Dilandasi oleh pengalaman resesi ekonomi tahun 1930-an, pada
tanggal 1-22 Juli 1944, sejumlah utusan dari 44 negara-termasuk AS, Prancis,
dan negara-negara Eropa lainnya menyelenggarakan konferensi keuangan dan
moneter PBB di Bretton Woods, New Hampshire, AS. Mereka kemudian bersepakat
untuk membentuk dua badan internasional, yakni Dana Moneter Internasional
(International Monetary Fund) atau IMF dan Bank Internasional untuk Penataan
Kembali dan Pembangunan (lntemononal Bank for Reconstruction and Development
atau IBRD yang kemudian dikenal dengan Bank Dunia (World Bank). Kedua lembaga
bersaudara itulah yang kemudian disebut dengan “Sistem Bretton Woods."
Mereka yang hadir dalam pertemuan pertama tahunan tersebut turut menandatangani
Pasal-pasal Persetujuan (Articles of Agreement) pendirian resmi lembaga itu.
Dengan demikian, citra sebagai lembaga resmi diharapkan dapat terjaga.
Tujuan Konferensi Bretton Woods pada awalnya adalah sebagai usaha
untuk melancarkan perdagangan dunia, terutama yang terhalang oleh berbagai
kebijakan tarif yang dilaksanakan selama PD ll. Dalam konferensi itu juga
disetujui berlakunya sistem kurs valuta tetap (fixed exchange rate). Kurs tetap
itu menjadikan US$ sebagai standar moneter internasional, yang dikaitkan dengan
harga dolar dan harga emas, yaitu 1 troy ounce emas seharga US$ 35. Penggunaan
kurs tetap dengan standar dolar AS merupakan bagian dari upaya AS untuk
mendominasi nilai tukarnya di dalam perekonomian dunia. Pada langkah
berikutnya, AS berharap dapat semakin mudah menguasai ekonomi dunia, terutama
dunia ketiga. Skenario selanjutnya, AS berharap mampu menguasai segi politik
dengan cara mendiktekan kebijakan strategis dalam negeri negara lain.
Sebelumnya, tahun 1830 hingga awal tahun 1930, pembayaran
perdagangan internasional dilaksanakan melalui pengiriman emas atau wesel untuk
memenuhi pembayaran barang dan jasa yang diimpor oleh suatu negara. Demikian
juga sebaliknya, suatu negara, jika ingin mengekspor barangnya, akan dibayar
dengan emas atau wesel. Waktu itu emas merupakan mata uang yang beredar sebagai
alat pembayaran. Setiap uang kertas yang akan diedarkan pun selalu dijamin
dengan emas. Pada saat itu, kurs valuta asing relatif stabil, karena kursnya
hanya bergerak di antara titik emas ekspor dan titik emas impor. (Dochak
Lathief, Ekonomi Global, hlm. 113). Hanya saja, setelah PD I, penggunaan
standar emas ditinggalkan AS dan Inggris, terutama setelah resesi 1930-an.
Mereka beranggapan bahwa perdagangan dengan standar emas merugikan mereka.
Kejadian itulah yang membidani lahirnya sistem Bretton Woods dengan IMF dan
Bank Dunia sebagai pengawalnya.
Akan tetapi keberadaan IMF maupun Bank Dunia sama sekali tidak
memberikan harapan yang lebih baik. Dalam perjalanannya, kedua lembaga tersebut
sangat didominasi oleh berbagai kepentingan negara-negara maju, terutama AS,
untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya. Bantuan yang diberikan Bank Dunia
maupun IMF, kendati sekecil apapun akan menjadi jerat utang (debt relief) bagi
negara pengutang. Demikian juga biaya modal yang digulirkan ke negara Dunia
Ketiga yang sedang berkembang, yang populer dengan sebutan investasi modal
asing, akan menghasilkan set back bagi
negara tersebut, alias semakin miskin dan terbelakang. Model pembangunan yang
ditawarkan negara-negara kapitalis ke negara-negara Dunia Ketiga cenderung
menimbulkan gelombang konjungtur, dan mengakibatkan instabilitas ekonomi negara
berlangsung secara terus-menerus seperti lingkaran setan.
Walhasil, harus disadari bahwa utang luar negeri, baik melalui
Bank Dunia atau IMF, tidak ubahnya laksana “jerat-jerat terselubung."
