Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Dan
andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri
seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti
orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengannya dengan jihad yang
besar.” (TQS. al-Furqan: 51-52)
Di
antara keistimewaan Rasulullah ﷺ adalah
beliau diutus sebagai rasul untuk seluruh manusia. Tentu tugas ini mengharuskan
kesiapan untuk menunaikannya. Kesabaran, keteguhan, den kesungguhan harus dia
miliki sehingga dapat menjalankan amanah itu dengan sukses. Tidak boleh mengikuti
kehendak kaum kafir, apalagi takluk kepada mereka. Sebaliknya, mereka harus dihadapi
dengan sepenuh kekuatan dan kesungguhan.
Inilah
di antara yang diterangkan dalam ayat ini.
Bagi Seluruh Manusia
Allah
SWT berfirman: Wa law syi'naa laba'atsnaa
fii kulli qaryah nazhiir[an] (dan andai kata Kami menghendaki, benar-benarlah
Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan [rasul]). Dalam
ayat sebelumnya diterangkan tentang diturunkannya rahmat Allah SWT kepada
manusia berupa hujan. Air yang diturunkan dalam hujan tersebut merupakan air
yang suci dan menyucikan. Dengan air hujan itu pula Allah SWT menghidupkan
tanah yang gersang sehingga tumbuh aneka tanaman. Selain itu, air tersebut
untuk diminum manusia, hewan, dan semua makhluk hidup lainnya. Kemudian
ditegaskan, hujan itu dipergilirkan di antara manusia agar dijadikan sebagai
pelajaran bagi manusia.
Lalu
dalam ayat ini Allah SWT membicarakan tentang keberadaan Rasulullah ﷺ sebagai utusan-Nya. Ayat ini diawali dengan
kata law syi‘naa (seandainya Kami
menghendaki). Dalam bahasa Arab, kata law
mengandung makna imtinaa’ al-jawaab li
imtinaa‘ al-syarth (tercegahnya jawaban karena tercegahnya syarat).
Artinya, karena syaratnya tidak ada, maka realitas yang disebutkan juga tidak
terjadi. Sebagaimana diterangkan Fakhruddin al-Razi, ini menunjukkan bahwa
Allah SWT tidak melakukan hal itu.
Yang
dimaksud dengan nadziir (pemberi
peringatan) di sini adalah rasul yang memberikan peringatan kepada mereka.
Demikian penjelasan Imam al-Qurthubi, al-Khazin, Ibnu Katsir, Abdurrahman
al-Sa'di, dan lain-lain.
Tentang
ayat ini, al-Thabari juga berkata, "Seandainya Kami menghendaki wahai
Muhammad, niscaya akan Kami utus untuk setiap negeri dan kota pemberi
peringatan yang memperingatkan mereka adanya siksaan Kami atas kekufuran mereka
terhadap Kami, sehingga Kami meringankan kamu dari beban besar yang harus kamu
emban dan menghilangkan darimu berbagai kesulitan besar. Akan tetapi, Kami
pikulkan kepadamu beratnya beban dalam memberikan peringatan kepada manusia
seluruh negeri, yang mengharuskan kesabaranmu atasnya. Apabila kamu bersabar,
maka Allah SWT telah menyediakan kemuliaan dari-Nya untukmu dan kedudukan yang
tinggi.”
Dikatakan
pula oleh Abdurrahman al-Sa'di, "Rasul yang mengingatkan mereka. Maka
kehendak-Nya tidak terbatas hanya itu. Akan tetapi, hikmat dan rahmat-Nya
kepadamu dan hamba, ya Muhammad, Kami mengutus kamu kepada semua mereka, yang
berkulit merah maupun hitam, bangsa Arab maupun bangsa lainnya, manusia maupun jin
mereka."
Dengan
demikian, ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT menghendaki mengutus Nabi
Muhammad ﷺ sebagai rasul untuk
semua negeri dan manusia. Tidak terbatas hanya untuk bangsa dan negeri Arab.
Bahwa Rasulullah ﷺ ditetapkan
sebagai pemberi peringatan seluruh manusia juga ditegaskan dalam awal surat
ini. Allah SWT berfirman: “Maha Suci
Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia
menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (TQS. al-Furqan [25]: 1).
Di
samping itu juga dinyatakan dalam beberapa ayat lain. Di antaranya adalah
firman Allah SWT: “Katakanlah: "Hai
manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua," (TQS. al-A'raf
[7]: 15). Disebutkan pula dalam QS. Saba’ [34]: 28. Dalam hadits, beliau
bersabda, “Aku diberikan lima perkara
yang belum pernah diberikan kepada nabi sebelumku, yakni: Aku diutus untuk
orang yang berkulit merah dan berkulit hitam” (HR. Ahmad dari Abu Dzar).
Dalam riwayat yang lain disebutkan: ”Para
nabi sebelumku diutus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh
manusia" (HR. al-Bukhari dari Jabir bin Abdillah).
