktor-faktor terpenting yang dibutuhkan untuk menjadi negara pemimpin nomor satu atau negara global terdepan. Pemeriksaan faktor-faktor krusial semacam itu menunjukkan bahwa ketersediaan katalis-katalis itu di dunia Islam membuatnya suatu realitas tak terhindarkan bahwa dunia akan sekali lagi menyaksikan bangkitnya ‘Negara Khilafah Islam’.
 ....

Sebarkan buku ini. Semoga bermanfaat sebesar-besarnya. Aamiin, ya Rahman Swt.
Emerging World Order: The Islamic Khilafah State
Jafar Muhammad Abu Abdullah
BANGLADESH

Minggu, 26 Juni 2011

Buku Sistem Pemerintahan Islam - Nidzamul Hukmi fil Islam


Buku Sistem Pemerintahan Islam - Nidzamul Hukmi fil Islam


DAFTAR ISI


UNIVERSALITAS SYARI'AT ISLAM; Sebuah Pengantar ...............  1

PEMERINTAHAN ISLAM;
Pemerintahan Alternatif Dalam Perspektif Islam ...............  3

NEGARA ISLAM .................................................  8

BENTUK PEMERINTAHAN ISLAM .................................... 20
A. Pemerintahan Islam Bukan Monarki ......................... 20
B. Pemerintahan Islam Bukan Republik ......................... 21
C. Pemerintahan Islam Bukan Kekaisaran ....................... 23
D. Pemerintahan Islam Bukan Federasi ......................... 24

SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM; SISTEM KHILAFAH ................... 27

PILAR-PILAR PEMERINTAHAN ISLAM                                  
A. kedaulatan Di Tangan Syara' ............................... 36
B. Kekuasaan Milik Umat ...................................... 38
C. Mengangkat Satu Khalifah Hukumnya Fardhu Bagi Seluruh
   Kaum Muslimin ............................................. 41
D. Hanya Khalifah Yang Berhak Melakukan Tabanni (adopsi)
   Terhadap Hukum-hukum Syara' ............................... 42

STRUKTUR NEGARA ISLAM ........................................ 43

KHALIFAH  .................................................... 48
A. Syarat-syarat Khalifah .................................... 49
   a.1. Syarat In'iqad ....................................... 49
   a.2. Syarat Afdhaliyah .................................... 53
B. Terwujudnya Akad Khilafah ................................. 57
C. Pemerintahan Pemberontak .................................. 59
D. Yang Berhak Dijadikan Khilafah ............................ 60
E. Yang Berhak Mengangkat Khalifah ........................... 64
F. Bai'at .................................................... 69
G. Mencalonkan Seseorang Untuk Jabatan Khilafah .............. 73
H. Metode (Thariqah) Pengangkatan Khalifah ................... 74
I. Penunjukan Pengganti Khalifah Atau Sistem Putera Mahkota .. 96
J. Sistem Putera Mahkota ..................................... 98
K. Masa Jabatan Khalifah .................................... 102
L. Batas Waktu Pengangkatan Khalifah ........................ 103
M. Kesatuan Khilafah ........................................ 105
N. Wewenang Khalifah ........................................ 107
O. Cara Khalifah Melayani Urusan Rakyat ..................... 116
P. Tabanni Khalifah Wajib Terikat Dengan Hukum Syara' ....... 121
Q. Pemberhentian Khalifah ................................... 125
R. Umat Tidak Berhak Memberhentikan Khalifah ................ 130
S. Mahkamah Madzalim Yang Berhak Memberhentikan Khalifah .... 133

NEGARA KHILAFAH; BUKAN NEGARA THEOKRASI ..................... 135

KEPEMIMPINAN ISLAM;
KEPEMIMPINAN TUNGGAL, BUKAN  KEPEMIMPINAN KOLEKTIF .......... 148

MU'AWIN ..................................................... 153

MU'AWIN TAFWIDH;
Pembantu Khalifah Bidang Pemerintahan ....................... 154
A. Syarat-syarat Mu'awin Tafwidh ............................ 158
B. Syarat-syarat Penyerahan Jabatan Mua'win Tafwidh ......... 159
C. Tugas Mu'awin Tafwidh .................................... 162

MUA'WIN TANFIDZ
Pembantu Khalifah Bidang Administrasi ....................... 168

AMIR JIHAD
Panglima Perang ............................................. 173
A. Deparetemen Luar Negeri .................................. 175
B. Departemen Peperangan .................................... 176
C. Departemen Pertahanan Dan Keamanan Dalam Negeri .......... 177
D. Departemen Perindustrian ................................. 181

