Tidak ada satu udzur (halangan) bagi seorang muslim untuk
tidak menerapkan satupun dari hukum-hukum syara’; baik dia sebagai khalifah dan
jajarannya ataupun sebagai individu biasa, kecuali apabila terdapat rukhshah syar’iyyah (keringanan yang telah
ditetapkan oleh syara’) yang terdapat di dalam nash-nash syara’.
Ketidakmampuan yang
dapat diterima (secara syar’i) sebagai rukhshah
syar’iyyah adalah dalam kondisi lemah yang sebenarnya, yang bisa
diindera, atau dalam kondisi keterpaksaan yang sebenarnya, seperti pada keadaan
adanya mukrah al-mulji (yaitu,
keterpaksaan yang jika tidak dilaksanakan diduga kuat akan membahayakan jiwa).
Hendaklah umat
mensikapi syara’ dengan bentuk hubungan yang meyakini secara total Rabbnya,
beriman kepada-Nya dengan keimanan yang kuat bahwa Dialah yang mengatur seluruh
perkara dan merubah seluruh situasi dan kondisi. Dialah yang memberikan
pertolongan kepada yang berhak mendapatkan pertolongan.
Dengan keimanan
seperti itulah seorang muslim (seharusnya) menghadapi realitas yang keras dan
situasi yang sulit. Dengan imannya itu seorang muslim mencari kemuliaan dan
menjadikannya sebagai titik tolak dakwahnya, sekaligus sebagai terminal
perjalanan dakwahnya. Tidak melihat jauhnya jalan perjuangan, tidak melihat
lamanya harus menempuh, tidak melihat penolakan atas dakwah ideologi Islam.
Kita akan melihat bahwa keteguhan akan dapat mempengaruhi obyek dakwah dengan
bentuk keterikatan yang benar dan konsistensi yang lurus meski ideologi Islam
masih banyak dianggap asing.
Sikap kompromis dan
menyembunyikan sebagian dari kebenaran menjadikan orang-orang non muslim dan
muslim yang lalai akan menjadi ragu-ragu dalam menerima apapun yang ditawarkan
kepadanya. Keraguan ini muncul karena tidak dipaparkan tentang Islam secara totalitas.
Seruan semacam itu juga jauh dari asas ruhiyah, yang dibangun di atas keimanan
kepada Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur. Berdasarkan asas ruhiyah
itulah diambil hukum-hukum syara. Kejelasan dakwahlah yang menjadikan hujjah
Allah tetap tegak atas para da’i.
Kita telah
diperintahkan agar tidak mendahulukan atau menunda-nunda apa yang telah
ditetapkan Allah atas kita. Lagi pula bukankah yang mengobati manusia
(menyelesaikan segala persoalannya) adalah Rabbnya Yang Maha Mengetahui, yang
mengetahui apa yang diciptakan-Nya.
Berbagai pandangan
rusak mulai banyak muncul setelah penerapan sistem hukum Islam dilakukan oleh
Daulah Khilafah Islamiyah selama lebih dari 1000 tahun hingga berakhir seiring
dengan runtuhnya Daulah Islamiyah. Sejak saat itu, masyarakat Muslim tidak bisa
lagi menyaksikan kesempurnaan penerapan sistem hukum Islam. Bahkan,
membayangkannya saja sudah sangat sulit.
Ditambah lagi ada
upaya orang-orang kafir untuk mengikis habis seluruh sistem hukum Islam hingga
ke simbol-simbolnya. Semua ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat
benar-benar ‘buta’ terhadap hukum-hukum Islam yang seharusnya menjadi keyakinan
dan tolok-ukur mereka.
Padahal, setelah
al-Qur’an sempurna diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat manusia melalui
Rasulullah Saw., tidak ada lagi alasan bagi siapapun untuk tidak menerima dan
tidak menerapkan seluruh hukum Islam. Hukum Islam wajib diterapkan secara total
dan sekaligus. Kewajiban ini ditujukan baik kepada individu, jamaah, maupun
khalifah.
