Oleh: Annas I. Wibowo
Berpisah karena iman, berpisah karena
menaati syariat dari Allah SWT, menjadi bukti ketaqwaan, bukti kesanggupan
menjalani ujian dengan sukses. Bukanlah ujian jika tanpa kesulitan dan risiko.
Kekayaan pun mengandung risiko, apakah dengan kekayaan itu seseorang bisa tetap
menjadi bertakwa atau malah makin menjauh dari menolong agama Allah.
Para Nabi menjadi teladan bagi umat
Islam, betapa mereka telah sukses menanggung risiko duniawi yang berat.
Termasuk risiko duniawi adalah menjadi dihina, di-bully, difitnah oleh
orang-orang kafir maupun munafik. Mengemban dakwah aqidah dan syariat beresiko
memunculkan banyak orang yang kontra, memusuhi orang-orang yang beriman
terlebih para pengemban dakwahnya. Itulah termasuk kesalahan orang kafir dan munafik. Mereka
memusuhi dakwah kebenaran dan kebaikan, mereka menolak aqidah, menolak syariat
dari Allah SWT. Mereka bersatu menzhalimi kaum yang beriman, sebab mereka lebih
menuruti hawa nafsu, tidak mau berubah menjadi sesuai dengan wahyu Ilahi.
Mereka memilih tetap berada di kubu kesesatan setelah jelas kepada mereka
eksistensi kubu kebenaran.
Berubah memang berisiko, memang bisa terasa
menakutkan karena ada ketidakpastian. Perubahan mengikuti tuntunan Allah dan
Rasul-Nya ada risiko kehilangan kenikmatan duniawi, baik berupa jabatan,
kedudukan, maupun kenyamanan hidup. Namun, dengan tekad menghadapi risiko, berubah
menuju kepada yang haq akan mendapatkan reward luar biasa dari Sang
Pencipta.
“Perbandingan
kedua golongan itu, seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat
dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka
tidakkah kamu mengambil pelajaran?” (TQS. Hud: 24)
“(Syu’aib
berkata:) Jika ada segolongan daripada kamu beriman kepada apa yang aku diutus
untuk menyampaikannya dan ada segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah,
hingga Allah menetapkan keputusan-Nya di antara kita; dan Dia adalah Hakim yang
sebaik-baiknya.” (TQS. al-A’raf: 87)
Kaum yang
memahami petunjuk dan menjalankan petunjuk dari Allah SWT, merekalah yang layak
menjadi pemimpin yang memimpin dengan petunjuk itu, bukan kaum “buta dan tuli”
yang memimpin dengan hawa nafsu, kebodohan dan bisikan setan.
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata):
"Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu. Agar
kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa
azab (pada) hari yang sangat menyedihkan." (TQS. Hud: 25-26)
Ketika risalah telah datang, kemudian
disampaikan, maka mulailah proses perubahan. Sebagian orang mau berubah
sementara sebagian yang lain lebih memilih mempertahankan tatanan bathil masyarakat yang
telah berjalan demikian lama, tradisi sesat yang telah turun-temurun,
tidak mau percaya dengan hal baru, yang terasa asing, yang berisiko mengubah
kedudukan sosial, berisiko terganggu ekonominya, tidak mau menerima kenyataan
bahwa selama ini telah keliru dan sesat, bahkan berisiko harus mau
mengalokasikan waktu dan pikiran untuk mengkaji risalah itu.
“Maka
berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat
kamu, melainkan seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat
orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina di antara kami
yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan
apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang
dusta." (TQS. Hud: 27)
Kaum yang ingkar terhadap wahyu Allah
SWT, mereka merasa berada di atas kebenaran hanya karena mereka telah mendapat
kedudukan di antara manusia, mereka dipercaya kaumnya, dan merekapun mendapat
rizqi dari Allah SWT. Nabi Nuh as. menurut mereka tidak layak mereka ikuti.
Mereka melihat hanya apa yang tampak di permukaan saja dan menilai segala
sesuatu dengan ukuran-ukuran hawa nafsu. Terjadi perpecahan antara Nabi Nuh as.
beserta para pengikutnya dan kaumnya yang tetap kafir, berlangsung pula
pertarungan ideologi. Perpecahan juga terjadi antara Nabi Nuh as. dan anaknya
yang menolak bergabung dengan Nabi Nuh as. di kubu kebenaran.