PASUKAN ..................................................... 185
A. Klasifikasi Pasukan ...................................... 186
B. Bendera Dan Panji Pasukan ................................ 194
C. Khalifah Adalah Panglima Pasukan ........................ 198
D. Pendidikan Militer Dan Keislaman Bagi Tentara ............ 200
E. Negara Islam Harus Siap Setiap Saat Berperang ............ 204

WALI
Pimpinan Daerah ............................................. 211
A. Pengangkatan Dan Pemberhentian Wali ...................... 213
B. Wewenang Wali ............................................ 217
C. Khalifah Harus Mengontrol Tugas Wali ..................... 223

AL QADLA'
Lembaga Peradilan ........................................... 226
A. Bentuk-bentuk Pengadilan ................................. 230
B. Syarat-syarat Qadli ...................................... 233
C. Pengangkatan Qadhi ....................................... 234
D. Bentuk Mahkamah .......................................... 235
E. Qadhi Muhtasib ........................................... 243
F. Wewenang Qadhi Muhtasib .................................. 243
G. Qadli Madzalim ........................................... 247
H. Pengangkatan Dan Pemberhentian Qadhi Madzalim ............ 248
I. Wewenang Qadhi Madzalim .................................. 251

MAJELIS UMMAT
A. Hak Syura (Mengambil Pendapat) ........................... 269
B. Pemilihan Anggota Majelis  Umat .......................... 271
C. Masa Keanggotaan Majelis Umat ............................ 273
D. Keanggotaan Majelis Umat ................................. 273
E. Wewenang Majelis Umat .................................... 277
F. Hak Berbicara Dan Menyampaikan Pendapat .................. 287

ISLAM WAJIB DITERAPKAN SECARA MENYELURUH DAN SEKALIGUS ...... 291

ISLAM MENGHARAMKAN PEMERINTAHAN MILITER ..................... 299

TAAT PADA PENGUASA MUSLIM YANG MEMERINTAH BERDASARKAN
ISLAM ADALAH FARDHU ................................................ 305

MELAKUKAN KOREKSI TERHADA PENGUASA;
FARDHU BAGI KAUM MUSLIMIN  .................................. 311

MENDIRIKAN PARTAI POLITIK ADALAH FARDHU KIFAYAH ................. 321


Judul Asli
Nidzamul Hukmi Fil Islami
Penulis
Taqiyuddin An Nabhani
Penerbit
Darul Ummat

Penerjemah
Drs. Moh. Maghfur Wachid
Penyunting
Drs. Hafidz Abdurrahman, M.M.

Buku Sistem Pemerintahan Islam - Nidzamul Hukmi fil Islam  
 Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir

Hukum Mendirikan Partai Politik Islam Fardhu Kifayah - Dalil


Hukum Mendirikan Partai Politik Islam Fardhu Kifayah - Dalil


MENDIRIKAN PARTAI POLITIK
FARDLU KIFAYAH

Melakukan koreksi terhadap penguasa, yang telah diperintahkan Allah atas kaum muslimin, esensinya merupakan tugas individu sebagai pribadi serta tugas jama'ah dan partai sebagai kelompok.

Sebagaimana Allah SWT. telah memerintah berdakwah kepada Islam, amar ma'ruf dan nahi munkar serta mengoreksi para penguasa, maka Allah juga memerintah mereka untuk mendirikan partai politik di antara mereka, yang berdiri sebagai sebuah kelompok dakwah yang menyeru kepada kebaikan atau kepada Islam, amar ma'ruf dan nahi munkar serta mengoreksi penguasa. Allah SWT. berfirman:

"Hendaknya ada di antara kalian sekelompok umat yang menyeru pada kebaikan, serta mengajak pada kema'rufan dan mencegah dari kemunkaran." (Quran Surat Ali Imran: 104)

Artinya, wahai kaum muslimin, hendaknya kalian membentuk sebuah jama'ah di antara kalian, yang memiliki kriteria sebagai sebuah jama'ah, yang melakukan dua tugas yaitu tugas menyeru kepada Islam dan tugas mengajak pada kema'rufan serta mencegah dari kemunkaran.

Perintah untuk mendirikan jama'ah itu merupakan perintah yang tegas. Sebab, tugas yang dijelaskan oleh ayat di atas, agar dilaksanakan oleh jama'ah itu adalah fardhu, yang harus dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin, sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam banyak ayat dan hadits. Dengan demikian, perintah yang tertuang di dalam ayat tersebut bermakna wajib, yaitu fardhu kifayah bagi seluruh kaum muslimin. Yang apabila tugas tersebut telah dilaksanakan oleh sebagian orang hingga tuntas, maka yang lain telah gugur kewajibannya untuk melaksanakan tugas tersebut. Perintah ini bukan merupakan fardhu ain (yang berlaku bagi masing-masing individu muslim). Karena Allah meminta kepada kaum muslimin agar mereka mendirikan sebuah jama'ah dari kalangan mereka, yang bertugas menyeru pada kebaikan serta amar ma'ruf dan nahi munkar. Di dalam ayat ini tidak ada perintah kepada seluruh kaum muslimin, agar mereka secara keseluruhan mendirikannya. Melainkan hanya perintah kepada sebagian di antara mereka agar mereka mendirikan sebuah jama'ah dari kalangan mereka, untuk melaksanakan kefardhuan ini. Jadi, perintah di dalam ayat ini diarahkan para perintah untuk mendirikan jama'ah, bukan perintah untuk melakukan dua tugas tersebut.

