Ratusan tahun lamanya
imperium Romawi menguasai sebagian besar Eropa, wilayahnya membentang sangat
luas dari Britania di bagian utaranya hingga Mesir di bagian selatannya, dari
Spanyol di bagian baratnya hingga Anatolia di bagian timurnya hingga berbatasan
dengan wilayah Persia.
Tapi pada akhir abad
ke-3, tanda-tanda kemerosotan Imperium Romawi sangat terlihat. Luasnya imperium
yang harus diatur dan korupnya pegawai-pegawainya, berhentinya
ekspedisi-ekspedisi perang dan artinya juga berhentinya jarahan-jarahan perang
yang merupakan sumber pemasukan, ditambah dengan kesenjangan antara kaya dan
miskin, benar-benar menghancurkan Imperium Romawi secara cepat.
Untuk mempertahankan
kekuasaan dan gaya hidupnya, penguasa Romawi menjadi represif dan tirani. Lalu
membebani rakyatnya dengan pajak yang tinggi dan paksaan-paksaan lainnya, sebab
itulah rakyat Romawi kehilangan nafsu untuk bekerja, juga kehilangan jati diri
dan kebanggaan mereka sebagai bangsa Romawi.
Tragedi berlanjut,
pemasukan yang semakin sedikit dari pajak, akibat rakyat yang semakin lemas
sebab diperas, mengakibatkan Imperium Romawi tak lagi mampu membiayai
pengeluaran-pengeluaran wajibnya, termasuk tak mampu membayar tentara dan
penegak hukumnya, gagal menjaga ketahanan pangannya, dan akhirnya mengabaikan
penegakan hukum.
Para pedagang
mengambil alih negara, membayar tentara-tentara yang berubah menjadi staf
keamanan pribadi yang melindungi kepentingannya, raja-raja kecil muncul dan
pertikaian antar mereka segera menjelma menjadi perang sipil. Anarkisme menjadi
hal biasa dan penyakit mewabah, menghabisi sebagian besar populasinya. Romawi
terkoyak-koyak habis.
Perlahan tapi pasti,
dalam situasi nan berantakan itu, hukum alam mengambil alih, siapa yang kuat
dia yang menang. Maka Romawi yang mulai mengerut itu dikuasai bukan oleh
militer yang bengis, meninggalkan rakyat yang semakin sengsara dalam
penindasan.
Tanda-tanda kejatuhan
Romawi ini apabila kita bandingkan dengan tanda-tanda kejatuhan Persia, kurang
lebih sama, sebab begitulah pola yang terjadi di manapun dan kapanpun.
Disarikan dari Ibnu Taimiyah, bahwasanya keadilan adalah pilar negara yang
menegakkannya, sementara kezaliman yang nyata pasti akan menghancurkannya.
Sedihnya, ini
tanda-tanda yang ada pada negeri kita. Keadilan menjadi barang mahal yang hanya
dipajang di etalase, dibicarakan dan dilihat tapi tak seorangpun yang bisa
memilikinya, kecuali 'keadilan' itu hanya bisa dibeli oleh mereka yang kaya
raya, dan itu sebuah bentuk kezaliman lagi.
Tekanan asing begitu
nyata terlihat di negeri ini, agama Islam yang merupakan agama mayoritas
dinista dan didiamkan, ulama-ulamanya dikriminalisasi dan diancam secara masif.
Sementara rakyat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan pemimpinnya.
Media-media sangat tak
proporsional dalam mewartakan, bahkan bohong dalam tiap-tiap halnya,
stigmatisasi dan framing untuk
menjelekkan Islam, seolah wajar dan boleh dilakukan, memutarbalikkan fakta
tanpa malu, hanya untuk menyenangkan tuan-tuan yang menggaji mereka.
Sementara di tempat
lain, penegak hukum secara gamblang memperlihatkan keberpihakan mereka, senang
dan dekat, cenderung kepada orang-orang yang punya harta, berhadap-hadapan
dengan rakyatnya sendiri demi membela kepentingan uang.
Sementara harga-harga
dinaikkan, pajak diketatkan, dan umat Islam dicurigai. Duhai penguasa-penguasa
yang diujung tanduk, ditunggu oleh maut, apa yang menyebabkan kalian tidak
mampu mengambil pelajaran dari sejarah yang terus-menerus terulang?
Dan sejarah
membuktikan, hanya ada satu cara keluar dari semua ini. Yaitu dengan kembali
pada Allah dan aturan-aturan-Nya, termasuk dalam mengelola negara dan kehidupan
manusia. Kembali pada syariat Islam, dalam naungan khilafah.
Felix Y. Siauw
Member @YukNgajiID
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 189
---
SMS/WA Berlangganan
Tabloid Media Umat: 0857 1713 5759