“Tidaklah patut bagi
pria Mukmin dan tidak pula bagi wanita Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan yang lain tentang urusan mereka.
Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia telah
benar-benar tersesat.” (TQS. al- Ahzâb
[33]: 36)
Allah Swt. telah
menyempurnakan agama-Nya. Tidak ada lagi pilihan bagi kita selain menaati dan
menjalankan apa yang telah dibebankan atas kita, yaitu seluruh perintah dan
larangan Allah Swt. Tidak boleh ada pilihan antara mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu. Tidak mengerjakan sesuatu, yakni sesuai perintah dan
larangan Allah, berarti telah terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Sikap
demikian adalah haram.
Hadits riwayat
‘Abdullah ibn ‘Umar r.a. melalui jalur para perawi yang terpercaya (tsiqah). Ia bertutur demikian:
“Rasulullah Saw.
pernah menjumpai kami, lalu beliau bersabda, “Wahai kaum Muhajirin, ada lima
perkara yang jika kalian diuji dengan kelima perkara tersebut, aku berlindung
kepada Allah terhadap perjumpaan dengannya….., dan ketika pemimpin-pemimpin
mereka tidak bertahkim (merujuk) pada Kitab Allah karena memiliki pilihan lain
selain yang diturunkan oleh Allah; niscaya Allah akan menimpakan azab kepada
mereka.” (HR. Ibn Majah)
Hadits Rasulullah Saw.
ini merupakan petunjuk yang pasti mengenai larangan mencari alternatif selain
hukum Islam, sehingga diterapkan hukum selain Islam. Larangan secara qath‘î (pasti) tampak dari celaan yang
diindikasikan dengan adanya azab Allah Swt. Maksudnya, setiap perbuatan yang
mengakibatkan datangnya azab Allah Swt. adalah tercela dan diharamkan secara
pasti.
Hadits riwayat Imam
Ahmad melalui jalan as-Sudaysi, yakni Ibn al-Khashasiyah, yang bertutur
demikian:
“Aku pernah datang
kepada Nabi Saw. untuk berbai’at. Rasulullah Saw. lalu mensyaratkan kepadaku
agar bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba
sekaligus Rasul-Nya; juga agar aku menegakkan shalat, menunaikan zakat,
berhaji, menjalankan shaum di bulan Ramadhan, dan berjihad fi sabilillah.
Akupun berkata, “Demi Allah, mengenai dua perkara itu, aku tidak mampu
menjalankannya, yaitu jihad dan sedekah. Sesungguhnya mereka mengatakan bahwa,
orang yang lari dari medan perang akan memperoleh kemurkaan Allah. Oleh karena
itu, aku khawatir kalau aku turut berperang, aku sangat mencintai diriku dan
takut mati. Sedangkan sedekah, aku tidak memiliki apapun kecuali ghanîmah dan
sepuluh orang tanggungan keluarga. Semua hartaku adalah untuk keluargaku,
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.” Kemudian, Rasulullah Saw. menarik
tangannya sendiri seraya menggerak-gerakkannya, lalu bersabda, “Jika tidak
dengan berjihad dan sedekah (maksudnya zakat), maka dengan apa engkau masuk
Surga?” Akupun menjawab, “Aku membaiatmu.” Aku lalu membaiat beliau dengan
seluruh syarat-syarat tadi.”
Hadits ini
menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak menerima alasan Ibnu Khashasiyah yang
meminta untuk meninggalkan jihad dan tidak menunaikan zakat. Padahal, dua
perkara itu jelas-jelas hukumnya wajib. Namun demikian, pada akhirnya Ibn
Khashasiyah menyetujui syarat-syarat yang diminta Rasulullah Saw. kepadanya,
yaitu menunaikan seluruh kewajiban-kewajiban Islam, termasuk berjihad dan
menunaikan zakat.