Kedua tugas tersebut hanya merupakan penjelasan tentang tugas-tugas jama'ah yang harus didirikan, sehingga tugas tersebut hanya merupakan kriteria bentuk jama'ah yang harus didirikan.

Sedangkan sebuah jama'ah, hingga menjadi sebuah jama'ah yang secara langsung mampu melaksanakan tugas tersebut, dalam kapasitasnya sebagai sebuah jama'ah itu harus memiliki syarat-syarat  tertentu sehingga menjadi sebuah jama'ah, yaitu harus melaksanakan tugas tersebut. Sedangkan syarat-syarat yang menjadikan jama'ah itu menjadi sebuah jama'ah adalah adanya ikatan yang mengikat semua anggotanya agar menjadi satu tubuh atau sebuah kelompok. Di mana tanpa adanya ikatan itu, niscaya jama'ah yang harus didirikan -- sebagai sebuah jama'ah yang bertugas sebagaimana layaknya sebuah jama'ah -- itu tidak akan pernah terwujud. Sedangkan syarat lain adalah adanya sesuatu yang bisa menjaga eksistensi jama'ah, yaitu harus ada pemimpin yang wajib ditaati, sehingga bisa melaksanakan fungsi jama'ah. Karena syara' telah memerintah setiap kelompok yang mencapai jumlah 3 orang atau lebih agar mengangkat pemimpin yang memimpin kelompok tersebut. Nabi Saw. bersabda:

"Tidaklah halal bagi tiga orang yang berada di tanah lapang, selain apabila mereka dipimpin oleh salah seorang di antara mereka."

Dua ketentuan tersebut, yaitu adanya ikatan antara anggota jama'ah serta adanya pemimpin yang wajib ditaati, menunjukkan bahwa firman Allah SWT.: "Hendaknya ada di antara kalian sekelompok umat." di atas maknanya adalah hendaknya di antara kalian ada jama'ah yang memiliki ikatan yang bisa mengikat semua anggotanya serta memiliki pemimpin yang wajib ditaati. Inilah jama'ah, kutlah, partai, organisasi atau apapun namanya, yang baru bisa dianggap memenuhi syarat yang menjadikannya sebagai jama'ah, serta mengukuhkan eksistensinya sebagai sebuah jama'ah. Jadi, jelas sekali bahwa ayat ini memerintah mendirikan partai, jama'ah, organisasi, atau lembaga atau apapun yang serupa.

Adapun perintah agar mendirikan jama'ah di dalam ayat ini yang merupakan perintah agar mendirikan partai politik itu muncul dari ayat yang menjelaskan tugas jama'ah tersebut. Yaitu tugas menyeru kepada kebaikan serta amar ma'ruf dan nahi munkar. Di mana tugas amar ma'ruf dan nahi munkar itu berbentuk umum, sehingga mencakup kegiatan memerintah mereka agar melakukan kema'rufan serta mencegah mereka dari kemunkaran. Maka, perintah itu berarti perintah wajib melakukan koreksi terhadap mereka. Sedangkan mengoreksi para penguasa itu merupakan kegiatan politik, yang dilakukan oleh partai politik. Bahkan, kegiatan tersebut merupakan kegiatan partai politik yang paling penting.

Oleh karena itu, ayat di atas menunjukkan hukum wajibnya mendirikan partai politik agar partai politik itu bisa menyeru kepada Islam, amar ma'ruf dan nahi munkar serta mengoreksi para penguasa terhadap semua tindakan dan tingkah laku yang mereka lakukan.

Ayat ini juga menunjukkan bahwa partai-partai itu harus berbentuk partai Islam, yang berdiri di atas landasan akidah Islam serta men-tabanni (mengadopsi) hukum-hukum syara' tertentu. Dan tidak diperbolehkan partai itu berupa partai Komunis, Sosialis, Kapitalis, Nasionalis, Kesukuan, atau partai yang menyerukan Demokrasi, Sekularisasi, Free Masonry atau partai yang berdiri di atas landasan selain akidah Islam serta mengadopsi selain hukum Islam. Karena ayat di atas telah menentukan kriteria partai-partai tersebut dengan tugas-tugas yang harus diembannya. Dan tugas-tugas itu adalah menyeru kepada Islam serta amar ma'ruf dan nahi munkar. Karena itu, yang melakukan tugas-tugas ini harus mengemban Islam serta berdiri di atas landasan Islam dan mengadopsi hukum-hukum Islam. Sedangkan mereka yang berkelompok dengan landasan Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Demokrasi, Sekularisasi, Free Masonry, Nasionalisme, Sukuisme, ataupun Kedaerahan itu tidak mungkin berdiri di atas landasan Islam dan mengemban Islam serta mengadopsi hukum-hukum Islam. Melainkan dengan landasan kufur serta berkelompok dengan dasar pemikiran-pemikiran kufur.