Tidak ada satupun negara kapitalis yang memberikan bantuan dana pembangunan
tanpa didasari oleh adanya motif keuntungan yang ingin diraih oleh negeri
pemberi utang. George Washington, mantan presiden AS pernah mengatakan bahwa,
merupakan suatu kegilaan bagi suatu negara yang mengharapkan pertolongan negara
lain tanpa memperhatikan kepentingan negara yang membantunya. Lebih jelas lagi
pendapat John Foster Dulles yang mengatakan bahwa, Amerika tidak mempunyai
teman, tetapi Amerika selalu mempunyai kepentingan tertentu (Robert I. Rhoders,
1970, hlm. 89).
Untuk memahami jerat-jerat tersebut, kita bisa memperhatikan
bahwa, setiap pinjaman akan diberikan jika negara pengutang memang bersedia
melaksanakan apa yang mereka sebut sebagai “Penyesuaian Struktural"
(Structural Adjustment). Pada prinsipnya, hal itu berarti, kesediaan untuk
menyesuaikan kebijakan perekonomian negara yang bersangkutan agar lebih
berorientasi ke arah sistem pasar dunia (globalisasi ekonomi).
Negara-negara yang ingin mendapatkan pinjaman dari IMF atau Bank
Dunia harus melaksanakan langkah-langkah penyesuaian dalam negeri mereka,
antara lain: devaluasi mata uang, deregulasi sistem perbankan, Swastanisasi
(privatisasi), liberalisasi pasar, peningkatan ekspor, pengurangan konsumsi
dalam negeri, pengurangan subsidi sektor publik, pemotongan belanja pemerintah
di sektor-sektor pelayanan sosial, dan sebagainya.
Program Tipudaya
Apa yang dinamakan program penyesuaian struktural (Structural
Adjustment] hanyalah omong-kosong, serta sekadar iming-iming yang menjerat dan
menjerumuskan. Marilah kita melihat realitas program penyesuaian struktural
tersebut.
Untuk meningkatkan ekspor dan mengurangi impor, IMF menyarankan
devaluasi mata uang. Pada faktanya, survei PBB terhadap 12 proyek program
penyesuaian struktural menemukan bahwa hanya sedikit ada perbaikan dan
peningkatan nilai ekspor yang dicapai. Banyak harga komoditi ekspor justru
anjlok karena para eksportir juga semakin ketat bersaing untuk pasar yang sama.
Akibatnya, hal tersebut merusak perekonomian negara-negara yang sangat
bergantung pada bahan impor.
Sementara itu, upaya IMF untuk memaksakan adanya peningkatan suku
bunga yang tinggi, dengan harapan alokasi sumber daya modal hanya pada para
penanam modal yang efisien, juga tidak terbukti. Justru penerapan suku bunga
tinggi akan menghambat penanaman modal pada sektor-sektor produksi untuk pasar
dalam negeri, memicu spekulasi, mengurangi akses kredit para petani dan
pengrajin kecil, serta mendorong laju inflasi. Sementara itu, syarat pembatasan
pasokan uang -kendati di atas kertas sepertinya baik, yakni untuk mengendalikan
inflasi- berdampak pada depresi ekonomi, meledaknya pengangguran, sebagaimana
hasil survei PBB - mengakibatkan hanya separo dari 12 proyek tersebut yang
terbukti benar.
Dalam pada itu, program IMF dan Bank Dunia yang mensyaratkan
penyesuaian melalui pemotongan anggaran belanja pemerintah, dengan harapan
mampu mengurangi permintaan yang berlebihan, justru mengakibatkan pemotongan
anggaran belanja dan subsidi pendidikan yang amat vital. Pemotongan subsidi
tersebut pada akhirnya menimbulkan kebodohan rakyat akibat mahalnya biaya
pendidikan yang tidak terjangkau lagi oleh kalangan rakyat miskin. Sementara
itu, pengurangan pelayanan kesehatan, berdampak pada buruknya kualitas
kesehatan masyarakat akibat mahalnya biaya kesehatan. Pemotongan subsidi
berdampak pada penurunan air minum, tenaga listrik, bahan bakar, pembangunan
prasarana jalan dan transportasi.
Sementara itu, program IMF untuk penurunan tarif dan kuota impor,
dengan target untuk meningkatkan daya saing di pasar internasional dan
meningkatkan efisiensi justru menyebabkan terbengkalainya industri-industri
lokal, mengurangi kemampuan untuk berswasembada pangan. Yang terjadi malah
sebaliknya, meningkatnya impor barang-barang mewah. Walhasil, rakyat miskin
tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pokok mereka.
Lebih parah lagi adalah adanya program swastanisasi, yang konon
dianggap oleh IMF dan Bank Dunia dapat membuat perusahaan perusahaan lebih
efisien. Padahal sebaliknya, swastanisasi menimbulkan adanya peralihan
prasarana dan sarana umum untuk keperluan perusahaan-perusahaan swasta yang
lebih mementingkan laba besar (profit oriented)
ketimbang kesejahteraan sosial masyarakat. Swastanisasi semakin mempersulit
jangkauan kaum miskin pada pelayanan listrik, transportasi, dan komunikasi.
