Umat Islam Bisa
Tersesatkan Paham Sekularisme
SEKULARISME DAN DEMOKRASI; SALAH FAHAM KEPADA
ISLAM
Hakikat Sekularisme
Menurut Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani (Nizhamul
Islam, 1953), "sekularisme" adalah paham yang memisahkan agama
dari kehidupan (fashluddin 'anil hayah), yang berarti memisahkan agama dari
negara.
Pemikiran sekularisme berasal dari
sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan. Saat itu, kekuasaan para
gerejawan (rijaluddin) demikian
mendominasi semua lapangan kehidupan, bahkan termasuk di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Namun dogmatisme gereja memasung kreativitas yang
tumbuh di kalangan bangsa Eropa yang sedang
mengalami masa pencerahan (renaissance).
Termasuk memberangus hasil-hasil temuan para ilmuwan yang dianggap bertabrakan
dengan pendapat gereja dalam ilmu pengetahuan.
Konflik pun berjalan sangat panjang.
Seiring dengan dominasi kekuasaan gereja dalam negara yang justru secara riil
menyengsarakan masyarakat, para intelektual Eropa berkesimpulan, masyarakat
harus dibebaskan dari gereja. Kompromi yang mereka lakukan sampai pada
pemisahan agama dari gereja. Inilah cikal bakal sekularisme. Sebagai
legitimasi, mereka menukil bunyi kitab suci mereka: "Berikanlah hak Kaisar
kepada Kaisar dan hak Tuhan kepada Tuhan".
Dengan pandangan itu Bangsa Eropa
melahirkan satu tatanan kehidupan yang bebas dari pengaruh agama Nasrani, yakni
ideologi yang kemudian dikenal dengan ideologi Kapitalisme. Dasar ideologi
Kapitalisme ini adalah Sekularisme itu sendiri, yakni memisahkan agama dari
kehidupan dan negara. Dan kalau mereka melarang agama mengatur negara, bukanlah
untuk menjaga netralitas negara terhadap pluralitas agama —toh agama bangsa
Eropa itu satu, Nasrani. Tetapi mereka memang ingin menyingkirkan agama gereja
itu dari kehidupan.
Ideologi Kaptalisme telah menimbulkan
persaingan ketat dalam kehidupan ekonomi di kalangan bangsa-bangsa Eropa. Lalu,
mereka melakukan penjajahan ke luar Eropa, yakni Afrika dan Asia. Mereka yang
semula hanya berdagang, di kemudian hari memerangi, mendominasi, memonopoli,
dan mengeksploitasi. Pada saat mereka menjajah negeri-negeri Islam, mereka
memandang agama Islam seperti agama Nasrani Eropa. Di sinilah letak kesalahan
bangsa-bangsa Kapitalis Barat, yakni melakukan generalisasi agama gereja mereka
terhadap semua agama, termasuk Islam.
Oleh karena itu, mereka mencabut
berlakunya hukum Islam dan memaksakan penerapan hukum-hukum sekularis kapitalis
itu kepada kaum muslimin. Setelah itu, mereka menerapkan program-program dan
kurikulum pendidikan sekular untuk mencuci otak kaum muslimin sehingga tidak
lagi mampu berfikir secara Islami. Justru para pelajar kaum muslimin itu
berfikir secara sekularis. Merekalah yang dipersiapkan para penjajah itu untuk
menggantikan mereka di kemudian hari memimpin daerah bekas jajahan kaum
sekularis kapitalis.
Islam jelas tidak mengenal pemisahan
antara urusan ritual dengan urusan politik. Shalat adalah ibadah yang merupakan
bagian dari syariat di mana seluruh umat Islam harus terikat
sebagaimana mereka juga terikat kepada syariat di bidang ekonomi,
sosial-politik, hankam dsb. Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah,
karena Islam adalah sebuah totalitas. Dan justru merupakan tindak kekufuran
yang sebenar-benarnya apabila beriman kepada sebagian ajaran Islam dan menolak
sebagian yang lain. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu" (QS. Al-Baqarah 208).
