Format sebuah negara
maupun masyarakat sangat ditentukan oleh asas yang mendasarinya. Jika sejak awal asasnya rusak
dan bathil dengan sendirinya bangunan negara dan masyarakat juga rusak dan
batil. Oleh karena itu, pembahasan tentang asas negara dan masyarakat,
UUD, dan yang sejenisnya tidak dapat dianggap enteng. Implikasinya amat luas
dan berkelanjutan. Pasalnya, rusak dan bathilnya asas bernegara dan
bermasyarakat, sebagaimana yang kita saksikan saat ini, jelas akan
mengakibatkan rusak dan -tidak mustahil- hancurnya negara dan masyarakat
tersebut.
Negara yang berasas
Islam saja, jika penguasa dan rakyatnya tidak menjaga penerapan sistem Islam
itu sebaik-baiknya, tetap bisa hancur; apalagi jika asasnya memang bukan-Islam
–semacam sekularisme-demokrasi, jebakannya yahudi- dan cacat parah sejak lahir,
sudah barang tentu hidupnya sakit-sakitan dan umurnya tidak lama.
Telah tampak bahwa
demokrasi yang juga dipraktekkan di negeri ini (lebih-lebih demokrasinya negara jajahan,
bukan negara penjajah) semakin lama hanya bisa semakin rusak, penduduknya
mengalami krisis multidimensi yang semakin parah, upaya-upaya perbaikan sesuai
sistem itu hanya sedikit saja memperlambat kerusakan laten.
Semakin lama umur negara sistem
bukan-Islam, maka semakin banyak undang-undang yang pro-imperialis (dan
pro-setan). Dan setelah ratusan aturan diterapkan –yang merugikan
penduduk negeri dan menguntungkan asing-aseng beserta segelintir
antek-anteknya- maka dapat dipastikan sistem tidak-Islam itu tidak bisa
diharapkan sama sekali untuk memperbaiki kerusakan. Semakin lama, semakin
rusak, maka semakin tampak jelas kecacatan sistem republik/demokrasi
yang memang diimpor dari hawa nafsu kaum kafir itu.
Kehancuran sebuah
negeri bisa terjadi bukan semata karena dampak faktor internal sistemnya, tapi
juga karena kaum kafir imperialis Timur dan Barat tidak akan menghentikan nafsu
penjajahannya.
Pemegang tampuk
kepemimpinan yang baru dalam sistem bukan-Islam pasti terjebak dan terikat
ratusan aturan bathil yang telah diterapkan -yang terus menghasilkan kerusakan-
sehingga wajah-wajah baru
penguasa itu meski seandainya dengan semangat untuk memperbaiki melalui sistem,
akan tersandera oleh sistem rusak itu sendiri. Sistem tidak-Islam itu
memang tidak memiliki mekanisme dan landasan untuk sungguh-sungguh melawan
kebathilan undang-undang yang bathil, serta tidak mampu sungguh-sungguh membela
kebenaran dan keadilan, karena sekularisme-demokrasi semata-mata menuruti hawa
nafsu, tanpa kejelasan mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang adil dan
mana yang zhalim, mana yang taqwa dan mana yang maksiat. Ketidakjelasan itu
memanglah cacat permanen dalam demokrasi, ingat, demokrasi ada untuk
memfasilitasi hawa nafsu. Sistem aturan yang rinci, jelas, dan selalu tepat
untuk memperbaiki kehidupan umat manusia –yaitu dalam sistem Islam- nyata
bertentangan dengan demokrasi.
Kampanye yang pro
terhadap sistem bukan-Islam selalu berupaya untuk mengesankan seakan-akan
pemerintahan baru –yaitu pemenang pemilu- nantinya mampu mewujudkan mimpi-mimpi
masyarakat. Namun, masyarakat
saat ini berada dalam iklim kesadaran untuk perubahan dari status quo;
dan perubahan itu sudah
seharusnya ke arah Islam, dengan perjuangan metode Rasul Saw., demi ridha Allah
Swt., untuk kemenangan kebenaran dan keadilan Islam beserta umat, kemenangan
dalam hidup di dunia dan di akhirat.
Manusia akan diadili
di Hari Pembalasan dalam hal aqidah dan syariahnya, apakah aqidahnya Islam,
apakah mengimani dan membenarkan ayat-ayat al-Qur’an seluruhnya, apakah rela
diatur dengan syariah Islam, apakah menolak semua hukum selain syariah Islam,
apakah perbuatannya selama hidup di dunia sesuai syariah Islam, apakah menolak
sistem negara bukan-Islam, apakah membela Islam dan umatnya atau justru membela
kebathilan, apakah menerima syariah Islam sebagai standar perbuatan dan untuk
menghukumi manusia.
Ideologi Islam (aqidah
dan syariah) inilah faktor yang menentukan nasib kaum Muslimin, jika berpegang
teguh dengannya maka mereka akan ditolong Allah Swt. di dunia dan di akhirat
mendapat kemenangan hakiki. Sebaliknya, jika umat terjauhkan dan awam terhadap
ideologi Islam, maka bahaya akan menjadi semakin besar meski perasaan mereka
tulus terhadap agama Islam. Ideologi pada diri umat haruslah ideologi Islam,
jika ideologinya tidak jelas maka kondisi memprihatinkan akan terus berlanjut,
kehidupan umat akan jauh dari kemuliaan Islam.
Kondisi realitas buruk
akibat bercokolnya sistem bukan-Islam yang menjadi bahaya laten, yang terus
berpotensi memakan korban, terjauhkannya
umat dari aqidah dan syariah Islam, inilah yang harus diprihatinkan oleh setiap
elemen umat Islam. Para nabi dan rasul diutus oleh Sang Pencipta pada
dasarnya adalah untuk mewujudkan ideologi yang berasal dari Allah Swt. kepada
umatnya sehingga diterima dan diamalkan, bukan lain-lain.
“Hai Dawud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka hukumilah di
antara manusia dengan kebenaran dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena
ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat
dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (TQS. Shad: 26)
“Maka Kami telah
memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang haq); dan kepada
masing-masing mereka (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan hikmah dan
ilmu...” (TQS. Al-Anbiya: 79)
“Telah dilaknati
orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam.
Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (TQS.
Al-Maidah: 78)
Nabi Ibrahim dan Ismail telah
sabar –atas dasar keimanan- menerima perintah, syariat dari Allah Swt. untuk
mereka:
“Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah
engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (TQS. Ash-Shaffat:
102)
Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah
kesabaran keduanya).
Dan Kami panggillah
dia: "Hai Ibrahim.
Sesungguhnya kamu
telah membenarkan mimpi itu," sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata.
Dan Kami tebus anak
itu dengan seekor sembelihan yang besar.
Kami abadikan untuk
Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.
(yaitu)
"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim."
Demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ia
termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (TQS. Ash-Shaffat: 103-111)
“Sesungguhnya Kami
telah memberikan wahyu kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah memberikan
wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan
wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, Isa, Ayub,
Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud.” (TQS.
An-Nisa’: 163)
Kepada Nabi Muhammad
Saw. dan umatnya juga diturunkan ayat:
“dan hendaklah kamu
menghukumi di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah),
maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah
kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka.” (TQS. Al-Maidah: 49)
Asas bagi negara
haruslah al-Qur’an dan as-Sunnah:
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
(TQS. an-Nisa’: 59)
Alhamdulillah. []
Artikel terkait:
“Tawaran Perubahan Di Tengah Euforia Perubahan” Majalah Al-Wa`ie No.13 tahun
2, 1-30 September 2001