Sebaliknya, swastanisasi memberikan subsidi kepada para penanam modal swasta.
Semua itu pada akhirnya menimbulkan bencana kemiskinan dan pemiskinan rakyat.
Lebih lanjut, upaya peningkatan ekspor yang digembar-gemborkan
IMF/Bank Dunia dengan target untuk memperbesar pemasukan devisa dari
perdagangan luar negeri ternyata hanya menghasilkan mimpi buruk bagi para
petani. Penggantian tanaman pangan dengan tanaman perdagangan telah
mengakibatkan peningkatan penderitaan kekurangan gizi. Di samping itu, bahan
pangan yang sebelumnya surplus, lalu ditinggalkan, dan kemudian malah
mengharuskan adanya impor dari negara lain. Ini mengakibatkan ketergantungan
yang semakin tinggi pada pasar luar negeri. Sementara itu, privatisasi yang
antara lain mengizinkan adanya HPH (Hak Penebangan Hutan) oleh swasta
mengakibatkan penggundulan hutan, sedangkan devisa yang dihasilkan justru lebih
banyak dipakai untuk membayar utang luar negeri. Konsekuensi berikutnya, sektor
publik dan kepemilikan umum yang seharusnya ditujukan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat, beralih kepada segelintir orang saja. Konsep trickle down strategy (strategi menetes ke
bawah) dari konglomerat ke rakyat hanya sebuah impian belaka.
Derita dan Kekacauan
Utang luar negeri sebenarnya merupakan pemerasan kekayaan
negara-negara berkembang oleh negara-negara maju atau negara-negara industri.
Negara-negara maju pimpinan AS, dengan menyetir lembaga kembarnya IMF dan Bank
Dunia, serta bank-bank komersial lainnya, berupaya untuk menyediakan dan
menyalurkan pinjaman kepada negara berkembang dengan mekanisme tingkat suku
bunga tidak tetap (variable interest rate).
Dari sini bisa dipahami jika setiap tahun kecenderungan jumlah pinjaman Dunia
Ketiga semakin membengkak akibat nilai mata uang negara berkembang jatuh
terus-menerus karena menganut nilai tukar mengambang (floating exchange rate) hasil rekayasa AS dan negara kapitalis
Barat.
Data terakhir dari Bank Dunia dua tahun lalu (1998), menunjukkan
bahwa sebanyak 98 negara Selatan telah membayar ke negara- negara Utara sebesar
US$ 32.5 miliar. Padahal, sisa utang setelah dikurangi cicilan itu tidak
cenderung berkurang tetapi justru terus bertambah besar. Artinya, negara-negara
Utaralah yang menikmati dan menghisap kekayaan negara Dunia Ketiga melalui
perangkap utang. Realitas kemiskinan akibat jerat utang di Dunia Ketiga (negara
berkembang) cukup signifikan. Indonesia, sebelum krisis ekonomi Asia Tenggara
(Mei 1997), pendapatan perkapitanya adalah US$ 1.600 per tahun dan dimasukkan
ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah. Akan tetapi, setelah krisis,
dengan asumsi kasar 1 dolar seharga Rp8000.- atau sekitar 400 persen dari nilai
tukar sebelum krisis (1 US$ = Rp2.400), pendapatan perkapita kita merosot empat
kali lipat. Dari perhitungan itu berarti pendapatan perkapita Indonesia menjadi
US$ 400 per tahun dan digolongkan ke dalam kelompok negara miskin. Jumlah utang
luar negeri kita saat itu lebih dari US$142 miliar. Dengan total penduduk
sebesar 202 juta jiwa (data tahun 1999), maka beban perkapitanya adalah sekitar
US$ 703 per tahun. Artinya, pendapatan bersih per tahun sebenarnya minus US$
303 per tahun. Ini berarti, setiap bayi yang lahir saat ini harus memikul utang
luar negeri sebesar US$ 303 atau sekitar Rp2,4 juta per tahun. Untuk
tahun-tahun berikutnya, diprediksikan bahwa utang luar negeri tersebut akan
terus meningkat.
Perhatikan pula jerat utang di negara lain seperti Zambia. Sekitar
tahun 1980-an, pendapatan perkapita negara Zambia adalah US$ 600 per tahun.