Oleh karena itu, kaum muslimin haram untuk berkelompok dengan landasan Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Demokrasi, Sekularisasi, Free Masonry, Nasionalisme, Sukuisme, atau landasan-landasan lain selain landasan Islam.

Partai politik tersebut harus terbuka dan bukan partai di bawah tanah, karena partai tersebut menyeru kepada kebaikan, amar ma'ruf dan nahi munkar serta mengoreksi penguasa. Sedangkan tugas untuk meraih kekuasaan melalui tangan umat itu merupakan sesuatu yang terbuka dan terang-terangan, bukan dengan cara sembunyi-sembunyi dan dirahasiakan, sehingga betul-betul bisa meraih tujuan yang diharapkan.

Tugas-tugas partai tersebut harus bukan berupa tugas-tugas yang bersifat fisik, sebab aktivitas partai itu adalah aktivitas lisan. Yaitu aktivitas untuk menyeru kepada Islam  serta amar ma'ruf dan nahi munkar dengan lisan. Oleh karena itu, sarana-sarana yang dipergunakannya bersifat damai dan tidak mempergunakan senjata serta kekerasan sebagai sarana untuk melaksanakan tugasnya. Karena mengangkat senjata untuk menentang penguasa itu tidak diperbolehkan, sebab banyak hadits yang mencegah tindakan tersebut. Amar ma'ruf dan nahi munkar serta mengoreksi para penguasa itu tidak harus mempergunakan senjata, karena itu sarananya harus bersifat damai dan tidak boleh bersifat fisik (kekerasan). Sedangkan mengangkat senjata untuk menentang penguasa itu hukumnya haram kecuali dalam satu keadaan, yaitu apabila nampak adanya kekufuran yang nyata, di mana kita bisa membuktikan di hadapan Allah. Sebagaimana yang tertuang di dalam hadits Ubadah Bin Shamit: "Dan hendaknya kami tidak merebut urusan (kekuasaan) tersebut dari yang berhak, selain kalau (sabda Rasulullah): 'Kalian menemukan kekufuran yang nyata, di mana kalian mempunyai bukti yang pasti di hadapan Allah'."

Hukum Mendirikan Partai Politik Islam Fardhu Kifayah - Dalil
 Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir

Wajib Memerangi Khalifah Yang Jelas Terbukti Kafir

  


Wajib Memerangi Khalifah Yang Jelas Terbukti Kafir

Sebagaimana perintah ketaatan di atas telah dikecualikan dari satu hal, yaitu dari perintah untuk melakukan kemaksiatan, maka demikian halnya keharaman untuk memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah, serta mengangkat senjata dalam rangka menentangnya juga dikecualikan dari satu hal, yaitu adanya kekufuran yang nyata. Kalau kekufuran yang nyata itu nampak, maka wajib diperangi. Karena adanya nash-nash yang menjelaskan tentang keadaan semacam ini. Sehingga pengecualinya berdasarkan nash.

Auf Bin Asyja'i berkata: "Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai, dan merekapun mencintai kalian; mereka mendo'akan kalian dan kalianpun mendo'akan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan merekapun membenci kalian; kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian." Ditanyakan kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab: "Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di tengah-tengah kamu sekalian."
Yang dimaksud dengan "menegakkan shalat" di atas adalah "memerintah dengan Islam", yaitu menerapkan hukum-hukum syara'. Jadi pemakaian ungkapan "menegakkan shalat" adalah termasuk dalam katagori "Itlaqul juz'i wa iradatul kulli" (menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan). Seperti firman Allah:
"Maka, merdekakanlah budak." (TQS. Al Mujadalah: 3)
Yang dimaksud adalah memerdekakan budak secara keseluruhan, bukan hanya raqabah (budak mukatab) saja.

Dalam hadist itu, Rasulullah menyatakan: "Ma Aqaama Fiikum As Shalat" (selagi mereka masih menegakkan shalat), yang dimaksud oleh pernyataan Beliau itu adalah menegakkan seluruh hukum syara', bukan hanya menegakkan shalat saja. Hal ini merupakan pembahasan Majaz (figurative language; bahasa kias) yaitu "Itlaqul juz'i wa iradatul kulli" (menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan).