فَاصْبِرْۚ
اِنَّ الْعَاقِبَةَ
لِلْمُتَّقِيْنَ
“...Maka
bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Hud: 49)
“Dan
Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan
adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan
janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa
(keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang
beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu" (TQS. Hud: 85-86)
“(Syu'aib berkata:) Hai kaumku, janganlah
hendaknya pertentangan antara aku [dengan kamu] menyebabkan kamu menjadi jahat
hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum
Shaleh, sedang kaum Luth tidak jauh (tempatnya) dari kamu.” (TQS. Hud: 89)
Sebelum
datangnya risalah wahyu, masyarakat bersatu dalam kesesatan dan segala macam
kezhaliman, berada dalam tatanan yang telah berlaku turun-temurun. Namun, itu
semua tidak untuk dibiarkan terus berlangsung. Melalui lisan para nabi,
orang-orang yang menggunakan akal sehatnya mau beriman dan mereka selamat dari
azab yang pedih di Akhirat. Sementara itu, melalui lisan para nabi pula beserta
para pengikutnya, kubu kebathilan terbukti layak mendapatkan azab. Keadilan pun
ditegakkan atas mereka yang tergabung dalam kubu kebathilan, yaitu mereka yang
gagal berubah menuju kebenaran.
“(Ingatlah),
ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah
ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?"
“Mereka
menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya."
Ibrahim
berkata: "Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang
nyata." (TQS. al-Anbiya’: 52-54)
“Mereka
berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini
yang bernama Ibrahim." (TQS. al-Anbiya’: 60)
“Mereka
berkata: "Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu
benar-benar hendak bertindak." Kami berfirman: "Hai api menjadi
dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim," mereka hendak berbuat
makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling
merugi.” (TQS. al-Anbiya’: 68-70)
Nabi Ibrahim as. demi menjalankan syariat
dari Allah SWT berupa kewajiban berdakwah, rela menghadapi risiko berpecah
dengan bapaknya, tetangganya, temannya, masyarakatnya beserta penguasanya.
“Berkata
bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu
tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat
waktu yang lama." (TQS. Maryam: 46)
“Dan
(ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu
benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan
oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu." (TQS. al-Ankabut: 28)
“Jawab
kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan
pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang berpura-pura mensucikan diri." (TQS. al-A’raf: 82)
Al-Haq akan selalu menang. Kubu pendukung
al-Haq dijanjikan pertolongan dan kemenangan. Kalaupun kubu al-Haq sempat
ditindas oleh kubu pendukung kebathilan maka itu adalah sebuah cobaan, ujian,
penghapus dosa, dan untuk meninggikan derajat. Persatuan kokoh yang berasas
aqidah dan syariah Islam di kubu orang-orang yang bertaqwa akan berhasil mengalahkan
kubu orang-orang bathil. Hanya persatuan yang shahih itulah yang bisa
benar-benar memenangkan Islam dan umatnya atas kubu kebathilan. Persatuan
dengan berlandaskan sekularisme adalah kebathilan yang harus ditinggalkan.
“Sesungguhnya
al-Qur’an itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang haq dan yang
bathil.” (TQS. Ath-Thariq:
13)
“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu
pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan
Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat
(seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan
dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.” (TQS. Ali ‘Imran:
13)
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang
haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu
mengetahui.” (TQS. al-Baqarah: 42)
عَنْ
أَبِي مَالِكٍ
يَعْنِي
الْأَشْعَرِيَّ
قَالَ قَالَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
إِنَّ
اللَّهَ أَجَارَكُمْ
مِنْ ثَلَاثِ
خِلَالٍ أَنْ
لَا يَدْعُوَ
عَلَيْكُمْ نَبِيُّكُمْ
فَتَهْلَكُوا
جَمِيعًا
وَأَنْ لَا
يَظْهَرَ
أَهْلُ
الْبَاطِلِ عَلَى
أَهْلِ
الْحَقِّ
وَأَنْ لَا
تَجْتَمِعُوا
عَلَى
ضَلَالَةٍ
Dari Abu Malik -Abu Malik Al-Asy'ari- ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah melindungi
kalian dari tiga hal: jangan sampai Nabi kalian mendoakan (keburukan) hingga
kalian mendapat kecelakaan, jangan sampai pendukung kebathilan mengalahkan
pendukung kebenaran, dan jangan sampai kalian bersatu dalam kesesatan." (Sunan
Abu Dawud No. 3711)
WaLlaah
a'lam bi al-shawaab. []