Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan
membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka
itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan
dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (TQS. Muhammad [47]: 22-23)
Hukum Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ
untuk diamalkan dan dikerjakan. Ketika diamalkan, maka pelakunya akan menjadi
baik. Bahkan tatkala berkuasa di muka bumi, niscaya akan memperbaiki kehidupan
di atas muka bumi. Sebaliknya, ketika manusia berpaling darinya, dia akan rusak
dan tersesat. Ketika berkuasa atas manusia, dia pun akan membuat kerusakan di
bumi. Atas perilaku tersebut, maka pelakunya layak untuk mendapatkan hukuman
dari Allah SWT. Inilah di antara yang dijelaskan oleh ayat ini.
Berbuat
Kerusakan
Allah SWT
berfirman: Fa hal 'asaytum in tawallaytum an
tufsiduu fii al-ardh (maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan
menguat kerusakan di muka bumi). Dalam ayat sebelumnya Allah SWT memberitakan
sikap orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya, yakni orang-orang munafik.
Mereka diberitakan amat takut terhadap perintah berjihad. Mereka pun
mendapatkan ancaman atas sikap tersebut; seraya diberikan nasihat, seandainya
mereka mau beriman dengan benar dan taat terhadap perintah-Nya, maka itu lebih
baik bagi mereka.
Ayat ini
masih membicarakan mereka. Dikatakan al-Alusi dan al-Syaukani, khithaab (seruan) ayat ini ditujukan kepada
orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Pengalihan khitaab tersebut untuk menegaskan celaan dan
mengukuhkan teguran.
Kata 'asaa mengandung makna li al-tawaqqu‘ (untuk memprediksi). Hanya saja jika berasal dari
Allah SWT mengandung makna pasti terjadi. Demikian menurut Wahbah al-Zuahili
dalam tafsirnya, al-Muniir.
Diterangkan
Fakhruddin al-Razi, kata hal merupakan istifhaam (kalimat tanya). Dalam konteks ayat
ini, kata tersebut bermakna li al-taqriir
al-muakkad (menetapkan perkara yang dikukuhkan).
Sedangkan tawallaytum, terdapat perbedaan panafsiran
tentangnya. Pertama, berasal dari al-wilaayah (kekuasaan), artinya jika kamu
memegang kekuasaan dan manusia berada di bawah kekuasaanmu. Abu al-‘Aliyah,
sebagaimana dikutip al-Qurthubi, memaknai ayat ini dengan ungkapan, ”Maka
apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi
dengan menerima suap?" Al-Kalbi juga berkata, ”Maka, apakah sekiranya jika
kamu berkuasa atas urusan umat, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dengan
kezhaliman?”
Kedua, berasal dari al-tawallii yang bermakna al-i'raadh
(berpaling). Artinya, mereka berpaling dari Islam. Di antara yang berpendapat
demikian adalah Ibnu Jarir. Mufassir tersebut berkata, "Sekiranya kamu
berpaling dari kitab Allah SWT, meninggalkan hukum-hukum kitab-Nya, dan
berpaling dari Nabi Muhammad beserta semua yang dibawa oleh beliau untuk
kalian.”
Qatadah,
sebagaimana dikutip al-Thabari dan al-Qurthubi juga berkata tentang ayat ini:
”Bagaimana menurut kalian tentang suatu kaum yang ketika berpaling dari kitab
Allah, apakah mereka akan menumpahkan darah yang haram, memutuskan
kekeluargaan, dan durhaka terhadap al-Rahman?"
Menurut
Fakhruddin al-Razi, makna kedua ini lebih sesuai dengan konteks ayat
sebelumnya. Yakni, kalian menolak perang dan mengatakan bahwa di dalam perang
terjadi perusakan dan pemutusan hubungan kekeluargaan karena orang-orang kafir
itu adalah kerabat kamu. Maka, hal itu tidak akan terjadi dari kalian kecuali
kamu berperang atas dasar sesuatu yang paling rendah sebagaimana adat bangsa
Arab.
Sedangkan
makna an tufsiduu fii al-ardh (kamu akan
membuat kerusakan di muka bumi), Ibnu Jarir al-Thabari berkata, ”Kamu durhaka
kepada Allah SWT di muka bumi, lalu kamu kufur kepada-Nya, dan menumpahkan
darah."
Kemudian
disebutkan: wa tuqaththi'uu arhaamakum
(dan memutuskan hubungan kekeluargaan?). Kata al-arhaam
merupakan bentuk jamak dari kata al-rahim.
Menurut al-Asfahani, kata itu berarti rahim wanita. Kemudian digunakan untuk
menyebut sanak kerabat karena berasal dari rahim yang sama.
Menurut
Imam al-Qurthubi, secara global al-rahim
ada dua jenis, yakni: umum dan khusus. Rahim
yang umum adalah rahim al-din
(kekeluargaan dalam agama) yang wajib terus disambung dengan memantapkan
keimanan, mencintai pemeluknya, memberikan pertolongan dan nasihat, tidak
menjatuhkan bahaya kepada mereka, berlaku adil di antara mereka, bersikap lurus
dalam bermuamalah dengan mereka, menunaikan hak-hak mereka yang diwajibkan,
seperti mengunjungi orang yang sakit, menunaikan hak-hak orang yang meninggal,
seperti memandikan, mensholati, memakamkan, dan berbagai hak lainnya.