Tahun 1986, setelah mengikuti program IMF, pendapatan perkapitanya menurun
drastis sampai US$ 170 per tahun. Laju inflasi meningkat hingga sekitar 60
persen. Tingkat pengangguran meningkat dari 14 persen menjadi 25 persen. Dalam
dua tahun saja, mata uangnya sudah didevaluasi sampai 700 persen. Lebih ironis
lagi, sampai tahun 1986, setelah lima tahun program IMF dipraktekkan, sekitar
10.000 rakyat Zambia kehilangan pekerjaan mereka. Sungguh mengenaskan!
Brazil juga mengalami nasib yang sama parahnya. Negeri tersebut
hingga kini masih memiliki beban utang luar negeri lebih dari US$ 122 miliar,
walaupun sebelumnya, antara tahun 1972-1988, telah membayar utangnya sebesar
US$ 176 miliar. Selain berdampak pada penurunan pendapatan perkapita dan
kemiskinan, utang IMF dan Bank Dunia juga menimbulkan risiko berupa kerusuhan
akibat protes masyarakat yang merasa dihisap darahnya. Terbukti, pada bulan
Maret 1989, aksi penolakan terhadap IMF dilakukan.
Di Filipina, beban utang yang ditanggung rakyatnya diuraikan oleh
pakar ekonomi Manuel F. Montes, dengan pernyataan yang cukup mengagetkan. Ia
mengatakan bahwa setiap orang Filipina menanggung utang luar negeri sekitar US$
500 atau 10.500 Peso. Jerat utang di negeri ini pun akhirnya menimbulkan
gelombang penolakan terhadap IMF. Pada tanggal 1 Mei 1989, puluhan ribu buruh
di seluruh Filipina turun ke jalan-jalan. Tuntutan utamanya adalah penolakan
terhadap perjanjian kerjasama baru antara IMF dengan pemerintah. Lebih tragis
lagi, UNICEF memperkirakan bahwa, sebanyak 650.000 anak-anak mati di seluruh
kawasan Dunia Ketiga setiap tahun karena adanya utang tersebut. Di Filipina
diperkirakan lebih dari 1 anak meninggal setiap jam akibat hal yang serupa.
(Hutang Itu Hutang, hlm. 19, Insist Press).
Borok-borok IMF dan Bank Dunia tersebut semakin terungkap dan
memicu penolakan dan ketidakpercayaan negara berkembang terhadap
program-programnya yang menjerat. Di Ceko, polisi dan para demonstran anti
globalisasi bentrok di luar Hotel Hilton Praha, Rabu (27/9/2000), sehari
setelah pembukaan pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank
Dunia (World Bank) di Pusat Kongres Praha (kompas, 27/9/2000). Aksi tersebut
memperlihatkan adanya kesadaran warga Ceko terhadap bahaya program-program IMF
dan Bank Dunia yang merupakan sarana global untuk mencengkeram negara-negera
berkembang di bawah kepentingan negara-negara maju yang dimandori AS.
Dunia pun pernah dikejutkan dengan adanya sekitar 300 orang
Venezuela yang terbunuh dalam kerusuhan, menyusul diumumkannya program
penghematan nasional yang didukung IMF bulan Maret 1989. Pada bulan yang sama,
sekitar 200 orang mengalami luka-luka parah di Brazil selama berlangsungnya
aksi pemogokan umum 48 jam yang memprotes paket program yang sama dari IMF.
Di Indonesia sendiri, jerat utang IMF dan Bank Dunia sudah di atas
ambang wajar. Hal ini terjadi karena kita selama 32 tahun hidup dengan
membohongi diri dengan anggaran berimbangnya. Padahal, setiap tahun anggaran
belanja negara kita selalu defisit, tetapi ditutup dengan utang luar negeri
yang semakin lama semakin besar. Jadi, utang luar negeri itu hanya digunakan
untuk membayar utang. Kecenderungan ini sama pada negara-negera berkembang.
Tidak ada satu negarapun di Dunia Ketiga sebagai pengutang yang semakin makmur.
Sebaliknya, jumlah utang negara-negara tersebut semakin lama semakin
membengkak.
Oleh karena itu, suatu keharusan bagi kita untuk mewaspadai jerat
utang IMF dan Bank Dunia yang notabene menghisap darah rakyat di negara-negara
berkembang. Suatu keharusan pula untuk secara tegas mengatakan “Tidak!” kepada
IMF dan Bank Dunia, atau bank-bank komersial lainnya yang berada di bawah
kendali kedua lembaga kembar tersebut; dengan segala kemungkinan terobosan,
prospek, tantangan, dan risiko yang bakal dihadapi di masa-masa mendatang.
Upaya itu harus dilakukan jika kita tidak ingin diinjak-iniak oleh
negara-negara Barat imperialis-kapitalis pimpinan AS.
Sumber: Majalah al-Wa’ie edisi 3