Diriwayatkan dari Umi Salamah; bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
"Akan ada para pemimpin, lalu kalian akan mengetahui kema'rufannya dan kemunkarannya, maka siapa saja yang membencinya dia akan bebas, dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka). Mereka bertanya: "Tidakkah kita akan memerangi mereka?" Beliau bersabda: "Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)."
Yang dimaksud dengan pernyataan di atas adalah selagi mereka masih menegakkan hukum-hukum syara', yang antara lain adalah hukum shalat. Di mana pembahasan itu merupakan pembahasan "Itlaqul juz'i wa iradatul kulli" (menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan).

Diriwayatkan pula dari Ubadah Bin Shamit yang menyatakan:
"Kami diseru oleh Nabi Saw. lalu kami membai'at Beliau." Dia melanjutkan: "Beliau mengambil janji dari kami, agar kami membai'atnya dengan mendengarkan dan mentaati (semua perintahnya), baik dalam keadaan lapang maupun terpaksa; baik ketika sedih maupun gembira, serta dalam keadaan yang tidak menyenangkan kami; juga agar kami tidak merebut urusan (pemerintahan) dari yang berhak (khalifah yang sah), kecuali kalau (kata Beliau): “Kalian menemukan kekufuran yang nyata, dan kalian sanggup membuktikannya di hadapan Allah.'"

Tiga hadits di atas, yaitu hadits dari Auf Bin Malik, hadits Umi Salamah, hadits Ubadah Bin Shamit itu tema sentralnya adalah memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, di mana hadits-hadits tersebut semuanya berupa larangan memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, dengan larangan yang tegas:
"Tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang." Beliau menjawab: "Jangan."
"Tidakkah kita perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab: "Jangan."
"Dan hendaknya kami tidak merebut urusan (kekuasaan) tersebut dari yang berhak."

Semuanya itu melarang memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah, dengan larangan yang tegas. Sebab, kalau ada suatu larangan kemudian larangan tersebut disertai dengan kecaman bagi yang memisahkan diri, seperti dalam hadits:
"Siapa saja yang memisahkan diri dari suatu ketaatan, serta memisahkan diri dari jama'ah, (lalu mati) maka matinya adalah seperti mati jahiliyah."

Maka, larangan itu berarti larangan yang tegas atau bermakna haram. Sebab mengklaim matinya orang yang memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah, dengan klaim mati jahiliyah itu menjadi indikasi yang menunjukkan adanya larangan dengan tegas. Karena itu, hadits-hadits ini menjadi dalil atas keharaman memisahkan diri dari seorang khalifah.

Akan tetapi larangan di atas dikecualikan dari satu keadaan, yang dinyatakan oleh dua hadits yang pertama, yaitu tidak mendirikan shalat dan tidak melaksanakan shalat. Kemudian hal itu dipertegas dengan pernyataan hadits ketiga dengan adanya kekufuran yang nyata.

Tidak menegakkan shalat dan tidak melaksanakan shalat, maksudnya adalah tidak memerintah dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, atau memerintah dengan hukum-hukum kufur, sehingga penampakan kekufuran tersebut tidak meragukan lagi.
Kufrul bawwah (kekufuran yang nyata) adalah kata yang maknanya umum, karena kata itu merupakan kata yang menunjukkan jenis yang masih bersifat umum, sehingga kata tersebut merupakan kata yang bermakna umum. Jadi, maksudnya adalah apabila kekufuran yang nyata tersebut benar-benar nampak, maka hukum memisahkan diri dari kekuasaannya adalah wajib. Baik dia memerintah dengan hukum-hukum kufur, seperti kalau dia memerintah dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah, atau tidak memerintah dengan hukum-hukum Islam, seperti membiarkan orang-orang murtad dari Islam, padahal orang-orang murtad itu menunjukkan kekufurannya secara terang-terangan, ataupun yang lain.
Fakta-fakta ini semua merupakan fakta kekufuran yang nyata, yaitu umum mencakup semua kekufuran. Inilah keadaan yang mengecualikan, yaitu nampaknya kekufuran yang nyata, sehingga ketika kekufuran yang nyata itu benar-benar nampak, maka wajib memisahkan diri.