Adapun al-rahim yang khusus adalah rahim al-qaraabah, kekeluargaan berdasarkan
kekerabatan karena berasal dari pihak laki-laki, baik bapak maupun ibunya.
Dalam hal ini wajib menunaikan hak khusus dan tambahan, seperti nafkah,
memonitor keadaan mereka, senantiasa merawat mereka dalam waktu-waktu darurat
mereka, memastikan dalam hak mereka terdapat hak rahim
yang bersifat umum, hingga ketika terjadi bentrok, maka didahulukan hak mereka
dari paling dekat, kemudian yang dekat. Menurut al-Qurthubi, semua yang dicakup
oleh al-rahim tersebut wajib dijaga
hubungannya dalam semua keadaan, baik karena kerabat maupun karena agama.
Dalam ayat ini diberitakan bahwa orang-orang yang di dalam hatinya itu
ada penyakit, ketika mereka berkuasa atau berpaling dari agama, mereka akan
memutuskan hubungan rahim ini. Sesuatu yang dilarang oleh Islam. Rasulullah ﷺ
bersabda: “Tidak masuk
Surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Muslim, dari Jubair bin Muth'im). Abdurrahman al-Sa'di juga
menerangkan bahwa terikat dengan ketaatan kepada Allah dan mengerjakan
perintah-Nya, maka itulah kebaikan, bimbingan, dan keberuntungan; atau
berpaling dari itu. Berpaling dari ketaatan kepada Allah SWT, maka di situlah
kerusakan di muka bumi dengan melakukan kemaksiatan dan pemutusan hubungan
kekeluargaan.
Hukuman Bagi
Pelakunya
Kemudian
Allah SWT berfirman: Ulaaika al-ladzii
la'anahumulLaah (mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah). Kata ulaaika merujuk kepada orang-orang yang
berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan tali kekeluargaan. Allah SWT pun
menjatuhkan hukuman kepada mereka berupa laknat. Yakni, menjauhkan mereka dari
rahmat-Nya.
Hukuman
lainnya adalah: Fa ashammahum (lalu
ditulikan-Nya telinga mereka). Menurut al-Asfahani, kata ashamma berasal dari kata al-shamam yang berarti hilangnya indera
pendengaran. Kata ini juga digunakan untuk menyifati orang yang tidak
mendengarkan dan tidak menerima kebenaran. Makna ini pula yang dikandung ayat
ini. Ibnu Jarir al-Thabari berkata, "Maksudnya, mencabut pemahaman nasihat-nasihat
Allah SWT dalam kitab-Nya yang mereka dengar dengan telinga mereka.
Di samping
itu juga: Wa a'maa abshaarahum (dan
dibutakan-Nya penglihatan mereka). Kata a'maa
berasal dari al-‘amaa. Kata ini berarti
hilangnya penglihatan dan pemahaman. Makna yang kedua ini digunakan dalam
firman Allah SWT: “Karena sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada”
(TQS. al-Hajj [22]: 46).
Dijelaskan ayat ini, mereka mendapatkan hukuman berupa dibutakan mata
mereka. Al-Syaukani berkata, ”Maka Dia membuat mereka tuli dari mendengarkan
kebenaran dan membuat mata mereka buta dari menyaksikan segala sesuatu yang
menjadi bukti-bukti tauhid, kebangkitan, dan kebenaran semua yang diserukan
oleh Rasulullah ﷺ.”
Dikatakan
Ibnu Katsir, ini merupakan larangan berbuat kerusakan di muka bumi secara umum,
dan larangan memutuskan hubungan silaturahim secara khusus. Sebaliknya Allah
SWT memerintahkan supaya melakukan perbaikan di muka bumi dan menyambung tali
silaturahim, yakni berbuat baik dengan sanak famili, baik melalui ucapan maupun
perbuatan, serta memberikan harta kekayaan.
Demikianlah.
Orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, yakni orang-orang munafik
berkuasa dan berpaling dari syariah, mereka akan membuat kerusakan di atas muka
bumi. Mereka juga akan memutuskan hubungan, baik karena kekerabatan maupun
keimanan. Atas perilaku mereka, mereka pun dilaknat Allah SWT. Yakni dijauhkan
dari rahmat Allah SWT. Tak hanya itu, pendengaran mereka dibuat tuli dalam
mendengarkan kebenaran dan mata beserta akalnya dibutakan oleh Allah SWT
sehingga mereka tidak bisa melihat dan memahami berbagai dalil, nasihat, dan
pelajaran dari Allah SWT. Akibatnya, mereka makin tersesat jauh. Semoga kita
dijauhkan dari mereka. Wal-Laah a'lam bi
al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Ketika
orang-orang munafik berkuasa dan berpaling dari hukum Allah SWT, niscaya mereka
akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim.
2. Atas
tindakan mereka itu, mereka diberikan hukuman berupa mendapatkan laknat, dibuat
tuli pendengarannya, dan dijadikan buta penglihatan dan akalnya.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 176