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan
rasul-rasulNya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan
rasul-rasulNya, dengan mengatakan: 'Kami
beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian yang lain',
serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan tengah (moderat) di
antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah
orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan" (QS.
An-Nisaa 150-151).
Maka, sekularisme adalah paham yang
batil. Dan merupakan suatu kebodohan luar biasa bila umat dan intelektual Islam
mengikuti sekularisme atau kelompok sekuler, apalagi turut menyebarkan dan
memperjuangkannya!
Hakikat Negara Demokrasi Sekuler
Sekularisme telah merobohkan kekuasaan
gereja atas negara. Para filosof sekuler antara lain John Locke, Montesque, dan
Voltaire berusaha membangun paradigma baru pemerintahan —setelah menggali
filsafat Yunani dan Romawi— yang bakal menjaga kepentingan rakyat. Sebuah
pemerintahan "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat". Mereka
menamakan pemerintahan baru itu dengan nama demokrasi (berasal dari kata demos= rakyat dan kratos= pemerintahan).
Sejak itulah bangsa Eropa mengenal
sistem pemerintahan itu hanya dua, yaitu otokrasi dan demokrasi. Otokrasi
manakala kekuasaan pemerintahan dipegang oleh satu orang. Pemerintahan demikian
disebut otoriter. Sedangkan pemerintahan yang kekuasaannnya di tangan orang
banyak disebut demokrasi. Dan negara demokrasi sekuler dibangun dengan
paradigma pemerintahan yang disusun para filosof sekuler di atas.
Dalam pandangan negara demokrasi
sekuler, agama adalah seperti agama gereja Nasrani Eropa yang tak boleh ikut
campur dalam urusan pemerintahan. Oleh karena itu, negara hanya mentolerir
apresiasi pemeluk suatu agama hanya terbatas pada ajaran ritual suatu agama dan
sedikit etika agama itu. Negara akan melakukan tindakan represif terhadap warganya manakala melakukan apresiasi agama melintasi batas
tersebut. Contoh kasus adalah depolitisasi umat Islam yang terjadi pada massa
Orde Baru.
Terhadap agama Nasrani Eropa, tindakan negara
demokrasi sekuler itu wajar. Sebab, agama Nasrani tidak memiliki sistem hukum
dalam kehidupan ekonomi dan politik serta ketatanegaraan. Keterbatasan ajaran
agama Nasrani sendiri yang mengakibatkan bencana di masyarakat.
Namun, Islam adalah agama yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. dengan kelengkapan syari'at yang
meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Dan syari'at Islam memiliki karakter yang khas, yakni sebagai
pemecah problematika kehidupan (mu'alajat
limasyakalin insan). Maka, menempatkan agama Islam sama sejajar dengan
agama Nasrani Eropa adalah tindakan gegabah dan kesalahan fatal.
Jika kita mau berfikir jernih dan mau
mendalami ajaran Islam, maka kita akan menempatkan Islam sebagai sebuah mabda (aqidah yang menghasilkan
peraturan pemecahan problematikan kehidupan). Dalam posisi inilah Islam bisa
diperbandingkan dengan sistem ideologi kapitalisme (atau sosialisme komunisme
yang sudah bangkrut). Kalau kapitalisme memiliki sistem ekonomi, maka Islam pun
juga memiliki sistem ekonomi. Kalau Kapitalisme memiliki sistem politik dan
pemerintahan, maka Islam pun memiliki sustem politik dan pemerintahan. Kalau
Kapitalisme memiliki sistem negara demokrasi, maka Islam memiliki sistem negara
Khilafah (bukan negara demokrasi Islam seperti yang diilusikan sebagian orang).
Bahkan sistem negara Khilafah itu telah berlanjut dari masa Khulafaur Rasyidin,
Umawiyyin, Abbasiyyin, dan Utsmaniyyin hingga tahun 1924 (Saat diruntuhkan oleh
konspirasi negara-negara kapitalis imperialis Inggris yang bekerjasama dengan
seorang Yahudi Dunama bernama Kamal At Taturk)
Oleh karena itu, di masa tidak adanya
khilafah seperti sekarang, dan di mana kaum muslimin hidup dalam
negara-negara nasionalis (nation state)
kecil dan lemah yang terkungkung dalam dominasi negara demokrasi sekuler Barat
semacam AS, Islam disalahfahami, disalahtafsirkan, dan disalahsangkakan. Islam
tidak lagi dipandang sebagai sistem kehidupan yang memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan serta keadilan dunia. Tapi Islam diposisikan sebagai agama yang
sama dengan agama-agama lain yang hanya menyalurkan perasaan ruhani manusia.
Di masa Orde Baru, jargon "semua agama sama" yang
dipropagandakan secara paksa kepada rakyat pada hakikatnya adalah politik
menghilangkan peranan Islam sebagai agama yang mampu menyelesaikan
problem-problem ekonomi, politik, dan sosial kemasyarakatan. Islam dikubur
bersama dengan marginalisasi kekuatan politik kaum muslimin. Juga jargon, "Negara
Indonesia bukanlah Negara Agama (baca= Islam) dan Bukan Negara Sekuler"
juga merupakan politik untuk mengubur aspirasi dan kesadaran politik kaum
muslimin. Wajarlah pernyataan Ketua PP Muhammadiyyah Prof Dr. Ahmad Syafii
Ma'arif dalam sebuah seminar bahwa dalam nation
state, aspirasi Islam tak bisa terwujud. Sebab, setiap ada ide yang berasal
dari Islam, langsung dipotong dengan negara kita bukan negara Islam. Atau dalam
negara demokrasi sekuler agama tertentu (baca: Islam) tidak boleh mengatur
negara.
Oleh karena itu, pengakuan negara
terhadap agama adalah sekedar kepercayaan pribadi yang tak ada hubungannya
dengan negara. Agama apapun yang tercantum dalam KTP seorang warga negara,
dalam persepsi negara demokrasi sekuler pada hakikatnya adalah sama, yakni hak
pribadi yang dijamin negara selama tidak ikut campur dalam penentuan peraturan
dan perundangan negara.
Dengan jalan pikiran yang terkungkung
oleh konsep negara demokrasi sekuler, cendekiawan
yang tersesat ketika mendengar pendapat tentang jabatan presiden (kepala negara)
wanita, dia mengatakan negara tak campur tangan dalam urusan intern agama. Dia tidak mau mendalami masalah itu —yang seharusnya seorang cendekiawan melakukannya. Padahal yang sebenarnya, di antara ulama
itu ada yang tak bisa ditutup mata hatinya dan tanggung jawab ilmiyahnya, bahwa
larangan terhadap kaum muslimin menyerahkan jabatan kepala negara (khalifah)
kepada seorang wanita adalah ijmak ulama dari masa ke masa.
Satu hal yang tak pernah disadari oleh cendekiawan yang tersesat adalah keluasan dan kesempurnaan sistem
kehidupan Islam. Dan tentang syarat kepala negara laki-laki itu, dalam sistem
Islam adalah hanya sebagian kecil dari seluruh sistem peraturan kehidupan Islam
yang harus dilaksanakan secara sempurna.
Khatimah
Jelaslah bahwa konsep negara demokrasi
sekuler (termasuk negara otoriter/semidemokrasi sekuler) memiliki persepsi yang
salah terhadap agama Islam. Para pengemban konsep tersebut tidak mau mengakui
dan memahami bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang peraturannya mencakup
seluruh aspek kehidupan. Mereka memandang —dan memaksakan pandangan itu atas
masyarakat kaum muslimin— Islam sama seperti agama yang lain, yakni sebatas
agama ritual moral dan mengatur urusan akhirat.
Kaum muslimin tidak layak berfikir
demikian. Karena, itu tidak sesuai dengan fakta hukum Islam itu sendiri. Bahkan
untuk mengatasi seluruh persoalan hidup mereka, kaum
muslimin wajib bertahkim kepada Islam. Mereka
diharamkan bertahkim kepada yang lain. Allah SWT berfirman:
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan
kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut,
padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS.
An Nisaa 60).
Umat Islam Bisa Tersesatkan Paham Sekularisme