Ketentuan makna di dalam hadits-hadits yang mewajibkan memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah di atas dengan satu keadaan itu adalah karena Rasulullah Saw. mencegah agar tidak menentang mereka, memerangi dan merebut kekuasaan dari tangan mereka, kemudian Beliau mengecualikan semuanya itu dari satu keadaan. Pengecualian memisahkan diri yang sebelumnya merupakan larangan itu berarti diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang dikecualikan.
Sehingga mafhum hadits-hadits tersebut menunjukkan adanya perintah untuk menentang seorang khalifah, memerangi dan merebut kekuasaan dari tangannya, apabila keadaan (kekufuran yang nyata) itu terjadi. Karena makna mafhum sama seperti makna mantuq, dilihat dari segi hujjah. Sehingga makna mafhum itu juga bisa menjadi dalil yang menunjukkan, bahwa Allah memerintah menentang para khalifah serta memerangi dan merebut kekuasaan dari tangan mereka, apabila kekufuran yang nyata tersebut telah terlihat.

Sedangkan qarinah yang menunjukkan bahwa perintah itu bermakna wajib, adalah tema sentral perintah itu sendiri yang disertai ta'kid (penegasan) terhadap perintah itu. Sehingga memerintah dengan hukum-hukum Islam itu jelas telah diwajibkan oleh Allah, dan bukannya disunahkan. Sedangkan nampaknya kekufuran yang nyata, sebaliknya, telah diharamkan oleh syara', dan bukannya dimakruhkan. Maka, tema sentral perintah tersebut menjadi qarinah yang menunjukkan bahwa perintah tersebut merupakan perintah yang tegas. Sehingga memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah dalam keadaan yang dikecualikan itu, tidak bisa dinilai hanya mubah, tetapi jelas fardhu bagi kaum muslimin.

Akan tetapi harus difahami, bahwa yang dimaksud dengan nampaknya kekufuran yang nyata itu adalah kekufuran yang bisa dibuktikan dengan dalil yang pasti, bahwa ia jelas-jelas kufur. Karena Rasulullah Saw. tidak hanya menyatakan sampai di situ; "Kufran Bawwahan" melainkan Beliau melanjutkan dengan sabda Beliau berikutnya: "Di mana kalian memiliki bukti di hadapan Allah (tentang kekufuran tersebut)." Dan kata Burhan, tidak biasa dipergunakan selain untuk menunjukkan dalil yang tegas (qath'i).
Oleh karena itu, adanya dalil yang qath'i menjadi salah satu syarat memisahkan diri. Apabila masih ada bukti yang masih kabur; apakah kufur atau tidak, atau hanya dengan bukti yang bersifat dugaan (dzanni) bahwa ia telah kafir, sekalipun bukti tersebut benar, maka tetap tidak diperbolehkan untuk memisahkan diri. Karena memisahkan diri tidak diperbolehkan, selain apabila ada bukti yang pasti bahwa ia telah benar-benar kafir.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kekufuran yang nyata, adalah orang yang tidak lagi diragukan kekafirannya, serta orang yang bisa dibuktikan dengan bukti yang pasti (qath'i) bahwa dia benar-benar kafir. Apabila seorang khalifah memerintah melakukan suatu perbuatan atau tindakan, yang diliputi kesamaran bahwa dia tidak kafir, maka tidak boleh memisahkan diri dari kekuasaannya, dengan alasan kekufuran yang nyata, karena adanya kesamaran tadi.
Semisal, kalau seorang khalifah memerintah mempelajari teori dialektika di perguruan tinggi, atau mempelajari akidah-akidah kufur, padahal anda yakin bahwa mempelajari akidah kufur bisa menyebabkan kekufuran, maka anda tetap haram memeranginya. Anda juga tidak boleh berlepas diri dari pemerintahannya dengan alasan terlihatnya kekufuran yang nyata. Karena diapun memiliki alasan yang membolehkan untuk mempelajari akidah-akidah kufur, sebagaimana yang ada di dalam Al Qur'an. Di mana Allah paparkan semuanya kemudian semuanya ditentang.

Dengan demikian, setiap sesuatu yang mempunyai dalil, atau syubhat ud-dalil (dalil yang masih diperselisihkan) yang menyatakan bukan termasuk kufur, sedangkan di sisi lain ada dalil atau syubhat ud-dalil yang menyatakan termasuk Islam, maka perintah seorang khalifah untuk melakukannya, atau dia melakukannya sendiri, tetap tidak bisa diklaim dengan hukum-hukum kufur, juga tidak boleh diklaim dengan status menampakkan kekufuran yang nyata, sehingga tidak termasuk dalam pengecualian. Oleh karena itu, tidak boleh memisahkan diri dengan alasan tersebut. Malah tetap wajib memegang bai’at taat.

"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (TQS. Asy-Syuura: 10)

"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (TQS. An-nisa [4]: 59)

Diriwayatkan dari Adi bin Hatim: Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu.” Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan, Beliau membaca ayat ini: Ittakhadzû ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh, hingga selesai [QS. (9) at-Taubah: 31]. Saya berkata, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Beliau bertanya, “Bukankah para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian mengharamkannya; menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian menghalalkannya.” Aku menjawab, “Memang begitulah.” Beliau bersabda, “Itulah ibadah (penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka.” (HR. ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim).

“Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintah kalian dengan hukum yang tidak kalian ketahui (imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa yang kalian ingkari. Sehingga terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi kalian untuk menaatinya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah. Jika diangkat amir (yang sah menurut hukum Islam) atas kalian seorang hamba sahaya Habasyi yang hitam legam maka dengar dan taatilah dia selama dia menegakkan di tengah kalian Kitabullah.” (HR. at-Tirmidzi)

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (TQS. An-Nisaa': 60)

”Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad dari Ali ra.)

“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang makruf.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i)

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan,..." (TQS. An-Nisaa': 65)

Wajib Mengoreksi Penguasa Bagi Kaum Muslimin - Dalil Hukum


 Wajib Mengoreksi Penguasa Bagi Kaum Muslimin - Dalil Hukum


MELAKUKAN KOREKSI TERHADAP PENGUASA; FARDLU
BAGI KAUM MUSLIMIN

Melakukan koreksi terhadap penguasa hukumnya fardlu. Dan makna ketaatan kepada mereka itu --sekalipun mereka berbuat dzalim dan merampas hak rakyat-- bukan berarti harus mendiamkan mereka. Tetapi mentaati mereka hukumnya tetap wajib, sedangkan melakukan koreksi terhadap mereka atas perilaku dan tindakan-tindakan yang mereka lakukan itu juga sama-sama wajib.

Allah SWT. telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melakukan koreksi terhadap penguasa mereka. Dan sifat perintah kepada mereka agar merubah para penguasa tersebut bersifat tegas; apabila mereka merampas hak-hak rakyat, mengabaikan kewajiban-kewajiban rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, menyimpang dari hukum-hukum Islam, atau memerintah dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah.

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Umi Salamah, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

"Akan ada para pemimpin, lalu kalian akan mengetahui kema' rufannya dan kemunkarannya, maka siapa saja yang membencinya dia akan bebas, dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka). Mereka bertanya: "Tidakkah kita akan memerangi mereka?" Beliau bersabda: "Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)."

Dalam riwayat lain:

"Maka, siapa saja yang membencinya, dia akan bebas. Dan siapa saja yang mengingkarinya, dia akan selamat. Tetapi, siapa saja yang rela dan mengikuti (akan celaka)."

Riwayat ini menjelaskan maksud riwayat di atas, bahwa Rasulullah Saw. telah memerintah agar mengingkari seorang penguasa, bahkan wajib mengingkarinya dengan sarana apapun yang bisa dia pergunakan. Baik dengan tangan, tetapi dengan catatan tidak membunuh atau menggunakan pedang, ataupun dengan lisan, yaitu dengan ucapan, apapun wujudnya, maupun dengan hati, apabila tidak mampu menggunakan tangan dan lisan. Sehingga orang yang tidak mengingkarinya, dianggap ikut berdosa sama seperti penguasa tersebut. Karena beliau menyatakan: "Siapa yang rela dengan apa yang mereka lakukan, serta mengikutinya, maka dia tidak bebas dan tidak selamat dari dosa.

Dalil-dalil tentang perintah pada kema'rufan serta menolak kemunkaran itu merupakan dalil-dalil yang mewajibkan muhasabah kepada seorang penguasa. Karena, dalil-dalil itu bersifat umum yang mencakup penguasa maupun yang lain. Di mana Allah telah memerintahkan amar ma'ruf dan nahi munkar itu dengan perintah yang tegas. Allah SWT. berfirman:

"Hendaknya ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan serta menyeru pada kema'rufan dan mencegah dari kemunkaran." (Quran Surat Ali Imran: 104)

"Kalian adalah sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk seluruh umat manusia; maka kalian (harus) menyeru pada kema'rufan dan menolak kemunkaran." (Quran Surat Ali Imran: 110)

"Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan kemakrufan dan melarang mereka dari yang munkar." (Quran Surat Al A'raf: 157)

"Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji Allah, yang melawat (untuk mencari ilmu dan sebagainya), yang ruku' dan sujud yang menyeru berbuat ma'ruf dan mencegah perbuatan munkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (Quran Surat At Taubah: 112)

Di dalam semua ayat itu,  Allah SWT. telah memerintahkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Dan Allah menyertai perintah itu dengan qarinah (indikasi) yang menunjukkan adanya suatu keharusan (jazman) yaitu pujian bagi orang yang melakukannya, dengan firman-Nya:

"Mereka adalah orang-orang yang beruntung." (Quran Surat Ali Imran: 104)

"Kalian adalah sebaik-baik umat." (Quran Surat Ali Imran: 110)

"Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (Quran Surat At Taubah: 112)

Dan seterusnya. Maka, indikasi tersebut merupakan sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu merupakan perintah yang bersifat tegas, dan itu berarti hukumnya fardlu. Sedangkan melakukan koreksi terhadap penguasa itu tidak lain hanyalah memerintahkannya berbuat ma'ruf dan mencegahnya berbuat munkar. Sehingga muhasabah itu hukumnya fardhu.