Tidak Menaati Orang Kafir
Kemudian
dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Falaa
tuthi' al-kaafiriin (maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir).
Setelah diterangkan tentang tugas Rasulullah ﷺ sebagai
pemberi peringatan untuk seluruh negeri, beliau kemudian diseru agar tidak
menaati orang-orang kafir.
Menurut
Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsirnya al-Bahr
al-Muhiith, yang dimaksud dengan al-kaafiriin
adalah kaum kafir Quraisy. Mereka menginginkan Rasulullah ﷺ kembali kepada agama bapak-bapak mereka,
menjadikan beliau sebagai raja atas mereka, dan mengumpulkan harta yang amat
banyak untuk beliau. Maka Allah SWT melarang beliau menaati mereka hingga
menjelaskan kepada mereka bahwa beliau tidak menginginkan semua itu. Akan
tetapi yang beliau inginkan adalah dakwah kepada Allah SWT dan beriman
kepada-Nya.
Menurut
al-Zamakhsyari, perintah ini dimaksudkan untuk mengobarkan semangat Nabi ﷺ dan kaum Mukminin, serta untuk menggerakkan
mereka.
Kemudian
ditegaskan dalam firman Allah SWT: wajaahidhum
bihi jihaad[an] kabiir[an] (dan berjihadlah
terhadap mereka dengannya dengan jihad yang besar). Kata jaahid merupakan fi'l al-amr
dari kata al-jihaad. Menurut al-Asfahani,
kata tersebut bermakna istifraagh al-wus' fii mudaafa'at al-'aduwwi
(mencurahkan segala kemampuan untuk menghadapi lawan).
Sedangkan
secara syar'i, al-jihaad berarti badzl al-wus' li al-qitaal fii sabiilil-Laah
(mengerahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah), baik secara langsung
maupun membantu dengan harta, pendapat, atau memperbanyak perbekalan perang.
Tentang
makna al-jihaad dalam ayat ini, ada
yang menafsirkan dengan makna syar'i, yakni berperang. Namun menurut al-Qurthubi
dan al-Razi, penafsiran itu tidak tepat. Alasannya, surat ini termasuk
Makkiyyah yang turun sebelum perintah untuk berperang. Sehingga menurut al-Razi,
jihaad di sini bermakna badzl al-juhdi fii al-adaa' (mengerahkan
segala kemampuan dalam menunaikan kewajiban).
Sedangkan
pengertian frasa bihi pada ayat ini,
menurut Ibnu Abbas berarti bi al-Qur‘aan
(dengan Al-Qur’an). Ibnu Zaid memaknainya sebagai bi al-Islaam (dengan Islam). Demikian dikutip Imam al-Qurthubi
dalam tafsirnya. Syihabuddin al-Alusi juga mengutip Ibnu Mundzir dari Ibnu
Abbas yang berkata, ”Itu dilakukan dengan membacakan apa yang di dalam Al-Qur’an
berupa berbagai pelajaran, ancaman, pelarangan, nasihat, dan mengingatkan
terhadap berbagai keadaan umat-umat yang mendustakan.”
Adapaun
frasa jihaad[an] kabiir[an] (dengan
jihad yang besar). Menurut al-Zamakhsyari dan Fakhruddin al-Razi, frasa ini
berarti jaami'a[n] likulli mujaahadah
(yang menghimpun semua kesungguhan).
Menurut
al-Alusi, jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka seolah-olah dikatakan
kepada Nabi ﷺ, ”Kami utus kamu
untuk seluruh negeri, Kami lebihkan dan Kami muliakan kamu, dan Kami tidak
mengutus setiap negeri pemberi peringatan. Maka, terimalah dengan sikap teguh
dan sungguh-sungguh dalam dakwah dan memenangkan kebenaran."
Demikianlah,
sudah menjadi kehendak-Nya, Nabi Muhammad diutus untuk semua manusia di seluruh
penjuru dunia. Tentu saja ini merupakan beban yang amat berat. Oleh karena itu,
beliau diminta untuk mengokohkan kesabaran, kekuatan, dan kesungguhan. Tatkala
tugas itu dapat dilakukan, maka kemuliaan dan derajat yang tinggilah yang akan
didapat.
Sebagai
umat Rasulullah ﷺ,
kita pun harus mewarisi sikap yang sama. Kita juga diperintahkan untuk
mengemban dakwah kepada seluruh umat manusia. Maka, kita harus meneguhkan
kesabaran dan kesungguhan. Jika itu dapat kita lakukan, insya Allah pahala besar dan derajat yang tinggi akan diberikan.
Semoga. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1.
Tidak seperti semua nabi dan rasul lainnya yang diutus untuk kaumnya
masing-masing, Rasulullah ﷺ diutus
untuk seluruh manusia.
2.
Untuk mengemban tugas berat tersebut, beliau diperintahkan tidak mengikuti
kemauan kaum kafir dan bersungguh-sungguh menghadapi mereka dengan sepenuh kemampuan.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 156