Banyak hadits yang menjelaskan perintah pada kema'rufan dan mencegah perbuatan munkar. Dari Hudzaifah Al Yaman, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

"Demi dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, hendaknya kalian benar-benar memerintahkan pada kema'rufan, serta mencegah dari perbuatan munkar, atau sampai Allah betul-betul akan memberikan siksa untuk kalian dari sisi-Nya, kemudian kalian dengan sungguh-sungguh berdo'a kepada-Nya, niscaya Dia tidak akan mengabulkan (do'a) kalian."

Dari Abi Sa'id Al Khudri yang menyatakan: Rasulullah Saw. bersabda:

"Siapa saja di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman."

Dari Adi Bin Umairah yang menyatakan: "Aku mendengarkan Rasulullah Saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab orang-orang secara massal, karena perbuatan orang tertentu (di antara mereka), kecuali kalau mereka melihat kemunkaran di depan mata mereka, di mana mereka sanggup untuk menolaknya, lalu tidak menolaknya. Apabila mereka melakukannya, niscaya Allah akan mengadzab orang (yang melakukan) tadi beserta semua orang (yang ada) secara massal."

Hadits-hadits ini menunjukkan hukum wajibnya menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Karena itu, hadits-hadits ini juga menunjukkan hukum wajibnya memerintah penguasa untuk melakukan kema'rufan serta mencegahnya dari perbuatan munkar. Jelas, bahwa maksudnya adalah mengoreksi tindakan-tindakan penguasa tersebut. Hanya saja, di sana banyak hadits yang menyatakan tentang penguasa secara khusus, yang berarti ta'kid (penguatan) bagi kewajiban melakukan muhasabah, sehingga melakukan koreksi terhadap seorang penguasa, serta memerintahnya agar berbuat ma'ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar itu adalah sesuatu yang sangat penting. Dari Umu 'Atiyah dari Abi Sa'id yang menyatakan: "Rasulullah Saw. bersabda:

"Sebaik-baik jihad adalah (menyatakan) kata-kata yang haq di depan penguasa yang dzolim."

Dari Abi Umamah yang menyatakan: "Ada seorang laki-laki, pada saat melakukan jumrah ula (melempar batu kerikil yang pertama), bertanya kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, jihad apa yang paling baik?" Beliau diam. Maka ketika melakukan jumrah tsaniyah (melempar batu yang kedua), dia bertanya lagi, dan beliau pun diam. Dan ketika melakukan jumrah aqabah (melempar batu yang terakhir), lalu beliau memasukkan kaki beliau ke pelana kuda untuk menaikinya, beliau bertanya: "Mana orang yang tanya tadi?" Dia menjawab: "Aku (di sini) wahai Rasulullah." Beliau menjawab: "(sebaik-baik jihad adalah) kata-kata haq yang disampaikan di depan penguasa yang dzalim."

Ini merupakan nash yang ditujukan kepada seorang penguasa, serta kewajiban untuk menyampaikan kata-kata yang haq kepadanya, atau mengoreksinya. Maka perjuangan untuk menentang para penguasa yang merampas hak-hak rakyat, atau mengabaikan kewajiban-kewajiban mereka kepada rakyat, atau melalaikan salah satu urusan mereka itu hukumnya fardhu. Karena Allah SWT. telah memfardhukannya, bahkan menganggapnya seperti jihad, malah sebaik-baik jihad. Hingga seakan-akan beliau bersabda: Sebaik-baik jihad di sisi Allah adalah perjuangan menentang penguasa yang dzalim. Dalil ini saja sebenarnya cukup untuk membuktikan, bahwa mengoreksi para penguasa itu hukumnya wajib.

Rasulullah Saw. telah mendorong agar menentang para penguasa yang dzalim, apapun ancaman yang akan terjadi dalam rangka melakukannya, hingga mengakibatkan terbunuh sekalipun. Diriwayatkan dari Nabi Saw. yang menyatakan:

"penghulu para syuhada' adalah Hamzah, serta orang yang berdiri di hadapan seorang penguasa yang dzalim, lalu menasihatinya, kemudian dia dibunuh."

Hadits ini merupakan bentuk pengungkapan yang paling tegas, yang mendorong agar berani menanggung semua resiko, sekalipun resiko mati, dalam rangka melakukan koreksi terhadap para penguasa, serta menentang mereka yang dzolim itu.

Wajib Mengoreksi Penguasa Bagi Kaum Muslimin - Dalil Hukum 
 Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam